Wednesday, December 28, 2011

Warga Larung Uborampe ke Laut

Wujud Rasa Syukur pada Tuhan

LANGIT cerah membiru menaungi hiruk-pikuk warga Ring I Imorenggo, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kulonprogo menggelar tradisi merti dusun. Kegiatan tradisi yang digelar warga pesisir dengan mengusung gunungan dan melarung ubarampe ke laut selatan itu berlangsung semarak.

Acara diawali dengan berkumpulnya warga sejak pagi pukul 08.00 di sekitar situs Pandan Segegek, Minggu (11/12). Di tempat itu, gunungan yang dibuat warga dari ketupat dan hasil bumi telah siap untuk diarak. Selain itu ada juga uborampe lainnya dalam jodhang berisi tumpeng, ingkung, dan jajan pasar.

Setelah mendapat persetujuan dari sesepuh masyarakat, kirab diberangkatkan menuju ke aula Transmigrasi Ring I Imorenggo yang berjarak sekitar 500 meter. Berada di barisan terdepan enam perempuan yang membawa keranjang bunga mawar, diikuti pembawa songsong (payung), pengusung gunungan, dan pengusung jodhang.

“Merti dusun ini sebagai bentuk doa warga kepada Tuhan agar dijauhkan dari dampak-dampak alam dan perilaku manusia sehingga tercipta kesejahteraan. Kami juga ingin memupuk dan melestarikan budaya Jawa yang akhir-akhir ini tergeser budaya kebarat-baratan,” kata sesepuh warga, Sudarwanto (37).

Sesampai di aula, rangkaian tradisi itu dilanjutkan dengan doa bersama. Dalam kesempatan itu sekaligus dilakukan penyerahan bantuan dana stimulant Rp 25 juta dari pemerintah pusat melalui Pemkab Kulonprogo kepada masyarakat Imorenggo untuk pengembangan Desa Wisata Agrobahari.

Prosesi dilanjutkan dengan mengusung gunungan dan uborampe menuju tepi pantai dengan iringan Gending Raja Swala, Pariwisata, dan Prau Layar yang dimainkan oleh kelompok kesenian warga. Ratusan warga Imorenggo beserta warga sekitar dan para pengunjung pun langsung menuju ke arah pantai untuk mengikuti proses melabuh atau melarung uborampe.

Sesepuh yang sekaligus juru kunci Pandan Segegek kemudian menghanyutkan uborampe berupa enam jenis jenang yang diwadahi besek (anyaman bambu) ke laut selatan. Warga dan pengunjung langsung bersiap memperebutkan gunungan yang sebagian mempercayai bila mendapatkan bagian dari gunungan itu akan membawa keberkahan.

Namun tidak seperti labuhan di tempat lainnya, ternyata gunungan diusung kembali ke aula dan baru diperebutkan di sana. Begitu sampai, sontak warga dan pengunjung berdesak-desakan berebut untuk bisa mendapat bagian dari gunungan.

“Saya datang ke sini dan menunggu sejak jam 07.00 tadi, ingin dapat gunungan. Ini saya dapat kupat, terong, dan pare, untuk dimakan. Semoga mendapat rejeki,” kata Surati (50) warga Dusun XV, Karangsewu.

Menurut Sudarwanto, sesaji atau uborampe yang diarak dalam merti dusun itu hanya sebagai bentuk mengemas budaya Jawa sebagai seni. Sedangkan permohonan warga tetap ditujukan kepada Tuhan. Prosesi labuhan atau melarung uborampe ke laut dilakukan karena laut merupakan muara dari semuanya.

“Sehingga semua apa yang menjadi kendala, kami simboliskan dibuang ke laut. Jenang yang dilarung enam macam, antara lain jenang burabari, jenang gecok, dan jenang poncowarno. Tadi gunungan tidak diperebutkan di laut karena untuk menjaga keamanan dan agar makanan tidak kotor,” imbuhnya.

Acara itu antara lain dihadiri oleh Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Riyadi Sunarto, Kabid Kebudayaan Disbudparpora Joko Mursito, dan Camat Galur Jazil Ambar Was’an. Acara merti dusun itu digelar sekaligus untuk memperingati Hari Bhakti Transmigrasi yang jatuh setiap 12 Desember.

