Tanaman Liar Jadi Minuman Berkhasiat
MENCICIPI segelas teh hangat di rumah Odo Sumarto (67) yang ada di kaki Pegunungan Menoreh, Kulonprogo, DIY, terasa menyegarkan. Sekilas rasanya tidak berbeda dengan rasa teh pada umumnya. Tapi ternyata minuman itu dibuat dari tanaman pegagan dan campuran tanaman-tanaman herbal lainnya.
Teh berkhasiat itu menjadi minuman kesehatan karena memiliki kandungan kimia alami yang bermanfaat bagi tubuh.
Ayah dari dua orang anak itu sedang menggoreng sangrai pegagan kering di dapurnya saat saya datang. Pegagan disangrai dalam kuali gerabah yang diletakkan di atas tungku arang. Dengan cekatan, Odo Sumarto mengaduk-aduk pegagan agar kering merata hingga warnanya menjadi kecoklatan.
“Agar hasilnya bagus, arangnya hanya dibuat membara tidak sampai menyala api. Kualinya dari tanah dan pengaduknya dari bahan kayu agar alami,” ungkap warga Dusun Turusan, Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo itu.
Odo Sumarto mulai memproduksi teh pegagan sejak empat tahun lalu dengan bendera Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Ngudi Rejo. Kemasan tehnya pun dibuat menarik dengan bungkus kertas bertuliskan Teh Antana.
Saat ini, dalam sebulan produksinya mencapai 5.000 bungkus yang selalu terjual habis bahkan terkadang tidak cukup untuk memenuhi permintaan. Pemasarannya antara lain telah mencapai Solo, Jawa Timur, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan.
“Teh ini dibuat dari tumbuh-tumbuhan liar yang multiguna, banyak khasiatnya. Yang sudah konsumsi banyak yang cocok, seperti untuk penyakit gula, asma, ambeien, darah tinggi, meningkatkan daya ingat, serta pencegah liver dan kanker,” ujarnya.
Bahan baku pegagan kebanyakan didapat dari Purworejo, sedangkan teh hijau dari wilayah Kecamatan Samigaluh. Bahan-bahan lainnya didapat dari daerah sekitar, seperti akar alang-alang, benalu, dan bunga melati.
Komposisi dari bahan-bahan itu dalam ramuan tehnya yakni 70 persen pegagan, 10 persen teh hijau, 10 persen akar alang-alang, dan 10 persen sisanya untuk bahan-bahan lain (benalu, jeruk nipis, dan bunga melati).
Proses pembuatannya dimulai dengan mengeringkan bahan-bahan dengan penjemuran dibawah sinar matahari selama sekitar tiga hari. Setelah kering, masing-masing bahan itu dicacah dan disangrai dengan arang sekitar 10-15 menit. Barulah kemudian masing-masing bahan dicampur dengan komposisi tertentu dan siap dikemas.
Kakek empat cucu itu mengaku tidak mengalami kesulitan dengan bahan baku. Dia bisa mendapatkan pegagan basah dengan harga Rp 2.500/kg, pegagan kering Rp 20 ribu/kg, sedangkan benalu kering Rp 25 ribu/kg.
“Harga jual produk Rp 25.000 setiap pak, berisi 10 bungkus. Kami mengambil keuntungan Rp 2 juta dari kapasitas produksi per bulan. Dalam proses produksinya melibatkan warga,” ungkapnya.
Awal mula Odo memproduksi teh pegagan itu lantara dia sering dikirim magang oleh Dinas Pertanian setempat ke industri pembuatan obat. Selain itu dia juga sering membaca buku-buku tentang tanaman herbal dan mendapati adanya khasiat yang baik dari tanaman pegagan sebagai nutrisi otak.
“Dari situ saya terpikir bagaimana agar bisa dikonsumsi setiap hari. Sehingga saya buat berbentuk teh. Semula saya coba membuatnya dengan dikukus, tapi ternyata banyak nutrisi yang hilang dan khasiat kurang, kemudian saya buat dengan disangrai,” jelasnya.
Odo mengungkapkan, keluarganya sendiri sudah membuktikan khasiat teh pegagan tersebut. Seperti kakak dan istrinya yang pernah mengalami bengkak pada kaki karena asam urat, ternyata bisa sembuh setelah rutin meminum teh pegagan.
“Ada juga warga Minggir, Sleman yang harus operasi karena ambeien. Setelah mengkonsumsi teh pegagan dua bulan ternyata sembuh,” ungkapnya.
Untuk pengembangan, Odo berncana membudidayakan tanaman pegagan sendiri agar harga bahan bakunya tidak dipermainkan pasar. Dia mengaku memiliki lahan seluas 4 ribu meter persegi yang disiapkan untuk rencana itu.
No comments:
Post a Comment