Friday, November 01, 2013

Asiknya Main Aeromodelling..

MINIATUR pesawat yang benar-benar bisa diterbangkan dan dikendalikan menggunakan remote control membuat banyak orang penasaran. Berawal dari rasa penasaran dan ingin mencoba itulah maka aeromodelling mulai banyak digemari warga Kulonprogo, DIY, sebagai hobi.

Para pehobi di kabupaten yang disebut-sebut sebagai calon lokasi pembangunan bandara internasional pengganti Adisutjipto Yogyakarta itu telah membentuk komunitas yang diberi nama Kulonprogo Aeromodelling Club (KPAC). Selain mewadahi para pehobi, komunitas ini sekaligus menjadi wadah bagi yang menseriusinya menjadi atlet.

Bila cuaca cerah, anggota komunitas ini hampir setiap sore selalu melakukan latihan bersama menerbangkan pesawat-pesawat mininya. Lokasi yang dipilih pun berpindah-pindah, seperti di lapangan maupun di ruas jalan baru yang belum difungsikan. Atraksi manuver-manuver aeromodelling yang mereka tampilkan selalu saja menarik perhatian warga sekitar.

Komunitas pecinta aeromodelling di Kulonprogo ini terbentuk sejak lima tahun lalu, tepatnya 2008 silam. Berawal dari satu-satunya atlet aeromodelling Kulonprogo saat itu, Rahmali (40), yang mengenalkan pada masyarakat setelah dirinya mengikuti lomba tingkat nasional di kawasan Bandara Adisutjipto Yogyakarta dan di Tasikmalaya, Jawa Barat.

“Waktu itu saya baru mengikuti kategori freeflight. Tapi di aeromodelling kan juga ada yang elektrik menggunakan remot, saya sering menerbangkan, banyak yang nonton. Penonton minat-minat kemudian punya sendiri-sendiri menjadi hobi,” ungkapnya di sela-sela latihan bersama di lapangan Kenteng, Demangrejo, Sentolo, Selasa (6/3).

Mereka kemudian dikumpulkan dalam satu wadah komunitas baik untuk yang hobi maupun keolahragaan. Hingga kini, anggota komunitas yang berada di bawah Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Kulonprogo ini berjumlah 30 orang.

Di antara jumlah tersebut yang merupakan atlit alias menseriusinya sebagai olahraga sebanyak 10 orang baik untuk kategori freeflight maupun control line atau speed control. Anggota komunitas ini berasal dari beragam kalangan, mulai dari pelajar, pengusaha, hingga polisi. Bahkan ada juga anggota komunitas yang merupakan crew grup band kondang asal Yogyakarta, Sheila On 7.

Saat latihan bersama, beragam atraksi maneuver yang mereka tampilkan memang selalu menarik. Apalagi dengan beragam bentuk pesawat aeromodelling yang bervariasi pula, seperti model wings dragon, cessna, helicopter, hingga jet.

“Tujuan kita yang pertama ke olahraga prestasi, walaupun di aeromodelling ini juga ada unsur iptek dan rekreasi. Sehingga yang sekarang mereka hobi juga kita arahkan ke keatletan. Pada Porprov DIY 2011 lalu kita dapat medali emas untuk kategori freeflight,” tutur Rahmali yang juga Ketua FASI Kulonprogo serta Ketua KPAC.

Dalam menjaring calon atlet, lanjutnya, KPAC dan FASI Kulonprogo ke depan berencana mensosialisasikan aeromodelling ke sekolah-sekolah. Diharapkan aeromodelling ini bisa masuk menjadi ekstrakokurikuler di sekolah sehingga sekaligus menjadi sarana mencari bakat keatletan.

Salah satu anggota komunitas, Muhammad Arifin Nur (15) yang juga pelajar SMA 1 Wates, mengaku tertarik bergabung karena ingin belajar lebih banyak tentang aeromodelling. Apalagi dia berencana melanjutkan studi di perguruan tinggi jurusan elektronika. “Rencananya kalau bisa ingin ikut Porprov juga,” ungkapnya.

Berbeda dengan Arifin, Wiji Baryono (44) mengaku tertarik untuk bergabung sejak 2010 karena merasa penasaran dengan aeromodelling. Meski hobi ini dibilang mahal, namun menurunya tidak sepenuhnya benar. Sebab, setelah memahami seluk-beluknya maka bisa membuat bodi pesawat aeromodelling sendiri.

Untuk mencoba hobi ini bisa dimulai dengan membeli pesawat aeromodelling yang sederhana dulu. Cukup dengan merogoh kocek sekitar Rp 1,5 juta, pesawat mini sudah ditangan dan bisa mulai belajar menerbangkannya.