“Ring I ini telah berusia 7 tahun (dari program transmigrasi) dan berbagai program pemerintah telah dijalankan. Kita berharap transmigrasi bisa menjadi alternatif pemecahan masalah kemiskinan dan pengurangan pengangguran,” kata Bupati Kulonprogo, Hasto Wardoyo, dalam sambutan yang dibacakan Riyadi Sunarto.

Sementara Camat Galur Jazil Ambar Was’an mengatakan, digelarnya kegiatan tradisi merti dusun tersebut akan memberi manfaat sebagai ajang silaturahmi antar warga masyarakat dan dengan pemerintah daerah. Selain itu juga bisa mendukung pengembangan pariwisata di wilayah Kecamatan Galur. -cahpesisiran, utk suara merdeka-

Isi Liburan Sekolah dengan Cari Pasir

CUACA terik dengan udara yang panas tak membuat belasan anak di Dusun Karang, Desa Tuksono, Sentolo, Kulonprogo, enggan jalan kaki beramai-ramai menuju sungai yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah mereka.

Pagi menjelang siang itu, Jumat (23/12), mereka sengaja pergi ke tepian Sungai Progo untuk membantu orangtua mereka mencari dan mengumpulkan pasir untuk dijual. Memang tidak setiap hari mereka bisa membantu orangtua mencari pasir, karena harus belajar di sekolah.

Maka waktu luang di masa liburan sekolah ini akhirnya mereka manfaatkan untuk membantu orang tua. Berangkat dari rumah, mereka telah menyiapkan enggrong atau alat untuk mengeruk pasir dari dasar sungai. Mereka berkumpul di rumah salah satunya dan kemudian baru berangkat bersama-sama.

Selama di perjalanan menuju sungai tak jarang gelak tawa mereka terpecah karena candaan diantara mereka, khas keceriaan anak-anak. Begitu sampai di tepian sungai mereka langsung berlari kecil diatas pasir yang terhampar.

Seolah tak sabar, mereka langsung masuk ke tepi sungai yang berair dangkal. Segera mereka mengeruk pasir dari dasar untuk dinaikkan dan ditumpuk di tepi sungai. Tak jauh dari situ, beberapa truk terparkir menunggu muatan terisi penuh oleh pasir.

Sejumlah orang dewasa juga tampak mengambil pasir dari dasar sungai yang lebih dalam, dan sebagian lagi memasukkan pasir yang telah tertumpuk ke dalam bak truk. Tak ingin kalah dengan para orangtua, anak-anak pun berusaha mengeruk pasir lebih cepat, sambil tetap bersenda gurau diantara mereka.

“Kami ikut ke sungai untuk mengisi liburan sekolah. Cari pasir di Sungai Progo, membantu orangtua. Hasilnya untuk tambah biaya sekolah,” kata Niko Akbar Arfianto (10), siswa kelas V, SD Kalisono.

Niko yang bercita-cita menjadi tentara itu mengaku tidak takut hanyut saat mencari pasir di sungai. Sebab dia dan teman-temannya yang bersekolah di SD Kalisono dan SD Kalikutuk itu memilih tempat di tepi sungai yang airnya tidak dalam.

Meski hasil yang didapat hanya belasan ribu, tapi Niko dan teman-temannya mengaku senang bisa mencari pasir untuk membantu orangtua mereka. “Kalau tidak mencari pasir, kalau libur hanya main saja, main sepakbola. Ini membantu bapak mencari pasir,” imbuh Yahya Burhanudin Rifai (8), salah satu anak yang lain. -cahpesisiran, utk suara merdeka-

Friday, September 16, 2011

Dua Elang Dilepas di Suaka Margasatwa Sermo

Satu Gagal Karena Terlalu Muda

DUA Elang Alap Jambul yang merupakan satwa dilindungi dilepasliarkan ke kawasan suaka margasatwa Sermo, Kokap, Kulonprogo, pertengahan September ini. Namun satu diantaranya gagal dilepas karena masih terlalu muda.

Pelepasliaran dua elang bernama ilmiah Accipter trivirgatus itu dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta dibantu RCI (Raptor Club Indonesia) Yogyakarta, sebuah komunitas yang peduli dan bergerak dalam pelestarian satwa langka khususnya burung elang.

