Sunday, December 20, 2009

Ditengah Kontroversi

Bertani Harus Tetap Jalan



Di tengah kontroversi rencana penambangan pasir besi yang tidak juga berujung, para petani di lahan pantai Kulonprogo Yogyakarta tetap menjalankan kegiatan pertaniannya. Seperti terlihat di lahan pantai wilayah Desa Bugel Minggu (25/10) pagi kemarin, puluhan petani bergotong-royong memanen semangka milik salah satu petani setempat.

Pagi itu Pardiman (50) yang mengelola lahan itu bersama keponakannya, Nriman, merasa senang karena tanaman semangka yang dia rawat selama 50 hari akhirnya tiba masa panen. Dari lahan seluas 20 x 60 meter itu Pardiman memanen 5 ton semangka yang dibeli tengkulak Rp 600 per kg. Dia pun mengaku mendapat untung besar, karena keseluruhan modal yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 700 ribu.


“Ya bertani harus jalan terus, karena ini menjadi mata pencaharian kami yang utama,” kata Pardiman disela panen, Minggu pagi akhir Oktober lalu.

Berbagai jenis tanaman bisa dibudidayakan di lahan tersebut. Mulai dari buah-buahan seperti semangka dan melon, palawija, hingga sayur-sayuran. “Yang paling menguntungkan kalau ditanami cabai,” katanya. Dalam sekali masa tanam, kata Pardiman, cabai bisa dipanen hingga 30 kali. Keuntungan yang diraih tergantung naik turunnya harga. Kisaran harganya dari yang terendah Rp 2.500 hingga tertinggi sekitar Rp 22.000 per kg.

Pardiman mengaku, saat harga terendah Rp 2.500 pun dia tidak mengalami kerugian. “Waktu harga Rp 2.500 per kg, saya masih mendapat keuntungan 50% dari penjualan,” ungkapnya.
Dari hasil pertanian di lahan pantai, kata Pardiman, warga setempat bisa memenuhi kebutuhan hidup. Tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan sandang pangan, tapi juga untuk membiayai sekolah dan kuliah anak. “Hasil di sini tidak sekedar cukup. Kebutuhan apa-apa dipenuhi dari bertani di sini,” kata Pardiman.

Sebagian besar warga, lanjut Pardiman, memang bermata pencaharian utama sebagai petani di lahan pantai. Maka Pardiman pun mengaku susah jika mengingat rencana akan dilakukannya penambangan pasir besi di wilayah tersebut. “Kami harus kemana kalau daerah ini ditambang?” tanya Pardiman yang mengaku menolak rencana penambangan itu.
“Dulu lahan sini kering, setelah dicoba-coba ditanami warga tahun 1986 akhirnya bias hijau begini. Bahkan waktu itu dapat dukungan dari menteri lingkungan hidup untuk terus dikembangkan. Tapi kok sekarang tau-tau mau dibor (ditambang –red),” kata Slamet (46) petani yang lain menambahkan.

Hal yang sama diungkapkan oleh Murizal (28) warga Desa Bugel. Menurutnya, mayoritas warga pesisir hidupnya dari bertani di lahan pantai. “Seperti saya ini tidak punya ijazah SMP, mau kerja apa kalau tidak bertani di sini. Dulu saya waktu nikah tidak punya apa-apa. Dari menanam cabai saya bisa memenuhi kebutuhan juga membeli sepeda motor,” ungkap ayah seorang anak tersebut. Budi Wiyana, yang juga petani di Desa Garongan secara terpisah mengungkapkan, hasil dari menanam cabai tidaklah kecil. Setelah 3 bulan sejak masa tanam, kata Budi, cabai bisa dipanen setiap 5 hari sekali dengan hasil penjualan 3 juta setiap kali panen.

