Monday, April 28, 2008

Pantai


Aku paling suka pantai..
Ada tenang meski ombak bergejolak.
Ada tenang, meski angin berhembus kencang.
Tapi terkadang mendung pun datang pula ya..?
"Ada yang mencuri matahari" kata seorang teman.
Yah, semoga esok 'kan masih ada sunrise dan sunset.






-pernah diposting sebagai komentar di www.negeriajaib.blogspot.com-


Wednesday, April 23, 2008

Sampah di Hari Kartini??

HARI ini hari bumi, sedangkan kemarin hari Kartini. Sepertinya tidak ada kaitan antara keduanya. … mmm Posting tentang sampah aja ah.. mungkin yang ada kaitannya dengan hari Bumi dan hari Kartini.
Kalau kaitan sampah dengan hari bumi sih tidak terlalu jauh, tapi kalau kaitannya dengan hari Kartini.. sepertinya jauh banget, harus 3 kali ganti angkot, trus naik andong (bendi), habis itu ganti dengan ojek dan jalan 5 km, hehe cape..
Tapi kaitannya apa ya??

Kalau ngomong tentang sampah, aku jadi teringat seorang bapak setengah baya yang setiap harinya, pagi-pagi sekali sudah berkeliling di kompleks perumahan dengan memanggul karung di punggungnya. Tak lelah, setiap ada tong sampah ia berhenti dan mengais di dalamnya, berharap ada plastik-plastik ataupun sampah lain yang laku dijual. Perjuangan yang tiada kenal lelah kupikir.. bergelut dengan sesuatu yang banyak orang menjauhinya karena bau, kotor, jijik, dan sebagainya. Meski banyak yang tak ingin dekat-dekat dengan sampah, nyatanya sampah selalu saja ada seiring dengan aktivitas manusia.

Sampah memang seolah tak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Tanpa disadari pun, sering kali dalam aktivitasnya manusia menghasilkan sampah, walaupun dalam kuantitas yang kecil. Belum lagi sampah-sampah yang dihasilkan oleh industri, dan juga sampah rumah tangga, jika dihitung secara komulatif tentu tidak sedikit jumlahnya.

-kampung Sukunan, pionir pengelola sampah mandiri-

Tentu saja, jika tidak dikelola dengan baik sampah akan menimbulkan berbagai permasalahan. Baik permasalahan lingkungan hingga kesehatan. Namun ternyata, tidak selamanya sampah menimbulkan masalah yang buruk. Bila dikelola dengan baik, sampah masih dapat memberikan berbagai manfaat bagi manusia. Seperti di Kampung Sukunan, Banyuraden, Gamping, Sleman misalnya. Kampung ini merupakan perintis dan pioner di Yogyakarta, sebagai kampung yang mampu mengelola sampah secara mandiri dan produktif. Sampah dikelola bersama secara terpadu, mulai dari pengumpulannya hingga bagaimana menanganinya kemudian. Dengan pengelolaan yang tepat, sampah di kampung ini bisa diolah antara lain menjadi kompos dan berbagai barang kerajinan, hingga bisa menjadi sumber tambahan pendapatan bagi warga.

Ide awal pengelolaan sampah secara mandiri dan produktif ini muncul dari salah seorang warganya bernama Iswanto, yang mempunyai kepedulian terhadap permasalahan sampah dan lingkungan.

Gagasan tersebut muncul karena bagi Iswanto sampah betul-betul menjadi masalah. Sebelumnya ia tinggal di Gondomanan Yogyakarta. Permasalahan benar-benar dirasakannya setelah tinggal di Sukunan sejak 1997 karena tidak memiliki pekarangan yang cukup luas untuk menampung sampah. Sementara, di kampung tersebut tidak ada pelayanan sampah dari dinas/instansi pemerintah terkait, berbeda dengan di kota. Waktu itu, masyarakat tidak bersedia diajak mendaftar ke pemerintah daerah untuk mendapatkan pelayanan sampah, karena sebagian besar masih memiliki lahan pekarangan yang luas. “Tapi temen-temen yang tidak mempunyai pekarangan luas juga merasakan masalah serupa. Belum lagi ada sampah-sampah yang masuk ke sawah menjadi keluhan petani,” ungkap dosen di Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Yogyakarta tersebut.

Dari situlah Iswanto merasa terpanggil, bagaimana mengelola sampah dengan warga tanpa harus mengeluarkan biaya. Ia juga merasa prihatin dengan cara mengelola sampah yang sudah tidak cocok lagi dengan cara-cara konvensional seperti dibakar, dikubur, tetapi masih banyak dilakukan masayarakat. Pengelolaan sampah dengan cara-cara tersebut tetap saja menimbulkan pencemaran dalam bentuk lain.