Kepala BKSDA Yogyakarta, Herry Subagiadi mengatakan, semua jenis Famili Accipitridae yang meliputi burung alap-alap dan elang, termasuk dalam satwa liar dilindungi sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Elang alap jambul yang dilepasliarkan tersebut merupakan hasil penyitaan BKSDA Yogyakarta dari Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTHY) pada 16 Februari silam. Satwa dilindungi itu didapat dari seorang pedagang bernama Wiryono warga Balecatur, Gamping, Sleman. Sebelum dilepasliarkan, kedua elang itu telah dipersiapkan, satu dititipkan ke RCI dan yang satu lagi dirawat oleh BKSDA Yogyakarta.

Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan analisis perilaku, kedua satwa tersebut telah siap untuk dilepasliarkan. Namun ketika dilepaskan, salah satunya ternyata belum mampu terbang jauh. Sehingga diputuskan ditunda untuk dilatih dulu agar nantinya bisa bertahan (survive) saat dilepas.

“Yang satu masih relatif belum bisa beradaptasi dengan alam, ditahan dan dilatih dulu agar bias lebih survive. Kalau dipaksakan bias mati karena masih belum (mampu bertahan),” kata Herry Subagiadi.

Pemilihan Suaka Margasatwa Sermo, lanjutnya, terpilih sebagai lokasi pelepasliaran karena kawasan tersebut merupakan habitat elang alap jambul dengan populasi belalang dan burung kecil sebagai pakannya terpantau cukup melimpah.

Kegiatan pelepasliaran itu sekaligus sebagai upaya meningkatkan populasi burung elang alap jambul di habitatnya dan memantapkan kawasan Suaka Margasatwa Sermo sebagai kawasan konservasi. Dimana salah satu fungsi kawasan konservasi yakni sebagai tempat hidup dan perkembangbiakan jenis yang diperlukan upaya pelestarian.

“Ke depan rencananya kami juga akan melepasliarkan merak, rusa, dan landak, di kawasan Suaka Margasatwa Sermo ini. Setelah ini akan dilakukan kegiatan pemantauan secara rutin untuk melihat keberhasilan pelepasliaran,” ujarnya.

Kepala Bidang Falconary RCI Yogyakarta, Bobby Suhartanto mengatakan, salah satu elang alap jambul yang belum jadi dilepas itu akan dilatih dulu yang setidaknya memerlukan waktu tiga bulan. Usia elang itu memang masih muda yakni kurang dari enam bulan dan beberapa bulunya masih dalam proses pergantian.

“Kalau kondisi fisiknya bagus dan sehat. Tapi memang masih muda, perlu kami latih dulu agar siap dilepas. Ini beda dengan satunya yang sebelum disita merupakan tangkapan dari hutan, sehingga proses adaptasinya lebih bagus,” imbuhnya.

Berdasarkan data BKSDA Yogyakarta, Suaka Margasatwa Sermo hingga akhir 2010 terpantau sebagai habitat bagi lima jenis burung pemangsa yakni elang jawa (Spizaetus baltelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus), elang ular bido (Spilornis cheela), dan alap alap sapi (Falco moluccensis).-cahpesisiran, utk suara merdeka-

Lahan Pasir Gersang Disulap Menghijau

TIDAK begitu jauh dari debur ombak pantai selatan Kulonprogo, hamparan lahan pertanian membentang memanjang mengikuti garis pantai. Di lahan pasir berwarna kehitaman itu warga membudidayakan berbagai jenis tanaman. Hingga warna hijau pun terhampar kontras dengan lahan yang semula kering dan tidak produktif tersebut.

Pagi menjelang siang yang terik itu Tugiman (43) terlihat sedang mempersiapkan lahannya yang akan ditanami semangka dengan membuat sumur dan jaringan pipa untuk penyiraman. Tugiman merupakan satu dari ribuan petani di wilayah pesisir Kulonprogo yang memanfaatkan lahan pasir untuk bertani.

Semula, lahan pasir itu hanya berupa lahan kering dan gersang. Warga kemudian belajar memanfaatkan lahan tersebut dengan teknologi pengairan temuan mereka sendiri sejak sekitar tahun 1980-an. Upaya itu membuahkan hasil luar biasa, dari hamparan pasir gersang berubah menjadi lahan pertanian subur dan tumpuan pencaharian warga.

“Kami bisa menanam berbagai jenis tanaman di sini, seperti cabai, semangka, melon, juga buah dan sayur-sayuran lain,” ujar Tugiman, petani di Dusun Cicikan, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo itu di sela kesibukannya saat di ladang pasir.

