KEINDAHAN alur sungai berbatu khas pegunungan dan sebuah tebing tinggi menjulang menjadi latar belakang elok perhelatan upacara adat warga Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulonprogo, DI Yogyakarta. Tradisi Saparan di Bendung Kayangan yang telah menjadi tradisi tahunan turun-temurun ini kembali digelar, Rabu (2/1).
Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan yang oleh warga setempat dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Tokoh ini pula yang telah membangun bendungan yang saat ini dikenal sebagai Bendung Kayangan.
Tradisi merti Bendung Kayangan yang disebut juga dengan Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini digelar setiap tahun. Dengan waktu pelaksanaan pada hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar.
Acara merti bendungan ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitarnya. Diantaranya Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, dan Krikil. Saat pelaksanaan, warga berduyun-duyun datang ke lokasi bendungan dengan mengusung tenong (wadah dari bambu) berisi aneka makanan yang akan digunakan untuk kenduri dan makan bersama.
Setelah warga berkumpul dan berbagai makanan tradisional yang dibawa masyarakat sudah tertata rapi di pinggir bendungan kemudian digelar kenduri Saparan. Makanan itu dibagikan pada seluruh pengunjung setelah dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (makan bersama seribu saudara) juga sebagai simbol ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.
“Ini sebagai ungkapan syukur warga kepada Tuhan, dengan adanya bendungan ini sangat bermanfaat untuk pertanian dan kehidupan masyarakat Kayangan dan sekitarnya,” kata pemangku adat, Mulyono.
Prosesi dilanjutkan dengan penampilan kesenian jatilan atau kuda lumping. Ada tradisi yang unik, sesudah berpentas babak pertama mereka memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai atau biasa disebut ngguyang jaran. Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka berpentas lagi.
“Selain ngguyang kuda lumping juga alat peraga kesenian lain, seperti topeng. Ini juga sebagai simbol membersihkan diri dengan air. Karena air memiliki makna sebagai tirta marta atau sumber kehidupan,” jelas Mulyono.
Mengenai Mbah Bei Kayangan, Mulyono menuturkan, konon merupakan seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulonprogo. Di tempat itu Mbah Bei membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan, dan ladang. Selain itu juga membangun bendungan secara manual yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitarnya.
Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Nama Bendungan Kayangan sendiri muncul karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada bukit atau Gunung Kayangan.
Salah seorang warga, Mutrijati (40) mengaku senang dengan diselenggarakannya tradisi Saparan tersebut. Menurutnya upacara adat ini bisa menjadi sarana mempererat kebersamaan antar warga dan melestarikan kebudayaan.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kulonprogo, Sarjana, yang menghadiri acara itu menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat yang masih melestarikan kebudayaan. “Upacara adat ini menunjukkan masyarakat yang guyub rukun. Dengan kebudayaan, semakin merekatkan kebersamaan antar warga masyarakat,” katanya. -cahpesisiran utk suara merdeka-
Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan yang oleh warga setempat dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Tokoh ini pula yang telah membangun bendungan yang saat ini dikenal sebagai Bendung Kayangan.
Tradisi merti Bendung Kayangan yang disebut juga dengan Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini digelar setiap tahun. Dengan waktu pelaksanaan pada hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar.
Acara merti bendungan ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitarnya. Diantaranya Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, dan Krikil. Saat pelaksanaan, warga berduyun-duyun datang ke lokasi bendungan dengan mengusung tenong (wadah dari bambu) berisi aneka makanan yang akan digunakan untuk kenduri dan makan bersama.
Setelah warga berkumpul dan berbagai makanan tradisional yang dibawa masyarakat sudah tertata rapi di pinggir bendungan kemudian digelar kenduri Saparan. Makanan itu dibagikan pada seluruh pengunjung setelah dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (makan bersama seribu saudara) juga sebagai simbol ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.
“Ini sebagai ungkapan syukur warga kepada Tuhan, dengan adanya bendungan ini sangat bermanfaat untuk pertanian dan kehidupan masyarakat Kayangan dan sekitarnya,” kata pemangku adat, Mulyono.
Prosesi dilanjutkan dengan penampilan kesenian jatilan atau kuda lumping. Ada tradisi yang unik, sesudah berpentas babak pertama mereka memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai atau biasa disebut ngguyang jaran. Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka berpentas lagi.
“Selain ngguyang kuda lumping juga alat peraga kesenian lain, seperti topeng. Ini juga sebagai simbol membersihkan diri dengan air. Karena air memiliki makna sebagai tirta marta atau sumber kehidupan,” jelas Mulyono.
Mengenai Mbah Bei Kayangan, Mulyono menuturkan, konon merupakan seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulonprogo. Di tempat itu Mbah Bei membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan, dan ladang. Selain itu juga membangun bendungan secara manual yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitarnya.
Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Nama Bendungan Kayangan sendiri muncul karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada bukit atau Gunung Kayangan.
Salah seorang warga, Mutrijati (40) mengaku senang dengan diselenggarakannya tradisi Saparan tersebut. Menurutnya upacara adat ini bisa menjadi sarana mempererat kebersamaan antar warga dan melestarikan kebudayaan.
Sementara Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kulonprogo, Sarjana, yang menghadiri acara itu menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat yang masih melestarikan kebudayaan. “Upacara adat ini menunjukkan masyarakat yang guyub rukun. Dengan kebudayaan, semakin merekatkan kebersamaan antar warga masyarakat,” katanya. -cahpesisiran utk suara merdeka-
sudah banyak budaya kita yang telah hilang di telan jaman,mudah-mudahan dengan demikian memberi semangat untuk kita semua untuk melestarikannya.salam kenal mas.
ReplyDelete