“Kalau banyak menanamnya, dan harga bagus Rp 25 ribu per kg,” ungkapnya. Selama ini dia mengeluarkan modal sekitar Rp 2 juta untuk sekali masa tanam. “Sekali panen sudah menutup modal,” katanya. Sekali masa tanam bisa panen hingga 4 bulan.


Terkait rencana penambangan pasir besi, Rizal mengaku tidak setuju. Menurutnya, jika lahan tersebut ditambang warga akan kehilangan pekerjaan. “Yang muda-muda mungkin bisa bekerja di pertambangan, tapi yang tua-tua mau kerja apa,” katanya. Rizal juga mengkhawatirkan terjadinya kerusakan lingkungan yang membahayakan akibat kegiatan penambangan. “Di sini dekat bibir pantai, kalau lingkungan rusak air laut bisa naik ke daratan,” tambahnya.

“Kehidupan orang sini dari pertanian, kalau ditambang mau kerja dimana, makan dari apa. Banyak yang tidak setuju dengan rencana penambangan. Harapannya tidak jadi ditambang,” pungkas Budi.
-cahpesisiran utk bernas jogja-

Tuesday, April 14, 2009

Oleh-oleh Dari Solo

Warung Angkringan Pak Kemin


Kukendarai motorku malam ini melintasi depan Monumen Pers Solo. Udara masih terasa sejuk karena sore tadi hujan mengguyur lumayan deras. Tak begitu banyak kendaraan yang lalu lalang di jalanan, sehingga bisa kuhela napas dalam-dalam tanpa khawatir banyak karbon akan masuk ke rongga paru-paruku. Lampu-lampu yang menyala temaram terlihat sedikit menyilaukan, tapi tidak membuat udara terasa panas seperti malam biasanya.

Kuhentikan laju motorku di sebelah barat Monumen Pers. Tak jauh, hanya beberapa puluh meter dari bangunan bersejarah dan legendaris itu. Kuparkirkan motorku tepat didepan sebuah warung angkringan yang berlantaikan trotoar. Sejenak aku belum beranjak dari jok sepeda motor yang selalu mengantarku kemana saja. Kulihat spanduk yang tertempel di tenda berbentuk seperti atap yang melingkupi warung angkringan. Di spanduk itu tertulis ”Warung Wedangan Tukiyo Kemin”. Memang inilah warung angkringan yang juga legendaris itu, tak kalah dengan bangunan di sebelahnya.

Dari cerita yang kudengar, dulu banyak tokoh sering datang kongkow-kongkow di warung angkringan ini. Seperti Setiawan Djodi, W.S. Rendra, juga tokoh-tokoh lain. Ku dudukkan pantatku di kursi kayu panjang, sembari kupesan teh hangat pada bapak pemilik angkringan.

Sesekali sempat kuperhatikan suasana warung angkringan itu. Sekelompok orang datang, beberapa diantaranya menanyakan menu apa yang ada. “Nasi sambel bandeng ada, oseng ada,” jawab lelaki setengah baya sembari sesekali membenahi arang yang membara memanggang dua ceret berbentuk khas. Lelaki yang telah menjadi penjual angkringan sejak tahun 70 an itu tak lain adalah Tukiyo Kemin, sang pemilik warung.

Setelah memesan, kelompok-kelompok itu pun duduk pada kursi kayu panjang. Di depan mereka terhidang aneka makanan khas angkringan. Nasi kucing, sate usus, sate kikil, tempe dan tahu goreng maupun bacem, pisang goreng, beberapa jajanan pasar, dan banyak lagi. Sebagian dari mereka duduk bersila diatas tikar sembari menikmati menu yang telah dipesan.

Setelah beberapa saat duduk menikmati teh hangat dan Pak Kemin terlihat tidak begitu sibuk, barulah aku bisa sedikit ngobrol dengan ”Sang empunya angkringan”. Pak Kemin pun mulai bercerita. Sebelum di tempat ini, dia membuka warung angkringannya di seberang Monument Pers. Tepatnya di lokasi rumah dinas wakil walikota Solo saat ini.

