
“INI
Di tempat lain obrolan pun meluas ke masalah tercemarnya produk susu formula oleh bakteri Enterobacter Sakazakii -yang belakangan ramai menjadi sorotan media– setelah salah seorang memesan minuman kopi susu hangat. Tak hanya itu, obrolan pun meluas pula ke masalah politik dan ekonomi. Bagaimana pemerintah saat ini dirasa tidak bisa mengelola subsidi dengan baik. Berbeda dengan masa-masa lalu, dimana harga-harga tidak terlalu mahal. “Subsidi sekarang ini
Banyak memang obrolan yang terjadi di angkringan, mulai dari masalah keseharian hingga masalah kondisi politik ekonomi negara. Mulai dari omong kosong hingga yang serius. Angkringan ternyata mampu pula menjadikan suasana
Memang tidak diketahui secara pasti berapa banyak angkringan yang ada di
Menurut Pengamat Ekonomi UGM, Prof. Dr. Mudrajat Kuncoro, M. Soc, denyut nadi ekonomi Yogya sangat ditentukan pula oleh keberadaan mereka. Sektor ini telah menyerap tenaga kerja yang besar. Menyelamatkan ekonomi
Bila dilihat lebih jauh, angkringan telah berperan sebagai muara pengembangan ekonomi
Mengenai keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 26 tahun 2002 yang mengatur tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Yogyakarta, kata Mudrajat, hal yang terpenting adalah bagaimana Perda tersebut bisa dilaksanakan optimal. “Kalau kita bicara zoning itu sudah jelas. Jalan mana yang tertutup untuk mereka. Dan mana yang boleh. Yang boleh pun juga harus ditata supaya tidak liar. Selain itu, bagaimana agar slogan Jogja berhati nyaman betul-betul bisa terwujud,” kata Mudrajat.
Angkringan memang telah menjadi tumpuan hidup banyak orang. Tak hanya di
menyemangatiku untuk menjalani esok. Halah jadi ngelantur..
-cerita dari lek-lek bakul angkringan-
Tapi pastinya, angkringan memang telah menjadi tumpuan hidup banyak orang. Seperti Lek Maryono misalnya, bakul (penjual) angkringan di depan benteng Vredeburg kawasan Malioboro Yogya. Dengan menjadi bakul angkringan, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah anaknya. “Bisa mencukupi biaya hidup,
dan sekolah anak-anak,” ungkap ayah empat orang anak tersebut dengan grapyaknya. Bahkan Maryono patut berbangga, karena dengan usahanya ia mampu membiayai anak sulungnya kuliah di Fakultas Ekonomi UGM. Maryono mengaku sudah mantab untuk terus menekuni usaha angkringannya. “Manteb di angkringan. Sampai tua tetep angkringan, seperti apa pun kehidupan saya nanti, menjadi orang kaya pun, tidak saya lepas. Karena angkringan ini menjadi sejarah buat saya,” ungkap lelaki yang sudah lama bercita-cita bisa naik haji bersama istrinya tersebut.
Lain halnya dengan Pak Pujuk yang menjajakan angkringannya di Kampung Karangasem Baru Sleman, kampung yang merupakan kantung kos-kosan anak-anak UGM dan UNY. Pak Pujuk Menjadi bakul angkringan sejak tahun 1991. Setelah sempat berganti profesi sebagai kru bis Jogja –
Pak Pujuk menceritakan, waktu pertama berjualan tahun 1991, belum banyak angkringan di Jogja. Modal awalnya untuk membeli gerobag dan peralatan waktu itu hanya sekitar 300 ribu. Sementara untuk saat ini harga gerobag lengkap dengan peralatannya bisa mencapai 1,5 hingga 2 juta rupiah. Dalam semalam omzet penjualannya berkisar 300 - 350 ribu, dengan keuntungan antara 60 – 100 ribu. Pembeli paling banyak anak kos. “Yang jelas di sini asalkan perguruan tinggi tidak libur, selalu ramai,” ungkap ayah dua orang anak tersebut.
Lain lagi cerita dari Kang Raharjo yang biasa dipanggil Kang Kriwil karena rambutnya yang memang ngriwil-ngriwil. Kang Kriwil yang stand by ngangkring di Kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, depan museum kereta ini mempunyai kebanggaan tersendiri. Angkringannya pernah diborong 300 ribu untuk acara perayaan ulang tahun ke-61 Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono X, di Pagelaran Keraton, April 2007 silam. “Di sini ramai kalau ada acara seperti grebeg, acara pentas musik di alun-alun, tahun baru, dan pas lebaran, atau malam 1 Suro. Tapi kalu bulan Suro-nya sepi, dan bulan puasa,” ungkap ayah seorang anak tersebut.

