KETIKA melewati depan Gedung Agung kawasan Malioboro, Jalan Panembahan Senopati, maupun memasuki kompleks Balaikota maka akan terlihat nuansa tradisi pada pohon-pohon yang berbalut motif batik.
Mungkin sekilas tampak seperti pohon-pohon di Bali yang diberi kain poleng berpola hitam dan putih. Tapi tentu saja keduanya mempunyai latar belakang dan maksud yang berbeda.
"Ini untuk memperindah kota. Kalau dulu pohon-pohon hanya dicat dengan warna putih dan garis hitam melingkar, di semua kota sama seperti itu. Ini kami buat berbeda, sekaligus lebih memperkenalkan dan melestarikan batik," ungkap Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta, Suyana, medio Juni.
Terobosan pemeliharaan lingkungan sekaligus pelestarian tradisi khas Yogyakarta ini memang dilakukan oleh BLH Kota Yogyakarta. Pemasangan motif batik dilakukan di tiga titik yakni pada pohon-pohon di depan Gedung Agung, Jalan P Senopati, dan kompleks Balaikota. Setidaknya ada sekitar 200 pohon yang telah diberi sentuhan khas Yogyakarta itu. Motif batik yang dipasang pun merupakan motif-motif batik Jogja, seperti parang dan ceplok bolu rambat.
"Ini sebagai test case untuk melihat respons dan pendapat masyarakat. Kalau masyarakat memberi respons positif akan kami anggarkan lebih untuk itu, kemungkinan bisa kami ajukan di APBD Perubahan. Saat ini hanya dialokasikan dari anggaran untuk pemeliharaan perindang," tuturnya.
Suyana mengatakan, inspirasi pemasangan motif batik di pohon itu berasal dari para seniman yang telah melakukan hal serupa saat perhelatan biennale beberapa waktu lalu. Hanya saja, motif-motif yang dipasang itu menggunakan kain tipis sehingga tidak dapat bertahan lama.
"Yang sekarang bisa bertahan sekitar 1 tahun, dengan bahan berupa media print outdoor. Jadi ini tidak meniru seperti yang di Bali, ini inspirasinya dari teman-teman biennale," jelas Suyana.
Dalam pemasangannya, dilakukan dengan lem dan tidak dengan cara dipaku atau distaples agar tidak merusak pohon. Suyana menambahkan, motif-motif batik di kompleks Balaikota dipasang menjelang HUT Pemerintah Kota (Pemkot) pekan lalu, sedangkan yang di depan Gedung Agung dan Jalan Senopati dipasang sekitar dua bulan lalu.
"Kalau ada masyarakat yang tertarik untuk ikut memasang motif-motif batik boleh juga. Motifnya diatur bareng, karena dalam tradisi ada motif-motif tertentu yang tidak boleh digunakan sembarangan," imbuhnya.
Sementara itu, di Bali pemasangan kain berwarna hitam dan putih pada pohon dilakukan terkait kepercayaan masyarakat. Salah satu tour guide di Bali, Nyoman Agus Wiranata, menuturkan kain poleng hitam-putih dipasang secara kolektif oleh masyarakat desa adat pada pohon-pohon yang dianggap keramat.
"Tidak semua pohon dipasang kain yang melambangkan keseimbangan baik dan buruk itu. Hanya pohon yang dikeramatkan dan langka yang dipasang, karena di masyarakat Bali masih hidup kepercayaan animisme-dinamisme. Dari sisi lingkungan, juga berdampak pada pelestarian pohon. Karena pohon-pohon yang dipasang kain poleng tidak akan ditebang," unjarnya. -cahpesisiran-
Mungkin sekilas tampak seperti pohon-pohon di Bali yang diberi kain poleng berpola hitam dan putih. Tapi tentu saja keduanya mempunyai latar belakang dan maksud yang berbeda.
"Ini untuk memperindah kota. Kalau dulu pohon-pohon hanya dicat dengan warna putih dan garis hitam melingkar, di semua kota sama seperti itu. Ini kami buat berbeda, sekaligus lebih memperkenalkan dan melestarikan batik," ungkap Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Yogyakarta, Suyana, medio Juni.
Terobosan pemeliharaan lingkungan sekaligus pelestarian tradisi khas Yogyakarta ini memang dilakukan oleh BLH Kota Yogyakarta. Pemasangan motif batik dilakukan di tiga titik yakni pada pohon-pohon di depan Gedung Agung, Jalan P Senopati, dan kompleks Balaikota. Setidaknya ada sekitar 200 pohon yang telah diberi sentuhan khas Yogyakarta itu. Motif batik yang dipasang pun merupakan motif-motif batik Jogja, seperti parang dan ceplok bolu rambat.
"Ini sebagai test case untuk melihat respons dan pendapat masyarakat. Kalau masyarakat memberi respons positif akan kami anggarkan lebih untuk itu, kemungkinan bisa kami ajukan di APBD Perubahan. Saat ini hanya dialokasikan dari anggaran untuk pemeliharaan perindang," tuturnya.
Suyana mengatakan, inspirasi pemasangan motif batik di pohon itu berasal dari para seniman yang telah melakukan hal serupa saat perhelatan biennale beberapa waktu lalu. Hanya saja, motif-motif yang dipasang itu menggunakan kain tipis sehingga tidak dapat bertahan lama.
"Yang sekarang bisa bertahan sekitar 1 tahun, dengan bahan berupa media print outdoor. Jadi ini tidak meniru seperti yang di Bali, ini inspirasinya dari teman-teman biennale," jelas Suyana.
Dalam pemasangannya, dilakukan dengan lem dan tidak dengan cara dipaku atau distaples agar tidak merusak pohon. Suyana menambahkan, motif-motif batik di kompleks Balaikota dipasang menjelang HUT Pemerintah Kota (Pemkot) pekan lalu, sedangkan yang di depan Gedung Agung dan Jalan Senopati dipasang sekitar dua bulan lalu.
"Kalau ada masyarakat yang tertarik untuk ikut memasang motif-motif batik boleh juga. Motifnya diatur bareng, karena dalam tradisi ada motif-motif tertentu yang tidak boleh digunakan sembarangan," imbuhnya.
Sementara itu, di Bali pemasangan kain berwarna hitam dan putih pada pohon dilakukan terkait kepercayaan masyarakat. Salah satu tour guide di Bali, Nyoman Agus Wiranata, menuturkan kain poleng hitam-putih dipasang secara kolektif oleh masyarakat desa adat pada pohon-pohon yang dianggap keramat.
"Tidak semua pohon dipasang kain yang melambangkan keseimbangan baik dan buruk itu. Hanya pohon yang dikeramatkan dan langka yang dipasang, karena di masyarakat Bali masih hidup kepercayaan animisme-dinamisme. Dari sisi lingkungan, juga berdampak pada pelestarian pohon. Karena pohon-pohon yang dipasang kain poleng tidak akan ditebang," unjarnya. -cahpesisiran-
No comments:
Post a Comment