Atas kondisi tersebut pada tahun 2003, Iswanto merintis pembentukan tim pengelola sampah kampung. Waktu itu kita merintis sebuah sistem pengelolaan sampah yang mandiri, tidak tergantung dengan pemerintah. Masyarakat bisa mengelola sampahnya sendiri, bahkan juga menjadi produktif. Jadi dari pengelolaan sampah itu justru menghasilkan pendapatan-pendapatan bagi kampung ataupun masyarakat,” paparnya.

Dalam perkembangannya, kegiatan itu memunculkan berbagai unit usaha. Yaitu unit usaha kompos, dan unit usaha kerajinan daur ulang yang ada aspek kewirausahaannya. Kemudian ada unit untuk pemuda, yaitu bengkel rekayasa alat-alat pengelolaan sampah. Unit tersebut akhirnya bisa menyerap beberapa tenaga kerja dari kalangan pemuda, dan juga bisa menghasilkan income tambahan. Kemudian ada juga unit diklat, yang fungsi utamanya menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan bagi amsyarakat baik masyarakat Sukunan sendiri maupun masyarakat di luar kampung Sukunan, tentang pengelolaan sampah secara mandiri. Kemudian unit terakhir adalah unit jual beli sampah. Di rumah tangga sampah telah dipilah-pilah menjadi kertas, plastik, dan logam-kaca, kemudian dibawa ke unit jual beli sampah. Jika telah banyak, sampah yang telah dipilah tersebut dijual ke pengepul, dan hasil penjualannya masuk ke kas kampung.

Setelah berjalan dan berkembang dengan beberapa unit usaha, tim dikembangkan atau diubah menjadi paguyuban dengan nama Paguyuban Sukunan Bersemi. Lingkup dari paguyuban tersebut mencakup satu kampung. Namun untuk kegiatan diklat dan pelatihan telah berkembang ke luar Sukunan. Bahkan ada beberapa kampung yang sudah mereplikasi. Di Kabupaten Sleman, kurang lebih 16 kampung telah melaksanakannya, diantaranya Mulungan (kecamatan Mlati), Ngemplak (kec Sleman), Minomartani (kec Ngaglik), dan Sidokarto (kec Godean).

Mengenai alur pengelolaan sampah dalam sistem pengelolaan sampah secara mandiri dan produktif yang dilaksanakan oleh Paguyuban Sukunan Bersemi, sebenarnya sangat simpel. Prinsipnya, jelas Iswanto, setiap rumah tangga memilahkan sampah non organik menjadi tiga yaitu kertas, plastik, dan logam-kaca. Kemudian dikumpulkan di drum sampah yang juga masing-masing terpisah. Dari drum itu akan diangkut oleh petugas seminggu sekali dibawa ke gudang sampah untuk ditampung. Setelah sekitar 1,5 hingga 2 bulan gudang penuh, selanjutnya dijual kepada pengepul.

Untuk sampah organik dari rumah tangga seperti sisa makanan, sayuran, dan sebagainya, diselesaikan oleh masing-masing rumah tangga dijadikan kompos. Ada alat pengomposan. Hasil kompos diprioritaskan untuk digunakan sendiri oleh rumah tangga bersangkutan. Tapi kalau surplus bisa dijual ke unit kompos.

Kemudian untuk sampah yang dihasilkan dari luar rumah atau halaman, seperti daun-daunan, dan jerami, pengelolaannya adalah pembuatan kompos secara kelompok. “Jadi ada kelompok dasawisma. Dari masing-masing kelompok kalau sudah mengumpulkan sampah organiknya, kemudian diolah menjadi kompos oleh unit kompos. Oleh unit kompos selanjutnya di packing dan dijual. Hasil penjualan itu salah satunya untuk membiayai operasional, dan sebagian lagi untuk kas,” papar Iswanto.

Sementara untuk sampah-sampah yang tidak laku dijual seperti bungkus/sachet minuman yang mengandung aluminium foil dimanfaatkan di unit kerajinan. Unit kerajinan ini terdiri dari kelompok ibu-ibu. Hasil penjualan 5 % masuk ke kas kelompok, 25% untuk memebeli bahan-bahan dari masyarakat, 70% untuk ibu-ibu yang membuat. Pangsa pasarnya kepada para pengunjung yang datang untuk belajar pengelolaan sampah di Sukunan. Selain itu juga kalau ada seminar ataupun workshop tentang lingkungan, biasanya panitia order kepada unit kerajinan di Sukunan, seperti untuk map dan tas. Bahkan, menurut Iswanto, orderan tidak hanya dari dalam negeri saja tapi ada juga dari luar negeri. “Kita pernah mendapat order dari Amerika, Australia, Belanda, dan Perancis. Bentuk kerajinan yang dihasilkan bermacam-macam seperti tas, tutup dispenser, dan lain-lain,” kata Iswanto sembari menunjukkan beberapa produk kerajinan yang dihasilkan.