Kepala Dusun Cicikan, Desa Bugel, Parji Mardi Utomo mengungkapkan, pertanian di lahan pesisir dengan sistem pengairan dirintis oleh warganya, Iman Rejo (73) bersama adiknya Pardiman (55), sekitar tahun 1980-an. Waktu itu belum ada warga yang memanfaatkan lahan pesisir untuk bercocok tanam. Kalau pun ada hanya beberapa yang ditanami ketela pohon, ketela rambat, dan kentang, dengan mengandalkan air hujan.

Agar bisa ditanami dengan baik, Iman Rejo membuat sumur di lahan pasir miliknya. Tentu saja tidak mudah membuat sumur di lahan pasir yang mudah longsor ketika digali. Kondisi itu disiasati Iman dengan memasang bronjong (anyaman bambu berbentuk silinder) yang dilapisi plastik untuk menjaga diding sumur agar tidak longsor. Di lahannya itu, Iman kemudian menanam cabai dan ternyata bisa panen dengan hasil yang bagus.

“Waktu itu petani lain sinis, banyak orang tidak percaya tanah gisik (pasir) kok ditanami cabai apa bisa. Ternyata Pak Iman membuktikan bisa, dan sekarang banyak petani yang menanam cabai di lahan pesisir,” ujar Mardi Utomo.

Dari waktu ke waktu, lanjutnya, Iman terus mengembangkan sistem pengairan untuk lahan pesisir yang kemudian juga diterapkan petani-petani lain. Mulai dari sistem sumur renteng hingga instalasi atau jaringan pipa yang ditanam untuk mempermudah dan mengefisienkan penyiraman. “Bertani di lahan pasir ini sekarang menjadi penopang utama perekonomian mayoritas petani pesisir,” imbuhnya.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kulonprogo, Bambang Tri Budi Harsono mengungkapkan, luas lahan pasir yang ada di Kulonprogo mencapai 2.938 hektar terdistribusi di empat kecamatan yakni Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur. Komoditas yang dikembangkan mayoritas hortikultura seperti semangka, melon, dan cabai.

“Kontribusi hasi pertanian terutama hortikultur lahan pasir bagi Kulonprogo cukup besar. Contohnya untuk cabai, ada sekitar 900 hektar dengan produktivitas setiap hektarnya 12-15 ton per tahun. Juga ada komoditas lain seperti semangka dan melon yang hampir sama kontribusinya,” katanya.

Menurut Bambang, dari total lahan pesisir 2.938 hektar, baru 60-70 persen yang dibudidayakan secara intensif, sehingga masih ada lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Karena itu, pihaknya melakukan upaya pengembangan untuk mengoptimalkan agar lahan bisa 100 persen dimanfaatkan.

Berbagai program kegiatan dari pemerintah ditempuh untuk mendukung upaya tersebut. Program-program itu berupa fasilitasi infrastruktur, bantuan bibit, serta pendampingan teknis dan manajemen untuk penguatan dan pemberdayaan kelompok-kelompok tani.

"Seperti yang kemarin belum ada penanaman kami fasilitasi infrastruktur, jaringan irigasinya, sehingga ada peningkatan luas bertanamnya. Itu dilakukan secara bertahap. Air tanah sebenarnya tersedia, tinggal kita mengoptimalkan melalui sistem irigasi tanah dangkal, dengan sumur-sumur dan jaringan pipa,” imbuhnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dispertahut, M Aris Nugroho mengatakan, selain tanaman hortikultura, di sebagian lahan pesisir itu petani juga membudidayakan tanaman pangan berupa padi. Lahan yang biasa dimanfaatkan untuk pembudidayaan padi itu seluas sekitar 180 hektar di wilayah Desa Pleret dan Bugel, Kecamatan Panjatan.

“Pada awal musim penghujan sebagian kecil lahan ditanami padi oleh petani, sekitar 180 hektar. Jenis padi yang ditanam gogo, yang cocok untuk lahan kering,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dja’far Siddieq mengatakan, pertanian di lahan pesisir perlu dipertahankan karena merupakan sesuatu yang langka di dunia. Bahkan, di negara-negara Asia yang memiliki wilayah pesisir, tidak banyak yang bisa mengembangkan lahan pantai untuk pertanian.