Ia memutuskan pindah ke lokasinya saat ini sejak tahun 2007. Karena lokasi yang lama akan dibangun rumah dinas bagi wakil walikota. “Tidak masalah pindah. Gimana lagi, tempat itu juga bukan punya saya,” kata Pak Tukiyo yang biasa dipanggil Pak Kemin. Kemin adalah nama ayahnya.

Ayah tiga anak ini menuturkan bahwa usaha warung angkringan yang ia geluti ini meneruskan usaha ayahnya. Semula, ayahnya membuka warung angkringan di Monumen Pers, kemudian sejak tahun 1972 pindah ke lokasi rumdin wawali sebelum mulai dibangun tahun 2007. “Sejak tahun 1966 saya sudah mulai membantu bapak,” ungkap Pak Tukiyo Kemin yang malam itu mengenakan polo shirt putih.

Di lokasi barunya saat ini, warung angkringan ini tak sepi pengunjung. Kalaupun agak berkurang, itu karena sekarang sudah banyak warung-warung angkringan sejenis. “Sekarang sudah banyak, tidak seperti dulu,” kata kelahiran Ngreco, Weru, Sukoharjo tahun 1957 itu.

Pelanggan-pelanggan lama yang dari luar kota pun masih ada yang datang. Seperti dari Jakarta, Kudus, dan Semarang. Aku pun penasaran, benarkah dulu tokoh-tokoh sering datang ke sini. Maka kutanyakan langsung pada Pak Kemin. “Saya sendiri awalnya tidak tahu. Tahu-tahu ada yang memberi tahu saya kalau orang yang datang itu tokoh atau pejabat,” jawabnya. Pak Kemin membuka warung angkringannya dari pukul enam sore hingga dua pagi.

Selain menu-menu yang sudah biasa, ternyata ada yang khas dari menu yang disajikan di warung angkringan Pak Kemin ini, yaitu apolo. Yang ia maksud adalah jadah (dari beras ketan) yang diberi coklat. “Dari dulu sampai sekarang ada. Sudah lima puluh tahun pun ndak karatan. Karena buat baru terus,” selorohnya bercanda.

Sebelum kembali sibuk menyiapkan menu yang dipesan serta meracik kopi dan teh hangat, Pak Kemin masih sempat sesekali bercerita. Dari menjalankan usahanya itu, ia mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, bahkan membiayai pendidikan anaknya hingga ke bangku kuliah.

Dan tak terasa, segelas teh hangat yang ku pesan tadi disusul juga apolo sudah hampir punah kupindahkan ke perutku yang kini tak lagi keroncongan. Aku pun kembali menembus udara jalanan yang sudah mulai dingin, tentu setelah membayar dan pamit kepada ”tuan rumah Pak Kemin”. –cahpesisiran, utk Harian Rakyat Merdeka-

Sunday, January 18, 2009

Gula Semut Tembus Pasar Amerika

Padi, buah-buahan, ataupun sayuran yang dihasilkan dengan pertanian organik? Sudah biasa! Tapi pernahkah mendengar penerapan sistem pertanian itu untuk menghasilkan gula kelapa?


Nah, itulah yang dilakukan para petani penderes yang tergabung dalam Jatirogo (Jaringan Petani Kulon Progo) di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Gula kelapa organik produksi mereka bahkan telah menembus pasar Amerika, dan kini bersiap menembus pasar Negeri Sakura.


Secara fisik, gula kelapa organik yang diproduksi Jatirogo dibuat dengan wujud berbeda. Disebut gula semut, yaitu berbentuk butiran-butiran kecil seperti gula pasir. Tetapi, ada juga yang dibuat berbentuk silinder.


