Saturday, February 09, 2008

Bukit Patuk dan Bakpia Patuk

RASA penasaranku tentang “Pathuk” sebagai embel-embel jenis makanan khas Jogja yaitu bakpia, akhirnya terjawab. Dulu, kupikir “Pathuk” yang disebut-sebut mengikuti bakpia tersebut merupakan wilayah yang ada di Gunung Kidul. Tentu tak salah juga, karena di Gunung Kidul memang ada yang namanya Bukit Pathuk. Sedangkan Patuk yang ini, letaknya ada di tengah Kota Jogja. (Lhah trus kok baru tau? Hehe.. sebenarnya udah tau sih, cuma belum pernah cek langsung ke kampung itu)


Suatu hari, kuarahkan laju motorku ke kampung yang bisa dibilang sudah menjadi ‘ikon’ tersebut. Deretan toko dengan papan nama Bakpia Pathuk langsung terlihat, begitu memasuki jalan KS Tubun di Patuk, Ngampilan, Kota Yogyakarta. Kampung Pathuk memang dikenal sebagai sentra makanan oleh-oleh khas Yogyakarta, yaitu Bakpia Pathuk. Puluhan toko oleh-oleh Bakpia Pathuk dari yang kecil, sedang, hingga besar , dengan mudah dapat ditemukan di sepanjang jalan KS Tubun. Tak hanya di sepanjang jalan tersebut, memasuki gang dan jalan kecil di Kampung Pathuk, tak sedikit pula berderet toko-toko bakpia berskala industri rumah tangga. Di hampir semua toko di kawasan tersebut, disamping kita bisa mendapatkan bakpia patuk yang siap dibawa untuk oleh-oleh, dapat pula dilihat bagaimana proses produksinya. Sebagian besar toko-toko tersebut memasang papan nama bertulisakan Bakpia Pathuk diikuti sederetan angka yang menunjukkan merek masing-masing seperti 25, 55, 75, 543, 731, dan masih banyak lagi . Angka yang diambil sebagai merek tersebut merupakan nomer rumah dari masing-masing toko.

Selain di Kampung Pathuk, usaha Bakpia Patuk juga banyak ditekuni warga masyarakat di tiga kampung lain di Kelurahan Ngampilan, yaitu Kampung Ngampilan, Purwodiningratan, dan Ngadiwinatan. Langkahku pun terarah pula ke Kantor Kelurahan Ngampilan. Tercatat, di kelurahan tersebut terdapat 58 unit usaha Bakpia Patuk berskala besar, sedangkan yang berskala menengah dan kecil tercatat sebanyak 78 unit usaha. “Jumlahnya berubah-ubah, terutama untuk yang skala kecil atau industri rumah tangga. Jumlah akan bertambah pada waktu-waktu rame pembeli seperti pada masa liburan dan lebaran,” ungkap Sugiyanto, Sekretaris Kelurahan Ngampilan, Kota Yogyakarta sembari membolah-balik lembaran daftar pelaku usaha bakpia.

Berbicara mengenai asal usul bakpia, jenis makanan tersebut sebenarnya berasal dari Cina, dari kata pia yang artinya kue. Kue-kue dari cina banyak yang memakai nama pia. “Bakpia kan aslinya dari RRT (Cina), pia berarti kue. Pokoknya yang dari sana itu namanya pia. Kalo semua makanan yang pakai pia itu maksudnya kue. Misal, nopia itu kue yang pake gula Jawa, kalau bakpia ini kue pakai gula pasir,” ungkap Handoko, salah satu pengusaha bakpia yang usahanya dirintis kakeknya sejak tahun 1931 tersebut. Nama bakpia sebenarnya terjadi salah penyebutan, karena 'bak' sendiri berarti daging. “Bakpia itu pakai isi daging. Kalau di Indonesia sama sekali tidak pakai daging. Bak itu kan daging, kalau menurut aslinya dari Cina, bakpia memakai daging babi. Sebenarnya, istilahnya ya pia itu,” katanya.

