Lelaki bernama Iman Rejo (73) itulah yang merintis pertanian di lahan pesisir Kulonprogo dengan sistem pengairan. Ayah dua anak dan kakek dua cucu yang masih enerjik itu pulalah yang telah mengembangkan teknologi sistem pengairan, sehingga proses penyiraman tanaman di lahan pesisir menjadi efisien dan lebih mudah.
Meski dengan teknologi sederhana, sistem pengairan yang dia kembangkan telah diterapkan para petani lain hingga mampu mengubah lahan pesisir yang semula gersang menjadi subur. Iman Rejo mengaku mulai merekayasa lahan pasir agar bisa digunakan bercocok tanam sejak tahun 1982 dengan menanam cabai.
“Awalnya saya hanya membuang sampah bekas bumbu ke tanah pasir dekat rumah. Ternyata ada biji cabai yang tumbuh. Sehingga saya berkesimpulan cabai bisa ditanam di lahan pesisir asalkan ada air. Kemudian saya coba menanam dengan saya buat sumur di lahan pasir,” ungkap warga Dusun Cicikan, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo itu.
Menurutnya, memulai sesuatu yang berbeda dari kebiasaan masyarakat memang sulit. Saat itu, belum ada warga lainnya yang menanam cabai di lahan pasir karena dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia. Namun dengan keyakinan yang teguh, Iman Rejo terus berupaya pantang menyerah. Usahanya pun tak sia-sia, apa yang banyak diragukan petani lainnya berhasil dia tepis.
“Dulu banyak dipaido (tidak dipercaya) waktu saya membuat sumur. Tapi dengan cita-cita tinggi akhirnya Tuhan mengabulkan, tanaman cabai saya bisa panen dengan baik.,” kenangnya.
Sekitar tahun 1990, Iman Rejo mengembangkan lagi dengan menanam semangka, melon, dan tumpang sari kacang tanah, kacang panjang, jagung, bawang merah, dan kedelai. Selain itu, dia juga menanam padi varietas IR 36, IR 64, dan ketan. Upayanya ini kembali berhasil meski pada awalnya juga sempat mendapat tanggapan sinis dari warga lainnya.
“Waktu itu masih dikucilkan lagi (mendapat tanggapan sinis, red), apa tanaman-tanaman itu bisa hidup. Ternyata bisa, bahkan hasinya diukur ubinan untuk padi IR 36 bisa mencapai 7,5 ton/hektar (ha), IR 64 bisa 6,5 ton/ha, dan ketan 5,5 ton/ha,” tuturnya.
Iman Rejo menuturkan, sistem pengairan yang dia kembangkan, pada mulanya hanya dengan membuat sumur memakai bronjong (anyaman bambu berbentuk silinder) agar dinding sumur tidak longsor. Untuk mengangkat air dan menyiramkan ke tanaman masih dilakukan secara manual dengan timba senggot dan gembor.
Kemudian untuk memudahkan penyiraman agar menghemat tenaga dan lebih efisien, tahun 1986 dia membuat bak-bak penampungan yang bagian bawahnya saling dihubungkan dengan pipa. Dengan begitu, air dari sumur yang diangkat dengan pompa air cukup diisikan ke bak terdekat dan bak-bak lainnya akan ikut terisi. Sehingga ketika menyiramkan air ke tanaman tinggal mengambil dari bak-bak terdekat. Sistem ini kemudian dikenal para petani dengan sebutan sumur renteng.
Sistem sumur renteng ini kembali dikembangkan agar lebih efisien. Jika semula untuk menyiramkan air ke tanaman dari bak-bak penampungan masih menggunakan gembor, maka disempurnakan tinggal menggunakan selang saja. Bak-bak yang saling dihubungkan itu dirombak dan tinggal dibuat jaringan pipa yang ditanam di bawah permukaan lahan pasir.
Pada jarak tertentu, pipa itu diberi saluran-saluran yang menyembul ke permukaan lahan. Saat penyiraman, air yang dinaikkan dari sumur dengan pompa air dimasukkan ke ujung pipa terdekat. Kemudian dari ujung-ujung lain yang menyembul, disambungkan selang untuk menyiramkan air ke tanaman. Sistem yang biasa disebut “instalasi” ini mulai diterapkan para petani sekitar tahun 2004 setelah banyak yang menggunakan pompa air dan menggunakan sumur bor.
Pengembangan sistem pengairan di lahan pasir tersebut tidak lepas dari kreativitas dan pemikiran Iman Rejo. Karena prestasinya itu, lelaki lulusan Sekolah Rakyat (SR) tahun 1953 itu mendapat beberapa penghargaan. Diantaranya penghargaan atas pengembangan teknologi tepat guna dan penghijauan pantai dari pemerintah pusat, serta penghargaan lingkungan hidup juara I dari Pemerintah Provinsi DIY. Bahkan, berkat keberhasilannya itu Iman Rejo juga pernah kedatangan tamu dosen dari Jepang untuk studi banding ke lahan pasir yang dia kembangkan.
“Petani harus kreatif. Apa yang diinginkan harus diupayakan agar melampaui dari yang tidak berhasil menjadi berhasil, bagaimana caranya,” katanya saat ditanya apa yang memotivasi dirinya hingga mampu mengembangkan teknologi tepat guna meski hanya melalui proses belajar otodidak.
Pemikiran kreatif Iman Rejo ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sejak setahun lalu dia juga mengembangkan sistem penyiraman yang sekaligus pemupukan. Caranya, pupuk dilarutkan dalam air pada bak yang kemudian disambungkan ke jaringan pipa penyiraman melalui pompa air. “Ini untuk menghemat tenaga, sudah ada beberapa petani yang juga menerapkannya,” tandasnya.-cahpesisiran, utk suara merdeka-
No comments:
Post a Comment