“Mudah-mudahan anggota semakin banyak dan lebih terkoordinasi. Selain hobi kalau bisa juga menjurus ke olahraga prestasi,” pungkas Wiji.
-cahpesisiran, utk suara merdeka-

Thursday, July 18, 2013

Pasar Tiban Ramadan Kampung Kauman (2013)

 Lebih Dari 30 Tahun Tetap Eksis

BILA dibanding pasar ramadan Kampung Kauman di Kota Yogyakarta, Pasar Tiban Ramadan Kampung Kauman di Kecamatan Nanggulan, Kulonprogo, mungkin masih kalah tenar. Namun pasar sore Ramadan ini juga sudah eksis sejak lebih dari 30 tahun lalu dan bertahan hingga kini.

Pasar yang hanya ada setiap sore di bulan Ramadan ini berada di sisi salah satu simpang empat Jalan Nanggulan-Wates di Dusun Kauman, Desa Jatisrono, Kecamatan Nanggulan, Kulonprogo, Yogyakarta. Letaknya hanya beberapa meter saja di sebelah barat Kantor Kecamatan Nanggulan.

Suasana selalu ramai setiap sore. Puluhan bahkan ratusan orang silihberganti datang dan pergi sejak pukul 15.30 sampai menjelang waktu berbuka puasa. Beragam menu berbuka pun tersedia, dijajakan oleh puluhan warga yang berderet di tepi jalan menuju Masjid Jami’ Kauman.

Masjid yang berdiri di tanah kasultanan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini diperkirakan dibangun pada tahun 1790-an pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II. Keberadaan masjid berusia tua dan pasar Ramadan di kampung Kauman ini sekarang seolah telah menjadi bagian yang saling melangkapi.

“Pasar tiban setiap bulan puasa ini sudah ada sejak saya masih kecil, umur lima tahunan. Tapi awalnya baru satu dua pedagang, mulai ramai sejak 10 tahun lalu. Ini ada di tepi jalan menuju masjid yang merupakan masjid Keraton, jadi ada daya tariknya tersendiri,” ungkap salah satu warga Dusun Kauman, Azhari (45), Selasa (16/7).

Selain warga sekitar, pedagang yang berjualan di pasar Ramadan ini ada pula yang berasal dari wilayah kecamatan tetangga seperti dari Kecamatan Girimulyo. Pasar Ramadan ini mampu menggerakkan perekonomian warga, setiap tahun jumlah pedagang semakin bertambah.

“Tentu ini menggerakkan ekonomi masyarakat, pedagang yang baru-baru banyak. Dari tahun ke tahun makin ramai,” imbuhnya.

Semakin sore pasar ini semakin ramai, warga berbondong-bondong silih berganti datang untuk membeli menu berbuka. Dari orang tua hingga remaja dan anak-anak tampak berbaur di pasar Ramadan Kampung Kauman ini.

Aneka makanan dan minuman untuk berbuka bisa dengan mudah didapat di sini. Dari minuman es buah, dawet, kolak, hingga aneka makanan seperti bakmi dan pecel ada di pasar sore ini. Aneka lauk seperti rendang, ikan, maupun sate pun ada.

Atau bila sekedar ingin membeli menu ringan untuk berbuka, aneka gorengan tersedia pula. Ada lagi menu berbuka yang khas di daerah ini, yaitu gebleg dan binggel yang terbuat dari ketela dengan lauk besengek tempe.

“Tiap sore saya ke sini beli menu berbuka. Biasanya beli bakmi sama geblek, ini makanan sehari hari yang khas di sini,” kata Eni Kurniawati (23) warga Wijimulyo, Nanggulan, yang rumahnya berjarak 2 km dari pasar Ramadan Kauman ini. (Panuju Triangga utk Suara Merdeka)

Pasar Tiban Ramadan Kampung Kauman (2010)

Ada Sejak 30 Tahun Lalu
SORE hari suasana Ramadan di Kampung Kauman, Desa Jatisrono, Kecamatan Nanggulan, Kulon Progo,  begitu kental. Terutama dengan adanya pasar tiban yang hanya terjadi di saat bulan Ramadan dan di sore hari saja. Puluhan orang berkumpul di sekitar salah satu simpang empat Jalan Nanggulan-Wates yang melewati kampung itu. Dikenal dengan simpang empat Kauman, hanya beberapa meter sebelah barat Kantor Kecamatan Nanggulan.