“Masyarakat berhasil mengembangkan pertanian di sini dari lahan yang kritis dengan menggunakan teknologi kearifan lokal. Beberapa waktu lalu, persatuan irigasi sedunia juga mengagumi teknologi pengairan di lahan pesisir ini,” katanya.

Terkait rencana penambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulonprogo, menurutnya, bijih besi yang ada, selama ini menjadi pengikat partikel-partikel tanah. Bila bijih itu diambil, dirinya mengkhawatirkan partikel-partikel tanah menjadi berongga dan akan terjadi interusi air laut. Kondisi itu bisa mengakibatkan air tanah di lahan pertanian pantai tidak lagi netral atau tawar.

“Padahal lahan seperti ini di dunia jarang adanya. Seperti adanya air yang netral (tidak asin) meski berada dekat laut. Sehingga ketika airnya digunakan untuk menyiram, tanaman bisa tumbuh dengan baik,” kata Dja’far Siddieq yang juga ketua laboratorium pengelolaan tanah Fakultas Pertanian UGM.-cahpesisiran, utk suara merdeka-

Iman Rejo Merintis Pertanian di Lahan Pasir

HANYA beberapa puluh meter dari bibir pantai, seorang kakek tampak sedang menyiram berbagai tanaman yang ditanamnya di petak lahan pasir. Terlihat mudah, dia hanya memegang dan mengarahkan selang yang dari ujungnya menyembur air.

Lelaki bernama Iman Rejo (73) itulah yang merintis pertanian di lahan pesisir Kulonprogo dengan sistem pengairan. Ayah dua anak dan kakek dua cucu yang masih enerjik itu pulalah yang telah mengembangkan teknologi sistem pengairan, sehingga proses penyiraman tanaman di lahan pesisir menjadi efisien dan lebih mudah.

Meski dengan teknologi sederhana, sistem pengairan yang dia kembangkan telah diterapkan para petani lain hingga mampu mengubah lahan pesisir yang semula gersang menjadi subur. Iman Rejo mengaku mulai merekayasa lahan pasir agar bisa digunakan bercocok tanam sejak tahun 1982 dengan menanam cabai.

“Awalnya saya hanya membuang sampah bekas bumbu ke tanah pasir dekat rumah. Ternyata ada biji cabai yang tumbuh. Sehingga saya berkesimpulan cabai bisa ditanam di lahan pesisir asalkan ada air. Kemudian saya coba menanam dengan saya buat sumur di lahan pasir,” ungkap warga Dusun Cicikan, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo itu.

Menurutnya, memulai sesuatu yang berbeda dari kebiasaan masyarakat memang sulit. Saat itu, belum ada warga lainnya yang menanam cabai di lahan pasir karena dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia. Namun dengan keyakinan yang teguh, Iman Rejo terus berupaya pantang menyerah. Usahanya pun tak sia-sia, apa yang banyak diragukan petani lainnya berhasil dia tepis.

“Dulu banyak dipaido (tidak dipercaya) waktu saya membuat sumur. Tapi dengan cita-cita tinggi akhirnya Tuhan mengabulkan, tanaman cabai saya bisa panen dengan baik.,” kenangnya.

Sekitar tahun 1990, Iman Rejo mengembangkan lagi dengan menanam semangka, melon, dan tumpang sari kacang tanah, kacang panjang, jagung, bawang merah, dan kedelai. Selain itu, dia juga menanam padi varietas IR 36, IR 64, dan ketan. Upayanya ini kembali berhasil meski pada awalnya juga sempat mendapat tanggapan sinis dari warga lainnya.

“Waktu itu masih dikucilkan lagi (mendapat tanggapan sinis, red), apa tanaman-tanaman itu bisa hidup. Ternyata bisa, bahkan hasinya diukur ubinan untuk padi IR 36 bisa mencapai 7,5 ton/hektar (ha), IR 64 bisa 6,5 ton/ha, dan ketan 5,5 ton/ha,” tuturnya.

Iman Rejo menuturkan, sistem pengairan yang dia kembangkan, pada mulanya hanya dengan membuat sumur memakai bronjong (anyaman bambu berbentuk silinder) agar dinding sumur tidak longsor. Untuk mengangkat air dan menyiramkan ke tanaman masih dilakukan secara manual dengan timba senggot dan gembor.

