Thursday, July 24, 2008

Wiji tuwuh


Melintasi Kawat Berduri

tak mudah memang, menggapai apa yang diingini
harus bersabar
pun terkadang harus merangkak dan merayap
belum lagi rintangan yang mesti dihadapi.

tetapi bukankah buah semangka yang memerah,
dihasilkan oleh batang yang tumbuh merambat..

Tuesday, July 22, 2008

Shopping Center Yogyakarta

Konon Pernah Jadi Pusat PKL Buku Terbesar se-Asia Tenggara

BERKUNJUNG ke Yogyakarta tidak lengkap rasanya jika tidak mampir ke Kios Buku Taman Pintar, atau yang lebih dikenal dengan nama Shopping Center. Memasuki Jalan Sriwedari -pararel di sebelah timur Jalan Malioboro- deretan kios-kios yang memajang beragam buku akan langsung terlihat.

Buku yang dijual bermacam-macam, dari buku baru hingga buku bekas. Tiap kios memiliki spesifikasinya masing-masing, dari buku-buku umum, religi, buku pelajaran, hingga novel dan komik. Tak hanya itu, di Shopping center juga tersedia berbagai kebutuhan untuk mahasiswa, dari kliping artikel dan makalah-makalah bekas untuk referensi mengerjakan tugas, hingga buku-buku penunjang kuliah.

Ada 124 kios yang tertata rapi di dua lantai. Para pedagangnya tergabung dalam Koperasi Pedagang Buku (Kopaku Taman Pintar), yang dibentuk sekitar tahun 1988. Jika dibanding harga di toko-toko buku, harga buku di shopping center relatif lebih murah. Untuk buku-buku baru rata-rata diambil langsung dari penerbit, dengan pengambilan keuntungan yang kecil. “Harga di sini jelas lebih rendah. Dari keuntungan yang diambil kan kecil 2,5 – 5 %. Tapi di sini merekrut pelanggan sebanyak-banyaknya. Sehingga walau keuntungan sedikit tapi omzet penjualan lebih banyak dibanding di toko buku,” ungkap Harjono, sekretaris Kopaku Taman Pintar yang juga berjualan buku sejak 1989 tersebut.

Hampir setiap hari shopping center selalu ramai dikunjungi calon-calon pembeli, terlebih lagi pada akhir pekan yaitu Jumat hingga Minggu. Bahkan tidak sedikit pula pembeli yang datang dari luar kota Yogyakarta. Bagi sebagian orang, Shopping Center bisa dijadikan sebagai alternatif pilihan ketika di toko-toko buku tidak bisa menemukan buku yang dicari. “Ada buku yang tidak ada di toko, ternyata bisa ditemukan di sini,” ungkap Muhammad Shokheh, mahasiswa Pasca Sarjana UGM asal Magelang.

Bahkan Shokheh mengaku sering pula mendapat buku menarik yang sebenarnya tidak dicari. ”Setelah melihat-lihat dan tertarik dengan suatu buku, selagi ada dana langsung saya beli,” kata Shokheh di sela perburuannya terhadap salah satu buku Syekh Nawawi al-Banteni (tokoh intelektual muslim).

Lain lagi dengan Endang Warti, mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta ini lebih sering mencari kliping artikel untuk bahan tugas kuliah. “Kalau ada tugas pasti ke sini, hampir tiap 2 atau 3 minggu sekali,” ungkap mahasiswi semester dua tersebut. Selain mencari artikel, Endang mengaku sering juga mencari buku-buku yang berkaitan dengan kuliah. Mengenai harga, “Di sini biasanya lebih miring,” kata gadis asal Magelang tersebut. Bagi mahasiswa, shopping center juga merupakan tempat alternatif untuk mendapatkan buku bekas yang tentu saja harganya jauh lebih murah dibanding buku baru.

Menurut Harjono, shopping center memang lebih lengkap dibanding pasar buku yang ada di kota-kota lain. Bahkan konon, tahun 80an Mahathir Muhammad (mantan PM Malaysia) pernah berkunjung ke shopping center pada waktu masih di lokasi lama, tentu saja kunjungan tidak resmi. Pasalnya, gaung shopping center waktu itu sebagai pusat pedagang kaki lima khusus buku terbesar di Asia Tenggara.

Tak hanya buku-buku bekas untuk perguruan tinggi yang ada di shopping center. Jika beruntung, para kolektor bisa juga mendapatkan buku-buku kuno dan langka di shopping center. “Paling banyak yang dicari buku kuno, seperti babad-babad dari pujangga-pujangga. Biasanya untuk perpustakaan,” ungkap Bu Abbas yang lebih mengkhususkan menjual buku-buku lama.

