Thursday, June 12, 2008

Belut Godean

Permintaan Tinggi, Kesulitan Teknik Budidaya

KERIPIK belut dengan mudah dapat ditemukan di Pasar Godean, Sleman, Yogyakarta. Deretan toko kecil yang menjajakan keripik belut dengan display kaca, akan langsung terlihat ketika melintas di depan pasar yang berada di Jalan Godean, sekitar 30 menit perjalanan ke arah barat dari kota Yogyakarta tersebut. Godean memang telah cukup lama dikenal sebagai sentra belut.

Saat ini, di Kecamatan Godean terdapat 36 orang pedagang keripik belut yang tergabung dalam Paguyuban Pedagang Keripik Belut Harapan Mulya. Pada 2007 total produksi mencapai 180.000 kg.

Harga keripik belut di Pasar Godean tergolong relatif mahal yaitu mencapai kisaran Rp 40 ribu per kilogram. Bu Tini, salah seorang pedagang, mengungkapkan sebagian besar bahan baku (belut yang masih hidup) didatangkan dari daerah Jawa Timur, karena pasokan dari Godean sendiri tidak dapat memenuhi kebutuhan. Pasokan belut lokal dari Godean sebagian besar berasal dari para pemburu yang menangkap belut liar di lahan persawahan pada malam hari (nyuluh). “Harga dari pemasok dari Jawa Timur Rp 12 -15 ribu per kilogram. Mendatangkan belut biasanya seminggu sekali 1 atau 1,5 ton, yang kemudian digoreng sendiri,” ungkapnya. Setiap harinya Bu Tini rata-rata dapat menjual 5 – 10 kg keripik belut. Sedangkan pada masa lebaran, penjualan per hari bisa mencapai 50 kilogram.

Meski dikenal sebagai sentra belut, ternyata belum banyak masyarakat Godean yang secara khusus melakukan pembudidayaan. Hal itu dikarenakan belut memang masih relatif sulit dibudidayakan terutama untuk masalah pembibitan. Seperi Hadifa Eels Farm misalnya, usaha pembudidayaan belut yang telah dimulai sejak 2004 tersebut juga mengalami kesulitan serupa. Selain sulitnya mendapatkan pasokan bibit, proses pembesarannya pun ternyata tidak mudah. “Pertama kali masuk bibit 4 kwintal. Tapi karena kesalahan media pembudidayaan, akhirnya panen kurang berhasil. Bibit yang mati hampir 50%”, ungkap Sumarno, pengelola Hadifa Eels Farm.

Pasokan bibit dari Sumpyuh Purwokerto ke Hadifa Eels Farm hanya berjalan sekali kemudian terhenti. Usaha dilanjutkan berupa pengolahan belut dengan bahan baku didatangkan dari luar daerah. Untuk bahan kripik didatangkan dari Jawa Timur. Sedangkan untuk abon dan dendeng, karena diperlukan belut yang besar-besar, maka didatangkan dari Kalimantan dan Sumatera Selatan.

Disamping membuat olahan belut, sejak Januari 2008 Hadifa Eels Farm kemudian juga mencoba melakukan pembibitan sendiri . “Kita belajar sendiri, mengamati sendiri. Dan itu baru mulai ada bibit,” ungkap Sumarno yang kelahiran Godean tersebut. Meski sudah banyak permintaan bibit baik dari calon pembudidaya di Sleman maupun luar daerah seperti Kudus, Semarang, Wonosobo, dan Balikpapan, tapi Hadifa Eels Farm belum bisa memenuhinya. “Ini belum sepenuhnya berhasil. Baru sekitar 50%. Bibit baru masih untuk ternak sendiri dan belum diperjualbelikan,” terangnya. Meski begitu, Sumarno optimistis ke depan akan dapat melakukan pembudidayaan belut dengan pembibitan sendiri, bahkan akan bisa pula menjual bibit.

Dalam pembibitan belut, Sumarno mengaku menghadapi kendala iklim. Karena musim perkembangbiakan belut hanya terjadi sekali dalam setahun, yaitu pada musim penghujan. Kendala lain adalah adanya sifat biologis belut yang unik yaitu perubahan jenis kelamin menjadi jantan setelah dewasan, sehingga tidak bisa lagi sebagai induk. “Belut hanya berkembang biak (bertelur) pada musim hujan saja. Sehingga kita mencoba memanipulasi membuat hujan buatan agar belut bisa bertelur lebih dari sekali dalam setahun,” paparnya.

Sedangkan untuk proses pembesaran belut, dapat dilakukan di kolam beton ataupun di kolam sawah dengan pematang dibuat permanen. Menurut Sumarno, berdasarkan teori yang ia peroleh dari buku, kolam harus diberikan media berlapis berupa jerami, pupuk kandang, gedebog pisang, dan tanah. Media tersebut dibuat dua lapis. “Sedangkan untuk pemberian pakan secara alami seperti cacing dan hewan-hewan air kecil. Kalau pakan pabrik, belut tidak mau,” tambah lelaki yang mengelola pembudidayaan belut di Sokonilo, Sidoluhur, Godean, Sleman tersebut.

