DIANTARA rimbunnya pepohonan, warga Dusun Kalibuka, Desa Kalireja, Kecamatan Kokap, Kulonprogo menggelar upacara adat Saparan Kalibuka. Mereka berduyun-duyun mengusung tenong atau wadah dari bambu yang berisikan aneka makanan, menuju petilasan Sunan Kalijaga yang ada di Kampung Sebatur, Selasa (2/1).
Sementara sebagian warga yang lain menyembelih kambing berbulu putih dengan bulu hitam melingkar di badannya seperti sabuk (biasa disebut wedhus kendhit dalam bahasa Jawa). Kambing diambil kulit dan dagingnya untuk dimasak menjadi sate oleh para lelaki dusun di Sebatur. Sudah menjadi adat, saat memasak tidak boleh dicicipi. Sedangkan kepala kambing ditanam di Sebatur dan empat kakinya ditanam di empat penjurunya.
Setelah kambing selesai dimasak dan warga telah berkumpul di Sebatur, pemuka agama atau pemangku adat kemudian memimpin doa bersama. Memanjatkan doa agar Tuhan memberi keselamatan bagi seluruh penduduk Dusun Kalibuka. Kemudian dilanjutkan dengan kenduri, tenong-tenong yang berisi makanan dibuka dan seluruh yang hadir melakukan makan bersama. Termasuk menyantap daging kambing yang telah dimasak kaum laki–laki tadi.
“Saparan ini sudah kami laksanakan turun-temurun, untuk meminta pada Tuhan semoga seluruh masyarakat wilujeng toto titi tentrem lahir batin. Setelah ini semoga warga panjang umur, banyak rejeki, tambah iman, dan mendapat berkah kewilujengan,” kata pemangku adat, Sutrisno Wiyanto.
Sutrisno mengisahkan, sejarah upacara Saparan Kalibuka bermula dari kisah perjalanan Sunan Kalijaga ketika melakukan siar agama ke arah selatan. Saat itu beliau berhenti di tempat yang datar dan rata untuk berbuka puasa. Ketika itu Sunan Kalijaga berkata sesuatu yang kemudian menjadi nama Dusun Kalibuka.
"Sesuk nek ana rejaning jaman, tak jenengake desa Walibuka (besok jika ada kesejahteraan zaman, tempat ini saya sebut desa Walibuka),” kata Sutrisno mengutip perkataan Sunan Kalijaga. Dari kata Walibuka itulah kemudian menjadi nama Dusun Kalibuka.
Ketika berbuka, Sunan Kalijaga dan rombongannya makan nasi putih dengan lauk sate lengkap dengan bumbunya. Di tempat itu, nasi yang tercecer tumbuh menjadi pohon besar dan bumbu sate yang terbuat dari asem tercecer menjadi pohon asam. Sedangkan tusuk sate (sujen) tumbuh menjadi rumpun bambu yang masih ada hingga kini dan oleh warga Sebatur disebut sebagai Pring Gedhe. Tempat berbuka puasa inilah yang sekarang dipakai sebagai tempat menyelenggarakan upacara adat Saparan Kalibuka.
Upacara adat Saparan Kalibuka diselenggarakan pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sapar. Upacara ini biasanya diadakan bersamaan dengan tradisi bersih desa atau merti dusun yang diawali dengan membersihkan tempat upacara dan jalan menuju ke Sebatur. Biasanya rumpun bambu pring gedhe dibersihkan dan pagar bambu diganti dengan yang baru. Sedangkan pada malam harinya diadakan tahlilan dan tirakatan di Sebatur.
Kasi Adat dan Kesenian Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kulonprogo, Drs Yuwono Hindriatmoko, yang hadir dalam acara itu mengatakan mendukung kegiatan adat tersebut. Menurutnya upacara adat Saparan Kalibuka bisa menjadi pemersatu masyarakat sekaligus untuk melestarikan kebudayaan.
“Kami berharap ke depan upacara adat Saparan Kalibuka ini bisa lebih maju dan menjadi pendukung pariwisata. Karena lokasinya juga dekat dengan obyek wisata Waduk Sermo, ini menjadi potensi untuk bisa menarik wisatawan,” imbuhnya. -cahpesisiran, utk harian suara merdeka-
No comments:
Post a Comment