Sementara untuk nama “Pathuk” yang melekat pada bakpia menjadi bakpia pathuk, menurut Handoko, sebenarnya adalah nama gedung bioskop yang saat ini menjadi Pasar Pathuk Gondomanan, jalan Bhayangkara Yogyakarta. “Sebenarnya patuk itu kan nama gedung bioskop pathuk, yang sekarang menjadi Pasar Pathuk. Kalau sekarang yang menjadi sentra bakpia patuk kan di jalan KS Tubun. Dulu, bakpia pathuk itu ambil dari bioskop pathuk,” ungkapnya.

Mengenai proses pembuatan bakpia memakan waktu sekitar 3 sampai 4 jam. Proses pembuatannya, terigu dibuat adonan dengan memakai minyak goreng, yang akan dijadikan kulit. Sedangkan untuk isinya dari sari kacang hijau. Kacang hijau direndam semalam, setelah itu baru diolah manjadi isi. Untuk proses pematangannya dioven selama sekitar seperempat jam. “Dioven dengan gas. Kalau dulu memakai arang, tapi sekarang untuk mendapatkan arang sudah sulit,” ungkap Handoko setengah menerawang membayangkan bagimana dulu kakeknya menjalankan usaha yang kini diteruskannya.

Begitulah. Bakpia Pathuk telah menjadi makanan oleh-oleh khas Jogja. Menjadi usaha turun-temurun hingga kini di kampung Pathuk.

-pesisir kidul ketika melangkah-

Thursday, February 07, 2008

menatap ke depan (tiada perlu berpaling ke belakang)

Selalu melangkah..
Selalu menjejakkan kaki sejauh asa membawa..
Kucoba arahkan pandang ke depan dan bukan ke belakang.
Tiada guna kupalingkan pandang ke belakang, karena di situ ada suatu kelam.
Sesekali tergoda hatiku tuk menghardik kelam yang membayang.. Namun segera kuhempas, toh tiada guna jika ku hardik.
Toh tiada yang kan berubah jika ku menghardik, karena kelam tlah ada di belakang.
Toh aku pun tak lagi menghirau terhadap kelam, karena kini kelam tiada arti sebutir debu pun buatku.
Karena pandangku tlah ku teguhkan tuk menatap ke depan, bukan kepada kelam yang tlah lalu dan tiada berarti.
Tiada berarti..

Setapak jalan di depan pun berkata, "laluilah aku, didepan ada asa mu".

Banyak yang hilang di generasi 'setelah babe gue'

Seorang teman dalam blog nya menyampaikan kegundah-gulanaan hatinya tatkala melihat generasi 'kini' yang mulai kehilangan nilai lokal.
Aku pun ketika itu kemudian turut menyampaikan uneg-uneg ku yang kutuliskan mengomentari tulisan temen ku itu:

Pancen..
banyak yang hilang..
Entah mengapa, apakah kita terlena dengan modernitas, globalisasi, dan teknologi..?
Ataukah kita memang sempat bosan dengan kelokalan kita..?
Bak pepatah mengatakan, 'Apa yang tak kita miliki, itulah yang kita ridu. Sedang apa yang ada di genggaman tangan seolah tiada lagi berharga..'
Ketika kemudian kita mulai bosan dengan hingar-bingar modernitas, teknologi, dan 'barat'..
Kita tersentak kaget, apa yang kita miliki diklaim orang lain..
Tentu rasa pilu dan perih ada di dada..apa yang ada di genggaman kita hendak diambil orang!!
Tapi.., kenapa bisa diambil orang?
Mungkinkah kita sempat lupa dengan apa yang ada di genggaman kita? Mungkinkah kita pernah bosan terhadapnya, dan tanpa sadar menghempaskannya? ...
<<< >>>
Ya..
Aku pun turut prihatin ketika banyak nilai-nilai lokal dan budaya lokal di sekitar, yang mulai banyak ditinggalkan oleh generasi-generasi 'setelah babe gue'.. Ya, banyak sekali anak-anak sekarang yang tak mengenal lagi nilai lokal yang telah turun temurun dari generasi 'neneknya buyut gue.. dan seterusnya ke atas'.
Anak-anak sekarang memang banyak yang telah melunturkan nilai lokal dari dirinya..
Anak-anak sekarang?
Termasuk generasiku dong?!! Ya memang.. dan mungkin juga aku di dalamnya, telah melebur pada apa yang dinamakan globalisasi, hingga nilai-nilai lokal mulai tergeser dari jiwa dan hatiku..
Padahal, betapa dan begitu berharganya kelokalan kita. Betapa indah, mulia, dan bahkan bisa juga bersifat universal, 'local wishdom' yang kita miliki di dalam budaya dan nilai-nilai lokal kita.
Maka akankah kita hanya berdiam diri saja membiarkan 'yang berharga itu' luntur dari diri kita, dari hidup kita, dari keseharian kita? .. Sumonggo dipun jawab piyambak-piyambak..!!
--
Aku terkesan dengan tulisan temenku. Maka ku hadirkan pula tulisan temenku itu di sini, dari dua orang teman berjuluk jangkrik ngerik dan juga ilalang berbisik:

PADHANG MBULAN EUEY

wengi iki padhang mbulan.....!
takbayangake...krisdayanti rengeng_rengeng geguritan,
ing sandinge "the rock" jingkrak jingkrak nunggang jaran kepang..
lamunane wong edan???

ing ati iki ono roso kuciwo..
jare ngaku wong jowo
,nanging do ora iso honocoroko..(padahal aku yo ora iso..he..)
sopo kang gelem nguri_uri mogobothongo?
mosok arep di_ekspor ing negoro liyo???
tempe wae(panganan ket jaman majapait) jare wis di hakpatenke jepang?
tembang rasa sayange,kok yo iso diaku tembang malasia?
lha piye maneh???
bocah kang lagi thingis....diajari "good morning"
didolani tamiya,ps,komputer...
dipakani hotdog,pizza.....
metu soko ngomah,wedi keno bledug...
sesuk sopo yo?
kang muni sugeng enjang...
dolanan gobag sodor..
ngopeni thiwul growol.....
santai wae ding,isih ono wong tuwo tuwo..
lha yen kabeh kang iso do tilar donyo???
we lah,padhang mbulan tho saiki??
ah,isih kalah padhang karo neon,
mending ing njero ngomah,iso nonton,,,, po kelon ??? (www.jangkrikngerik.blogspot.com)

Menyimak puisi diatas, kita seperti tersadarkan betapa anak-anak dan generasi muda kita telah begitu jauh melupakan budaya asli daerahnya. Saya jadi teringat masa kanak-kanak dulu sekitar tahun 80an sewaktu bulan purnama tiba. Sehabis Isya hingga menjelang larut malam, anak-anak bermain di halaman di bawah terang sinar rembulan. Ada yang bermain gobag sodor, petak umpet, jethungan, nom tuwa dan sebagainya. Sedang anak perempuan bermain tali atupun dakon. Terasa sekali suasana keceriaan dan keriangan yang khas kekentalan lokalnya. Rasa suka cita terbawa sampai ke alam mimpi kemudian.

Kini suasana seperti itu sudah jarang kita temukan lagi, berganti permainan canggih produk barat dan budaya luar lainnya. Anak-anak lebih senang bermain playstation atau nge-game di warnet. Budaya televisi pun merampas budaya bermain anak-anak. Mereka lebih senang nongkrong di depan televisi nonton sinetron atau gosip infotainment daripada mengembangkan kreativitasnya di luar. Jadilah anak-anak ini generasi yang malas tak mau bekerja keras. Mereka selalu mendapatkan sesuatu dengan mudah tanpa melalui bayak perjuangan. (www.ilalang-berbisik.blogspot.com)