Belut dapat dipanen setelah 4 hingga 6 bulan sejak bibit yang berusia tiga bulan ditebar di kolam pembesaran. “Setelah dibesarkan, menurut teori perbandingannya 1:10. Jadi setiap 1 kg bibit bisa menjadi 10 kg belut, atau kondisi paling jelek 1:5,” kata Sumarno sembari menambahkan karena keliru pengaturan media di kolam, pembesaran yang ia lakukan sebelumnya tidak dapat berjalan seperti teori dan panen kurang berhasil. Selain itu, Sumarno menduga banyaknya penggunaan pupuk kimia di lahan persawahan saat ini juga berdampak negatif terhadap perkembangbiakan, peluang hidup, dan pertumbuhan belut.

-inisiatif budidaya-

Meski belum banyak masyarakat Godean yang membudidayakan belut, namun minat masyarakat relatif cukup besar. Salah seorang warga Desa Sidorejo, H. Sardjono (61 tahun) misalnya, tertarik untuk mulai membudidayakan belut sejak awal Mei 2008 lalu. “Baru dalam tahap uji coba,” kata ayah tiga orang anak tersebut.

Sardjono memanfaatkan lahan sawahnya seluas 300 m2 yang ditanami padi untuk sekaligus pembesaran belut. Sebanyak 20 kg benih belut ia tebar di lahan tersebut dengan umur bervariasi yang didapat dari para pemburu belut liar. “Bukan di kolam khusus tapi di sawah. Ditanami padi sekaligus untuk budidaya belut. Di pematangnya diberi pembatas plastik agar belut tidak lepas keluar lahan,” papar lelaki yang juga ketua kelompok tani desa setempat.

Untuk pembesaran belut tersebut, Sardjono melakukan perlakuan khusus terhadap lahan. Sebelum ditanam padi, terlebih dulu disebar pupuk organik berupa pupuk kandang. Selama proses pembesaran juga tidak digunakan pupuk kimia. “Dari pupuk kandang itu nantinya akan menghasilkan sebangsa cacing yang bisa untuk makan belut. Rencana juga akan diberi lampu listrik di atas lahan untuk menarik serangga yang juga bisa sebagai makanan belut. Karena memang belum ada makanan khusus untuk belut yang bisa dibeli,” paparnya.

Direncanakan belut akan dipanen setelah usia 100 hari sejak penebaran benih, bersamaan dengan dipanennya padi di lahan tersebut. Mengenai pemasarannya, Sardjono tidak khawatir akan kesulitan karena permintaan masih tinggi. “Harga antara Rp 14 ribu -17 ribu per kg dari petani ke pembuat keripik belut,” katanya.

-kendala teknik budidaya-

Tidak mudahnya pembudidayaan belut juga diakui oleh Kepala Bidang Perikanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman, Ir. A A Ayu Laksmidewi, MM. Saat ini belum ada rekomendasi teknis resmi tentang budidaya belut yang bisa meyakinkan akan berhasil jika diterapkan. “Rekomendasi teknisnya memang belum ada yang bisa meyakinkan untuk berhasil,” paparnya.

Jika dilihat secara hitung-hitungan di atas kertas, Laksmidewi mengakui budidaya belut memang terlihat sebagai potensi dan peluang yang besar. Tapi kondisi di lapangan ternyata terkendala teknologi, dan secara hitungan bisnis belum tampak keuntungan dari membudidayakan belut. “Kalau hitungan di atas kerta memang besar. Bahkan ada pemberitaan di media massa sekian milyar lari ke Jawa Timur untuk mendatangkan bahan baku belut ke Godean. Sebenarnya masalahnya bukan itu. Di Jawa Timur dengan lahan seluas itu, wajar bila menjadi sumber belut yang besar. Dan di sana pun kemungkinan juga belum budidaya, tapi hasil buruan,” katanya.

Kendati menghadapi kendala dalam hal teknologi budidaya, pemerintah setempat tetap berupaya mempertahankan dan mengembangkan Godean sebagai sentra belut. ”Kalau masyarakat pelaku usaha penggoreng belut mengeluhkan tingginya harga bahan baku, saya menangkapnya bukan kita harus membudidaya sendiri. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan dalam waktu dekat adalah membuat hubungan yang jelas antara pemasok bahan baku dengan pengolah, agar terjadi itung-itungan terbuka. Jadi tidak sepihak saja yang mendapatkan keuntungan besar sementara pihak lain mepet. Mungkin kita bisa berperan sebagai mediator,” kata Laksmidewi menjelaskan. Ia menambahkan, pihaknya tetap merespon dengan pemberian pendampingan jika ada masyarakat yang mengembangkan budidaya belut.

-prospek bagus-

Mengenai prospek ke depan dari pengolahan dan budidaya belut ini, kalangan pelaku usaha melihatnya masih bagus. “Prospek hingga sepuluh tahun ke depan pun saya kira masih bagus karena ini masih kekurangan terus,” kata Sumarno. Bahkan Sumarno mempunyai harapan, Godean tetap dikenal dengan belutnya. “Kita baru merintis produk olahan kemasan yang diberi label belut Godean. Seperti halnya Kentucky yang dikenal dengan Kentucky Fried Chicken-nya, kita ingin mengangkat brand Godean ini dengan belut,” pungkas Sumarno. -cahpesisiran-