Khusus untuk sampah stereofoam dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. “Kita giling, dibuat menjadi berbagai macam produk yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Dibuat dengan campuran semen dan pasir, menjadi seperti batako, bata, dan pot bunga,” Iswanto menambahkan.

Meski selama ini pemasaran barang-barang kerajinan hasil dari unit kerajinan masih pasif (kepada pengunjung dan menerima order), namun penghasilannya telah mampu menunjang operasional. Bahkan, unit kerajinan menjadi unit yang paling banyak menyumbangkan pendapatan ke kampung. “Yang pertama mandiri adalah kegiatan kerajinan ini. Karena 70% saja sudah masuk ke pengrajin sehingga biaya pengadaan material sudah tertutup. Bahkan yang paling banyak menyumbang ke kampung (PKK) dari unit usaha ini. Omzetnya untuk ukuran kampung sudah lumayan. Juga bisa menambah pendapatan ibu-ibu anggota kelompok perajin,” ungkap dosen yang juga Sekretaris Jurusan Kesehatan Lingkungan Poltekkes Yogyakarta tersebut.

Pendapatan dari unit usaha kerajinan, secara hitungan kotor sudah lebih dari Rp 50 juta (dihitung sejak 2005, berjalan sekitar 2 tahun ini). Dengan rata-rata penjualan per bulan sekitar Rp 3 juta. Sedangkan untuk penjualan kompos sekitar Rp 600 – 800 ribu per bulan.

Sementara kapasitas sampah yang dihasilkan dan dikelola secara mandiri oleh 300 keluarga di kampung Sukunan dalam sebulan rata-rata sebanyak 12 meter kubik, yang berupa logam dan kaca. “Dalam sekali penjualan Rp 300-500 ribu, dikurangi untuk membayar petugas pengangkut dan pengumpul Rp 150 ribu. Pendapatan tidak terlalu besar, tapi yang terpenting masyarakat tidak perlu membayar pengelolaan sampah ini,” kata Iswanto. Untuk kompos per bulan dihasilkan sebanyak sekitar 1 ton, sementara sampah residu (sampah yang tidak dapat dimanfaatkan lagi dan tidak laku dijual seperti pembalut, bekas pampers) sekitar 5% dari keseluruhan, atau sekitar 0,6 meter kubik.

Keberhasilan kampung Sukunan mengelola sampah secara mandiri dan produktif seperti sekarang, tidak serta-merta bisa berjalan dengan lancar. Perlu perjuangan ulet dari para perintisnya. Pada waktu awal menyampaikan gagasan kepada tokoh-tokoh masyaraka beberapa tahun lalu, tak luput juga dari tanggapan pesimistis dari sebagian diantaranya.

Bahkan, setelah berjalan di tahun kelima saat ini, ternyata belum 100% warga masyarakat menerimanya (meskipun sebagian besar warga telah melaksanakanny). “Itu menandakan bahwa untuk mengubah perilaku, membentuk kebisan, perlu komitmen bersama. Perlu monitoring, dan motivasi. Masih perlu perjalanan panjang, lebih-lebih peraturan seperti itu dari pemerintah belum ada. Karena ini merupakan suatu sistem yang diciptakan sendiri oleh masyarakat, dengan aturan-aturan yang tidak sampai melibatkan sanksi-sanksi,” katanya memaparkan.

Lebih jauh Iswanto menyebut, masih ada sekitar 15% masyarakat yang belum mau melaksanakan program tersebut. Ada berbagai macam alasan yang disampaikan, diantaranya karena mereka merasa masih mempunyai lahan untuk menempatkan sampahnya, dan ada juga yang merasa malas. “Tapi itu merupakan hal yang wajar. Karena merubah kebisaaan masyarakat memang memerlukan proses. Setelah melihat manfaatnya sedikit-sedikit mereka akan tertarik. Pendekatan tetap kita lakukan,” ucapnya bersemangat.