Kemudian untuk memudahkan penyiraman agar menghemat tenaga dan lebih efisien, tahun 1986 dia membuat bak-bak penampungan yang bagian bawahnya saling dihubungkan dengan pipa. Dengan begitu, air dari sumur yang diangkat dengan pompa air cukup diisikan ke bak terdekat dan bak-bak lainnya akan ikut terisi. Sehingga ketika menyiramkan air ke tanaman tinggal mengambil dari bak-bak terdekat. Sistem ini kemudian dikenal para petani dengan sebutan sumur renteng.

Sistem sumur renteng ini kembali dikembangkan agar lebih efisien. Jika semula untuk menyiramkan air ke tanaman dari bak-bak penampungan masih menggunakan gembor, maka disempurnakan tinggal menggunakan selang saja. Bak-bak yang saling dihubungkan itu dirombak dan tinggal dibuat jaringan pipa yang ditanam di bawah permukaan lahan pasir.

Pada jarak tertentu, pipa itu diberi saluran-saluran yang menyembul ke permukaan lahan. Saat penyiraman, air yang dinaikkan dari sumur dengan pompa air dimasukkan ke ujung pipa terdekat. Kemudian dari ujung-ujung lain yang menyembul, disambungkan selang untuk menyiramkan air ke tanaman. Sistem yang biasa disebut “instalasi” ini mulai diterapkan para petani sekitar tahun 2004 setelah banyak yang menggunakan pompa air dan menggunakan sumur bor.

Pengembangan sistem pengairan di lahan pasir tersebut tidak lepas dari kreativitas dan pemikiran Iman Rejo. Karena prestasinya itu, lelaki lulusan Sekolah Rakyat (SR) tahun 1953 itu mendapat beberapa penghargaan. Diantaranya penghargaan atas pengembangan teknologi tepat guna dan penghijauan pantai dari pemerintah pusat, serta penghargaan lingkungan hidup juara I dari Pemerintah Provinsi DIY. Bahkan, berkat keberhasilannya itu Iman Rejo juga pernah kedatangan tamu dosen dari Jepang untuk studi banding ke lahan pasir yang dia kembangkan.

“Petani harus kreatif. Apa yang diinginkan harus diupayakan agar melampaui dari yang tidak berhasil menjadi berhasil, bagaimana caranya,” katanya saat ditanya apa yang memotivasi dirinya hingga mampu mengembangkan teknologi tepat guna meski hanya melalui proses belajar otodidak.

Pemikiran kreatif Iman Rejo ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sejak setahun lalu dia juga mengembangkan sistem penyiraman yang sekaligus pemupukan. Caranya, pupuk dilarutkan dalam air pada bak yang kemudian disambungkan ke jaringan pipa penyiraman melalui pompa air. “Ini untuk menghemat tenaga, sudah ada beberapa petani yang juga menerapkannya,” tandasnya.-cahpesisiran, utk suara merdeka-

Sunday, July 03, 2011

Elang Jawa Diselamatkan dari Perdagangan Gelap

ELANG sering kali menjadi simbol kekuatan dan ketangguhan. Namun ketika harus berhadapan dengan keserakahan manusia, burung gagah berani itu terkadang harus takluk tak berdaya.

Seperti yang saya lihat belum lama ini, salah satu elang jawa yang terampas kemerdekaannya dan harus terjerat dalam lingkaran pasar gelap.

Beruntung elang itu berhasil terselamatkan dan diserahkan ke Jogja Orangutan Center (JOC) di Kulonprogo oleh warga Bantul. Burung bernama ilmiah Nisaetus bartelsi itu kemudian dilakukan pemeriksaan fisik dan pengambilan sampel uji serologi untuk menentukan langkah konservasi yang akan dilakukan.

Elang jawa itu diserahkan ke JOC sepekan lalu oleh seorang pecinta satwa, Khusnun Irawan (22), warga Jalan Wonosari, Bintaran Wetan, Piyungan, Bantul. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta itu mengaku mendapatkan elang jawa tersebut dari perdagangan gelap di internet dengan harga sekitar Rp 1.500.000.

“Awalnya saya tidak tahu kalau itu satwa langka. Setelah saya cari informasi, populasi satwa itu tinggal sedikit bahkan kurang dari 400 ekor. Sehari kemudian, elang itu saya serahkan ke JOC karena mengetahui bahwa binatang itu langka, saya ingin ikut melestarikan saja,” katanya.