Mengenai harga buku lama, tergantung ketebalan dan kelangkaannya. “Semakin langka semakin mahal,” ungkap ibu lima orang anak yang pernah menjual buku kuno seharga Rp 2,5 - 3 juta untuk satu buku tersebut. “Itu buku kuno berhuruf Jawa. Kalau sudah laku sulit untuk mendapatkan lagi,” papar wanita yang merintis usaha jualan buku pada tahun 1965 bersama suaminya tersebut. -cahpesisiran-

Sunday, July 20, 2008

Oleh-oleh dari kawan


Berada tertinggi
ketika pandang begitu lega
ketika senyum mentari memberi harapan
ketika dingin dan kabut terasa hangat menyapa










Lembah hijau terhampar
wuihh.. serasa ingin terbang.
i believe i can fly
i believe i can touch the sky
i think about it every night n day
spread my wings n fly away
i believe i can fly..
-R Kelly-






Jejakkan langkah
susuri jalan setapak berbatu
teguhkan tekad
di atas ada asa
Eh.. Green grass around..!!!
ternyata banyak yang bisa dinikmati
meski harus melewati jalan terjal berliku






Saatnya kopi susu cokelat hangat
apa yang ada dalam ranselmu- kawan?
sekedar pengganjal perut dan pelepas dahaga,
ambillah sobat.










Senyap
ada kekuatan di balik kesunyian
ada kekuatan di balik keteguhan hati.









Land, Mbah Im, n Avrilia, Hatur nuhun bwt foto-fotonya..

Foto: Gunung Sindoro dan Sumbing (Polo Pala - Land n Mbah Im cs)
Danau Toba (Avrilia w)


Thursday, July 03, 2008

Gerabah Kasongan

Turun-temurun, Dari Perkakas Rumah Tangga Hingga Keramik Hias

MEMASUKI kampung Kasongan, di halaman-halaman rumah dan pekarangan warga dengan mudah akan terlihat gerabah berbagai bentuk dan ukuran. Baik yang masih alami berwarna merah bata, ataupun yang telah dilakukan finishing dengan pengecatan beraneka warna atau teknik finishing lain. Di sudut-sudut kampung akan terlihat pula tungku-tungku pembakaran. Jika tertarik, wisatawan dapat pula turut membentuk tanah liat menjadi gerabah bersama para perajin.

Desa Wisata Kasongan terletak di Dukuh Kajen, Banguntapan, Kasihan, Bantul Yogyakarta. Di dukuh seluas 49 hektar berpenduduk 1.556 jiwa tersebut, 95% warganya bermata pencaharian sebagai perajin gerabah, sedangkan sisanya petani dan PNS. Pembuatan gerabah di Kasongan memang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi terdahulu hingga kini.

-berawal dari perkakas rumah tangga-
Pada awal mulanya, gerabah yang diproduksi warga Kasongan hanya berupa perkakas rumah tangga seperti kwali, cobek, anglo, keren (tungku untuk memasak dengan kayu bakar), dan perkakas lain. Namun setelah dikembangkan sebagai desa wisata, variasi produk gerabah pun berkembang hingga ke gerabah-gerabah hias seperti guci, berbagai patung, meja kursi, dan berbagai hiasan lain.

“Kerajinan gerabah telah turun-temurun digeluti warga. Kemudian mulai berkembang setelah ada arahan dari para tokoh seniman seperti masalah desainnya,” kata Kepala Dukuh Kajen, Muh. Hadi Suprojo.

Buang Mudiarjo misalnya, perajin gerabah yang telah memulai usahanya sejak 1965 mengaku belajar menjadi perajin gerabah dari orangtuanya. Gerabah yang dihasilkannya mulai dari perkakas rumah tangga hingga gerabah hiasan. “Yang paling diminati wisatawan seperti guci, loro blonyo (patung pengantin), dan patung Budha. Harga gerabah berkisar Rp 5 ribu - 500 ribu,” ungkap ayah empat orang anak tersebut. Kerajinan gerabah di Kasongan mulai berkembang setelah dibangunya jembatan di sisi timur kampung pada 1972, sehingga bisa menghubungkan ke kota Bantul dan daerah lain. “Sebelum tahun 72 susah karena belum ada jembatan. Untuk menjual gerabah harus menyeberang sungai. Dulu hanya dijual di pasar-pasar tradisional sekitar,” kenang lelaki kelahiran 55 tahun lalu itu.