Pembudidayaannya dilakukan dengan pupuk alami, proses pembuatan terkontrol dari alat, cara pengolahan, hingga penanganannya. Untuk menembus pasar mancanegara, tentu harus lolos uji standar dan sertifikasi mutu. September 2008 lalu, produk gula kelapa organik para petani Jatirogo telah mendapat sertifikat dari lembaga Control Union Belanda.


Selain itu, kontrol kualitas dilakukan juga melalui sistem kontrol internal atau ICS (Internal Controling System) oleh pengurus Jatirogo. ICS melakukan pengontrolan sarana, peralatan, dan proses pengolahan. Sedangkan dinas pertanian setempat mengontrol pemupukan.


“Di luar Kulon Progo ada yang menggunakan zat kimia sebagai pengental agar warna lebih cerah kekuningan. Tapi dalam 3 hingga 5 hari akan meleleh. Sedangkan gula kelapa organic, pengentalan menggunakan bahan-bahan alami seperti laru dari getah manggis,” ungkap Hendrastuti, koordinator Jatirogo yang juga menjadi koordinator ICS.


Gula kelapa organik diproduksi oleh 1.260 petani penderes di empat kecamatan di Kulon Progo yaitu Lendah, Samigaluh, Kokap, dan Girimulyo. Tahun 2009 direncanakan akan masuk juga kecamatan Kalibawang. Untuk bisa masuk, suatu daerah harus mengubah pola pertaniannya menjadi organik dengan masa transisi tiga tahun agar kondisi tanah kembali organik. Ditargetkan, tahun 2009 Jatirogo akan mempunyai 3.000 anggota petani penghasil gula kelapa organik, dengan bergabungnya satu kecamatan itu.


Proses untuk mendapatkan sertifikat dari lembaga Control Union Belanda tidaklah mudah, harus melewati pengujian atau inspeksi yang ketat bahkan sampai pengambilan sampel tanah. “Jadi tidak main-main. Ada satu petani penderes yang di sekitar pohon kelapanya terdapat pohon rambutan yang dipupuk dengan pupuk kimia, akhirnya tidak lolos. Beberapa petani di Kecamatan Kokap di sekitar lokasi penambangan emas juga tidak lolos, karena dikhawatirkan tercemar logam merkuri,” papar Hendrastuti.


Proses sertifikasi Control Union pun tidak singkat, perlu waktu empat bulan dimulai Februari 2008. Mencakup sosialisasi dan pendaftaran petani yang dilanjutkan dengan inspeksi eksternal dari control union. Inspeksi meliputi kondisi tanah, tanaman, peralatan, dan dapur pengolahan. Dalam proses tersebut, pengurus Jatirogo mengikuti sehingga mengetahui bagaimana standar yang harus diterapkan pada saat menjalankan sistem kontrol internal (ICS). Sertifikat akhirnya keluar bulan September 2008 lalu dari lembaga penguji dari Belanda tersebut.


Hendrastuti mengakui, proses sertifikasi control union sangat berat dan ketat. “Kita bisa lolos karena memang lingkungan belum tercemar zat kimia. Air belum tercemar, dan sebagian besar berada di pegunungan. Selain itu di sekitarnya tidak terdapat persawahan yang kebanyakan telah tercemar pupuk kimia,” katanya. Pengurus Jatirogo bertanggung jawab mengontrol dan menjaga kualitas, termasuk mendorong petani menjaga peralatan dan dapur yang higienis. ”Pengurus Jatirogo tiga bulan sekali melakukan pelaporan pengecekan ICS. Juga melakukan pelatihan tungku sehat,” imbuhnya.


Jatirogo sendiri terbentuk tahun 2000 mencakup 12 kecamtan di Kulon Progo. Pada awalnya, mengembangkan tanaman padi organik dengan bibit padi lokal, bertujuan memperbaiki kondisi tanah. Sejak Juli 2008 Jatirogo mulai memproduksi gula kelapa organik dengan pemasaran ke sebuah perusahaan di Bali. Setelah lolos sertifikasi, pemasaran dapat menjangkau Amerika Serikat melalui perusahaan di Bali tersebut.