Khusnun menturkan, elang itu diantarkan ke rumahnya oleh pembeli setelah sepakat dengan harganya melalui penawaran di internet. Menurutnya, saat itu kondisi elang tersebut terlalu jinak dan ada beberapa helai bulu ekornya yang hilang.

“Saya iklas menyerahkan elang itu ke JOC untuk ikut melestarikan. Kalaupun saya pelihara juga berat di ongkos, jadi saya serahkan ke lembaga konservasi,” ujarnya.

Dokter hewan JOC, drh Dian Trisno Wikanti mengatakan, pemeriksaan medis awal tersebut diperlukan untuk menentukan langkah penanganan yang akan dilakukan apakah akan direhabilitasi untuk dilepasliarkan kembali atau dilakukan langkah lainnya. Pemeriksaan awal berupa pemeriksaan fisik meliputi kondisi badan, pernafasan, jenis kelamin, kondisi sayap, ekor, cakar, serta mata.

“Selain itu juga kami ambil sampel darahnya untuk sampel uji serologi, akan dicek di laboratorium apakah terinveksi virus AI (avian influenza atau flu burung) dan penyakit ND (tetelo) atau tidak,” katanya.

Menurut drh Dian, berdasarkan pemeriksaan fisik, elang jawa tersebut layak untuk dilakukan rehabilitasi agar kemudian bisa dilepasliarkan kembali. Elang berjenis kelamin jantan itu secara fisik kondisinya sedang dan tidak terlalu kurus serta nafsu makan dan pergerakannya bagus. Namun elang yang berusia sekitar dua tahun itu saat ini masih terlalu jinak dan bulu-bulu sayap serta ekornya agak rusak.

“Kalau uji serologi baru bisa diketahui hasilnya sekitar 1-2 minggu lagi. Jika ternyata terinveksi AI maka tidak bisa dilepasliarkan,” ujarnya.

Dian mengatakan, saat ini elang jawa tersebut masih dipelihara di kandang karantina. Jika nantinya secara fisik dan uji serologi lolos maka akan dipindahkan ke kandang konservasi. Elang itu akan dikondisikan agar perilakunya kembali normal dan siap dilepaskan kembali ke habitat alamiahnya. “Antara lain bisa dilepas di Merapi dan Merbabu,” imbuhnya.

Saat ini di JOC terdapat empat ekor elang dengan jenis berbeda yang sedang dilakukan konservasi, yakni elang hitam, elang ikan kepala kelabu, elang brontok, dan elang jawa.

Kepala Bagian Pengembangan Program JOC yang juga mantan direktur suaka elang Gunung Salak, Jawa Barat, Gunawan mengatakan, saat ini populasi elang jawa memang tinggal sedikit. Hal itu dikarenakan burung tersebut hanya bertelur sekali dalam dua tahun. Setiap kali bertelur hanya satu hingga dua butir dan rata-rata yang menetas hanya satu telur.

“Residu pestisida di alam juga menjadi penyebabkan penurunan populasi. Berdasarkan penelitian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), populasi elang jawa di alam tinggal sekitar 500 pasang. Habitat elang jawa yang diidentikkan dengan lambang negara, burung garuda, itu di pegunungan yang masih mempunyai 75 % hutan alami,” imbuhnya. -cahpesisiran, utk suara merdeka-

Wednesday, June 08, 2011

Teh Pegagan dari Kaki Menoreh


Tanaman Liar Jadi Minuman Berkhasiat

MENCICIPI segelas teh hangat di rumah Odo Sumarto (67) yang ada di kaki Pegunungan Menoreh, Kulonprogo, DIY, terasa menyegarkan. Sekilas rasanya tidak berbeda dengan rasa teh pada umumnya. Tapi ternyata minuman itu dibuat dari tanaman pegagan dan campuran tanaman-tanaman herbal lainnya.

Teh berkhasiat itu menjadi minuman kesehatan karena memiliki kandungan kimia alami yang bermanfaat bagi tubuh.

Ayah dari dua orang anak itu sedang menggoreng sangrai pegagan kering di dapurnya saat saya datang. Pegagan disangrai dalam kuali gerabah yang diletakkan di atas tungku arang. Dengan cekatan, Odo Sumarto mengaduk-aduk pegagan agar kering merata hingga warnanya menjadi kecoklatan.