Kini, Buang memasarkan 85% gerabahnya hingga ke mancanegara seperti Belanda, Thailand, dan Venezuela. “Mulai ekspor sejak tahun 1990. Awalnya menawarkan ke turis-turis yang berkunjung ke sini, kemudian mereka mulai memesan,” papar lelaki yang menekuni kerajinan keramik bersama puteranya tersebut. Sementara untuk pasar dalam negeri antara lain Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bali.
Bahan baku tanah liat, didapat Buang, dari Kasongan, Godean, Kebumen, dan Imogiri.

-koperasi untuk pengembangan-
Untuk pengembangan Gerabah di Kasongan, para perajin dan pengusaha membentuk wadah berupa koperasi yang beranggotakan 581 perajin/pengusaha. Wadah yang bernama Kopersi Industri Seni Kerajinan Keramik (Kopinkra) Setya Bawana tersebut terbentuk pada 10 Agustus 2006. Sebenarnya cikal bakal dari koperasi telah ada sejak 1984 berupa kelompok campur sari Setya Bawana. Kelompok tersebut ternyata mendapatkan pesanan membuat gerabah dari turis, hingga kemudian terbentuklah sebuah koperasai. Meski keberadaannya telah lama, namun koperasi baru didaftarkan menjadi berbadan hukum pada 2006. “Ada turis yang memesan gerabah pada kelompok campur sari Setya Bawana. Kemudian terbentuklah koperasi, dan baru didaftarkan berbadan hukum setelah gempa 2006,” ungkap pengurus harian koperasi Setia Bawana, Made Supardi.

Selain fungsi teknis penguatan modal bagi anggota, berupa pijaman berbunga rendah, koperasi juga berperan dalam pengembangan sentra gerabah Kasongan. “Setiap tanggal 15 ada pertemuan pengurus inti untuk membicarakan perkembangan sentra gerabah Kasongan dan bagaimana langkah-langkah ke depan,” kata Made. Sedangkan pelatihan-pelatihan dan pembinaan bagi para perajin dilakukan oleh pemerintah daerah setempat seperti pelatihan manajemen, ekspor, ataupun finishing produk gerabah.

Peran pemerintah desa sendiri lebih pada penataan pokdarwis (kelompok sadar wisata), memberikan arahan, serta menampung keluhan mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi termasuk masalah permodalan. Beberapa permasalahan yang disampaikan warga Kasongan, kata Hadi Suprojo, antara lain agar pemerintah ataupun perbankan mempermudah akses permodalan untuk pengembangan usaha.

-bangkit pasca gempa-
Sedangkan untuk mengenalkan Kasongan kepada masyarakat luas, disadari promosi perlu terus dilakukan antara lain melalui pameran-pameran. “Jangan sampai Kasongan menjadi tertutup atau hilang akibat gempa 2006 lalu. Sekarang sudah mulai bangkit dan nampak lagi,” ungkap Kepala Dukuh yang juga menjadi perajin gerabah sejak 1989 tersebut.

Sejak bencana gempa bumi 2006, disamping jumlah kunjungan wisatawan ke Kasongan menurun drastis, warga pun harus memulai usaha dari awal karena perlu pemulihan rumah, tungku pembakaran gerabah, ataupun peralatan penunjang lainnya. “Perlu waktu untuk pulih kembali. Padahal dulu Kasongan sudah mulai artistik, banyak dikunjungi wisatawan. Namun akibat gempa, banyak yang rusak seperti gapura-gapura roboh,” papar Nangsib, sapaan akrab Hadi.

Pengembangan Kasongan sebagai desa wisata dilakukan pula dengan menerima ide-ide dari warga masyarakat. Untuk mendukung Kasongan sebagai desa wisata, warga menginginkan dibangunnya monumen Kasongan. Saat ini telah tersedia lahan seluas 1.600 meter persegi yang semula merupakan tanah milik pemerintah propinsi DIY, dan telah diserahkan ke Pemda Bantul. “Masukan dari warga, menginginkan dibangunnya Monumen Kasongan. Walaupun belum ada kepastian kapan bisa terwujud,” tambahnya.

Meski mayoritas warga menekuni kerajinan gerabah, namun tidak terjadi persaingan yang tidak sehat. Kerukunan antar warga pun masih terjaga dengan baik. Persaingan lebih pada kualitas produk. “Kehidupan sosial antar tetangga, kerukunannya masih bagus. Selalu gotong-royong karena kita tidak bisa hidup sendiri,” pungkas Buang Mudiarjo disela kegiatannya bersama warga yang lain. -cahpesisiran-
foto: dok.