Kapasitas produksi untuk pengiriman ke Amerika sebanyak 20 ton per bulan. Ke depan pemasaran juga akan meluas ke Jepang yang saat ini sedang proses penjajakan pemesanan. “Konsumen dari Jepang juga berminat akan memesan,” ungkap Hendrastuti. Selain itu pasar lokal di Yogyakarta juga sudah berjalan meskipun kuantitasnya masih sedikit. Pengembangan pemasaran lokal akan dilakukan ke pusat-pusat perbelanjaan.


Pengelolaan gula kelapa organik yang dilakukan terkoordinasi dalam jaringan petani Jatirogo dimaksudkan agar dapat mengangkat kehidupan ekonomi para petani. Selain itu agar hasil kerja petani penderes bisa lebih dihargai. “Penderes itu kan harus kerja keras memanjat pohon kelapa. Itu berisiko. Bahkan hujan pun harus tetap memanjat untuk nderes (mengambil nira),” kata ibu dua anak tersebut.

Dengan dikelola secara terkoordinir dengan sistem pertanian organik, kehidupan para petani pun terangkat. Harga gula kelapa organik bisa lebih tinggi dari harga gula kelapa anorganik. Per kilogram harga jual dari petani bisa mencapai Rp 8 ribu, sedangkan anorganik saat ini hanya Rp 6.500.


Selain itu, dengan dikoordinir dalam jaringan Jatirogo, harga bisa terstandar dan stabil tidak terpengaruh naik turunnya harga gula di pasaran. “Pada saat harga gula di pasaran turun sampai Rp 4 ribu pun harga beli dari petani tetap harga standar Rp 8 ribu per kg,” ungkap Hendrastuti seraya manambahkan bahwa harga gula di pasaran selama setahun hanya bagus dua bulan saja. Dalam sehari rata-rata para petani gula kelapa organik Jatirogo dapat menghasilkan 2,5 hingga 3 kilogram gula.


Kendala yang dihadapi, kata Hendrastuti, disamping kendala peralatan adalah kurang bisa seragamnya hasil produksi karena dikerjakan oleh masing-masing petani penderes. “Tapi kita selalu melakukan pengecekan dan mendorong menghasilkan kualitas produk sebaik mungkin,” ungkap warga Turus, Tanjungharjo, Nanggulan, Kulon Progo tersebut. Sementara mengenai bantuan, dinas terkait diharapkan dapat memberikan bibit unggul lokal untuk regenerasi tanaman kelapa.


Kebanyakan pohon kelapa yang saat ini berproduksi adalah warisan dari petani generasi sebelumnya. Meski pohon kelapa dideres untuk menghasilkan gula, -yang berarti tidak bisa berbuah- namun para petani tetap dapat melakukan regenerasi pohon. “Dari semua pohon kelapa yang dimiliki tidak semuanya dideres. Ada beberapa pohon yang dibuahkan, itu bisa sebagai pembibitan,” ujar isteri dari Pujono tersebut.


Selain pengembangan gula kelapa organik di empat kecamatan itu, jaringan Petani Kulon Progo (Jatirogo) saat ini juga masih mengembangkan padi organik lokal di kecamatan lainnya. Jenis padi lokal yang diusahakan antara lain Menthik Wangi, Pandan Wangi, Menthik Susu, Somali, Slegreng, Beras Merah, Ketan Ireng, Wiji Lestari, Rening, dan Rojo Lele. “Jadi pengembangan pertanian organik dilakukan sesuai potensi masing-masing wilayah atau kecamatan. Seperti umbi-umbian organik di Kecamatan Pengasih, dan padi organik di Nanggulan dan Galur,” tandas koordinator Jatirogo yang telah berbadan hukum sejak tahun 2003 tersebut. –cahpesisiran utk majalah saudagar-


Rintisan Saat Respons Pasar Kurang Bagus

Salah satu petani pembudidaya gula semut yang menjadi perintis di Kulon Progo adalah Sugiyo. Ia mulai membuat gula semut pada tahun 1985. Namun setelah berjalan dua tahun, pada 1987 ia memutuskan untuk menghentikan produksi.