Hwahhh….cape.. setelah ganti angkot, ojek, andong, trus jalan kaki baru ketemu. Ternyata ibu-ibu di kampung Sukunan turut berjuang menjaga bumi dan menyelamatkan lingkungan. Antara lain dengan mendaur ulang sampah, membuatnya menjadi kerajinan.. (hehe maksa)

Maju terus Kartini-Kartini Indonesia..!!

(terinspirasi dari tulisan jeng Ndari tentang nggathuk-nggathukke sesuatu yg tidak gathuk.. huehehe)


Tuesday, April 08, 2008

Angsa dan gadis kecil

Ku awali post ku dengan kalimat,

-Once upon a time, in a land far far away.. sak wijining dina ing sakwijining papan.. atau pada suatu ketika di negeri antah berantah..- (Halah, koyok dongeng aja..)


Pada suatu ketika, hiduplah seekor angsa yang tidak berbeda dengan kebanyakan angsa pada umumnya. Suatu pagi, ia keluar dari peraduannya dan berjalan menuju sebuah telaga tak jauh dari sarangnya. Dedaunan masih basah oleh beningnya embun. Angin semilir pun masih terasa dingin, membuat bulu-bulu angsa sedikit terangkat. Beberapa langkah berjalan, ia berpapasan dengan seekor burung nuri yang terbang rendah pagi itu.

“Hai angsa, hendak ke telaga ya.. Eh angsa, kok warna bulumu hanya putih?” kata burung itu.

“Iya. Buluku hanaya berwarna putih, dan aku menerimanya,” kata angsa singkat sembari berjalan.


Tak lama kemudian kembali ia berpapasan dengan seekor burung gagak yang tengah bertengger di sebuah ranting pohon. Butir embun jatuh ke tanah dari beberapa helai daun saat gagak hinggap.

“Hai angsa, kenapa paruhmu pipih seperti itu?” tanya gagak yang kemudian terbang menjauh dengan ber-kaok. Suaranya makin lama semakin sayup dan menghilang.

“Iya. Paruhku pipih, dan aku menerimanya,” jawab angsa.


Angsa pun melanjutkan langkah, dan air telaga jernih membiru mulai terlihat olehnya. Kali ini ia berpapasan dengan seekor puyuh yang sedang mencari makan di sela-sela rerumputan dan belukar.

“Hai angsa, kenapa lehermu panjang sekali?” tanya si puyuh.

“Iya. Leherku panjang, dan aku menerimanya,” kata angsa kembali memberi jawaban singkat.


Sampailah ia di tepi telaga. Dengan bergegas, angsa mendekati air yang memang masih dingin sepagi itu. Diulurkannya salah satu kaki ke air, namun beberapa saat sebelum menyentuh dinginnya air telaga, kembali terdengar sebuah pertanyaan untuknya.

“Hai angsa, kenapa kakimu berselaput?” kali ini suara berasal dari seekor elang yang baru saja menyambar ikan buruannya di telaga. Ikan malang itu masih ada di cengkeraman, saat elang terbang melintas di atas angsa.

“Iya. Kakiku berselaput, dan aku menerimanya,” jawab angsa singkat.


Angsa pun berenang di jernihnya air telaga.

“Bisa saja aku men-cat buluku dengan warna-warni indah ataupun warna emas.

Bisa saja aku mengganti paruhku dengan paruh tajam dan kuat, seperti paruh gagak.

Bisa saja aku memotong leherku agar tak sepanjang ini.

Bisa saja aku mengganti kakiku yang berselaput dengan cakar yang kuat, sekuat cakar elang. Hanya, jika aku tak menerima apa yang ada ini,” senandung angsa sambil berenang di jernihnya

air telaga. Entah telah berapa lama angsa berada di telaga, namun kini mentari telah mulai tinggi dan memancarkan sinar hangatnya.


“Mama lihat..! Ada bebek cantik Ma..!” kata seorang anak di tepi telaga memacah kesunyian.

“Oh itu bukan bebek, tapi angsa,” jawab si ibu setelah mengarahkan pandangan mengikuti telunjuk si kecil.

“Oh angsa.. Angsa yang cantik ya Ma..?!” rengeknya.

“Iya sayang, angsa yang cantik. Seperti putri mama ini,” jawab si ibu kepada putri kecilnya seraya menggandeng tangan mungilnya.


Ada senyum kecil di paruh angsa saat ia berenang menghampiri kawanan angsa-angsa lain di seberang sisi telaga. “Iya. Aku menerimanya,” kata angsa dalam hati.

The end

Tiga keponakanku telah terlelap, aku pun ikut terlelap.

-pesisiran kidul, suatu ketika-