“Agar hasilnya bagus, arangnya hanya dibuat membara tidak sampai menyala api. Kualinya dari tanah dan pengaduknya dari bahan kayu agar alami,” ungkap warga Dusun Turusan, Desa Pendoworejo, Kecamatan Girimulyo, Kulonprogo itu.

Odo Sumarto mulai memproduksi teh pegagan sejak empat tahun lalu dengan bendera Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Ngudi Rejo. Kemasan tehnya pun dibuat menarik dengan bungkus kertas bertuliskan Teh Antana.

Saat ini, dalam sebulan produksinya mencapai 5.000 bungkus yang selalu terjual habis bahkan terkadang tidak cukup untuk memenuhi permintaan. Pemasarannya antara lain telah mencapai Solo, Jawa Timur, Jakarta, Sumatera, dan Kalimantan.

“Teh ini dibuat dari tumbuh-tumbuhan liar yang multiguna, banyak khasiatnya. Yang sudah konsumsi banyak yang cocok, seperti untuk penyakit gula, asma, ambeien, darah tinggi, meningkatkan daya ingat, serta pencegah liver dan kanker,” ujarnya.

Bahan baku pegagan kebanyakan didapat dari Purworejo, sedangkan teh hijau dari wilayah Kecamatan Samigaluh. Bahan-bahan lainnya didapat dari daerah sekitar, seperti akar alang-alang, benalu, dan bunga melati.

Komposisi dari bahan-bahan itu dalam ramuan tehnya yakni 70 persen pegagan, 10 persen teh hijau, 10 persen akar alang-alang, dan 10 persen sisanya untuk bahan-bahan lain (benalu, jeruk nipis, dan bunga melati).

Proses pembuatannya dimulai dengan mengeringkan bahan-bahan dengan penjemuran dibawah sinar matahari selama sekitar tiga hari. Setelah kering, masing-masing bahan itu dicacah dan disangrai dengan arang sekitar 10-15 menit. Barulah kemudian masing-masing bahan dicampur dengan komposisi tertentu dan siap dikemas.

Kakek empat cucu itu mengaku tidak mengalami kesulitan dengan bahan baku. Dia bisa mendapatkan pegagan basah dengan harga Rp 2.500/kg, pegagan kering Rp 20 ribu/kg, sedangkan benalu kering Rp 25 ribu/kg.

“Harga jual produk Rp 25.000 setiap pak, berisi 10 bungkus. Kami mengambil keuntungan Rp 2 juta dari kapasitas produksi per bulan. Dalam proses produksinya melibatkan warga,” ungkapnya.

Awal mula Odo memproduksi teh pegagan itu lantara dia sering dikirim magang oleh Dinas Pertanian setempat ke industri pembuatan obat. Selain itu dia juga sering membaca buku-buku tentang tanaman herbal dan mendapati adanya khasiat yang baik dari tanaman pegagan sebagai nutrisi otak.

“Dari situ saya terpikir bagaimana agar bisa dikonsumsi setiap hari. Sehingga saya buat berbentuk teh. Semula saya coba membuatnya dengan dikukus, tapi ternyata banyak nutrisi yang hilang dan khasiat kurang, kemudian saya buat dengan disangrai,” jelasnya.

Odo mengungkapkan, keluarganya sendiri sudah membuktikan khasiat teh pegagan tersebut. Seperti kakak dan istrinya yang pernah mengalami bengkak pada kaki karena asam urat, ternyata bisa sembuh setelah rutin meminum teh pegagan.

“Ada juga warga Minggir, Sleman yang harus operasi karena ambeien. Setelah mengkonsumsi teh pegagan dua bulan ternyata sembuh,” ungkapnya.

Untuk pengembangan, Odo berncana membudidayakan tanaman pegagan sendiri agar harga bahan bakunya tidak dipermainkan pasar. Dia mengaku memiliki lahan seluas 4 ribu meter persegi yang disiapkan untuk rencana itu.

“Untuk itu rencananya kami akan mengajukan penguatan modal dari pemerintah daerah. Kalu bantuan yang selama ini sudah diberikan untuk pengajuan ijin yang sekarang sudah lengkap,” imbuhnya. -cahpesisiran, utk suara merdeka-