“Tanggapan pasar waktu itu belum bagus, sehingga saya berhenti,” ungkap warga Penggung, Hargorejo, Kokap, Kulon Progo tersebut. Namun sepuluh tahun kemudian setelah harga gula pasir (gula tebu) mengalami kenaikan tinggi, ia pun kembali memproduksi gula semut pada 1997.


Bekerja keras memulai usaha dari nol pun harus dijalani. “Ibaratnya seperti mendidik dari bayi baru lahir sampai sarjana,” ungkap peraih penghargaan ketahanan pangan dari presiden SBY tahun 2007 tersebut. Sugiyo kemudian membentuk kelompok Sumber Rejeki yang saat ini beranggotakan 22 petani di desa Hargorejo dengan sistem plasma-inti. Total luas lahan mencapai sekitar 60 hektar dengan kapasitas produksi 6 hingga 8 ton per bulan.


Selain dalam negeri, pemasarannya telah mencapai Amerika Serikat melalui Jaringan Petani Kulon Progo (Jatirogo). “Sebenarnya sebelum sertifikat dari control union Belanda keluar, saya sudah bisa menembus pasar Amerika dan Jepang. Pada waktu mengambil produk, konsumen melakukan uji mutu. Dan produk saya bisa lolos walaupun waktu itu belum bersertifikat,” ungkap Sugiyo yang juga menjadi Community Organizer Jatirogo di kecamatan Kokap. Sedangkan pemasaran dalam negeri meliputi Yogyakarta, Jawa Tengah, Jakarta, Riau, dan Bali.


Untuk bisa menembus pasar Amerika dan Jepang, ungkap Sugiyo kualitas memang harus benar-benar baik. “Dengan kondisi alam pegunungan, gula kelapa secara otomatis 90% sudah organik, tinggal pengelolaan dan pengolahannya harus benar-benar bagus,” imbuhnya. Dalam proses produksi, Sugiyo lebih memilih menggunakan bahan bakar kayu. Selain pemanfaatan sumber energi terbarukan juga lebih alami. Untuk menjaga kebersihan dapur, ia membuat tungku dilengkapi dengan cerobong asap. Dengan begitu asap pembakaran bisa terbuang keluar dan tidak mengotori dapur produksi.


Disamping memproduksi gula semut natural tanpa campuran, Sugiyo pun melakukan inovasi produk dengan menambahkan sari empon-empon (rempah-rempah), seperti jahe, kunyit, dan kencur. “Selain memberi rasa khas juga mempunyai khasiat sesuai kandungan empon-emponnya,” kata lelaki yang juga meraih piagam penghargaan dari Muri sebagai pembuat gula kelapa terbesar berukuran tinggi 3,5 m diameter 3 m, berat 3 ton, pada tahun 2002 tersebut. Tidak hanya itu, pengembangan produk pun dilakukan dengan memproduksi juga Virgin Coconut Oil (VCO) dan sirup empon-empon.


Pengembangan usaha gula semut yang ia lakukan, ungkap Sugiyo, tidak semata-mata untuk kepentingannya sendiri. Ke depan ia berharap usahanya bisa lebih memberdayakan masyarakat banyak hingga dapat meningkatkan taraf hidup, pendapatan, dan pengembangan ketrampilan masyarakat. “Sukur-sukur bisa membantu program pemerintah mengentaskan kemiskinan,” pungkas lelaki yang menekankan pentingnya kejujuran dan moral pada para angota kelompoknya tersebut. –cahpesisiran utk majalah saudagar-