Aneka menu makanan dan minuman untuk berbuka bisa dengan mudah didapat di pasar yang mulai ramai pukul 15.00 WIB itu. Dari minuman es buah, dawet, kolak, hingga aneka makanan seperti bakmi dan pecel ada di pasar itu. Tak ketinggalan, lauk seperti rendang, ikan, maupun sate pun ada. Atau sekedar ingin membeli menu ringan untuk berbuka, aneka gorengan tersedia pula. Ada lagi satu menu berbuka yang khas di daerah itu, yakni binggel dan geblek yang terbuat dari ketela.

“Sudah tradisi, berbuka kalau belum bakmi sama binggel masih kurang. Belinya ya di pasar Ramadan Kauman ini,” ungkap Ariyadi (50), salah seorang warga sekitar sembari membeli binggel, Senin (16/8) sore.

Dari cerita warga, pasar Ramadan di Kampung Kauman itu telah ada sejak sekitar 30 tahun lalu. Awalnya hanya tiga warga saja yang menjajakan menu berbuka puasa di tempat itu. Namun lambat laun, dari tahun ke tahun, jumlah warga yang menjajakan aneka menu makanan dan minuman semakin bertambah.

“Sejak saya kecil sudah ada. Setiap bulan puasa saya bantu ibu berjualan di sini,” kata Juminah (33) salah satu pedagang yang juga warga sekitar.

Setiap sore di bulan Ramadan, para penjual yang kebanyakan merupakan warga sekitar, sudah mulai menata barang dagangannya pukul 14.30 WIB. Semakin sore pasar itu semakin ramai, selain penjualnya telah lengkap, warga pun berbondong-bondong silih berganti datang untuk membeli menu berbuka. Dari orang tua hingga remaja dan anak-anak tampak berbaur di pasar Ramadan Kampung Kauman itu. Pasar itu mulai sepi pukul 17.00 menjelang waktu berbuka.

Lokasi pasar Ramadan itu juga istimewa, karena terletak di pinggir jalan menuju ke Masjid Jami’ Kauman.  Sebagian warga menyebut, masjid itu merupakan masjid Kasultanan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan dibangun di atas tanah milik Kraton. Di sekitar masjid itu juga berdiri sebuah pondok pesantren bernama Al Miftah.

“Hampir setiap tahun Sultan datang ke sini. Setiap acara tasyakuran pondok pesantren malam tanggal 19 Sya’ban atau sepuluh hari sebelum bulan puasa. Tapi kalau Sya’ban kemarin Sultan tidak hardir,” ungkap Juminah.

Ya, meski telah ada sejak 30 tahun lalu, pasar itu mungkin memang belum begitu banyak dikenal masyarakat di luar Kulon Progo. Bahkan, mungkin sebagian warga Kulon Progo pun juga belum mengetahui keberadaan pasar yang memberi nuansa khas di bulan Ramadan ini. 

“Yang datang ke sini, selain warga sekitar sini ada juga dari kecamata tetangga. Tapi kalau yang dari luar daerah khusus datang ke sini sepertinya jarang,” imbuh Sarikem (55) warga lainnya yang juga berjualan menu berbuka. (Panuju Triangga utk Suara Merdeka)

Wednesday, March 06, 2013

Komunitas Fotografi Geblek Kulonprogo


Sharing Pengetahuan dan Angkat Potensi Daerah

FOTO merupakan salah satu sarana untuk mengabadikan sesuatu yang ada di sekitar sehingga terdokumentasi. Fotografi kemudian berkembang pula menjadi sarana ekspresi seni yang banyak diminati kalangan anak muda sebagai hobi.

Bagi pecinta fotografi di Kabupaten Kulonprogo, kesamaan hobi pada kegiatan yang menghasilkan gambar dengan sarana kamera tersebut menjadi perekat terbentuknya komunitas. Mereka menamakan diri sebagai Geblek (Gerombolan Bermain Lensa dan Kamera) Kulonprogo yang terbuka bagi siapa saja untuk bergabung.

Selain sebagai sarana saling berbagi ilmu fotografi, komunitas ini juga dibentuk untuk memperkenalkan potensi-potensi daerah. Mulai dari landscape atau pemandagan alam, seni budaya, pariwisata, upacara-upacara adat, makanan tradisional, kerajinan, hingga sisi human interest warga Kulonprogo.

Nama Geblek Kulonprogo sendiri diambil dari nama makanan gebleg yang merupakan makanan tradisional khas Kulonprogo. Pemilihan nama tersebut untuk menunjukkan ciri khas daerah asal komunitas dirintis.

“Awalnya cuma dari kesamaan kesenangan fotografi. Saya dan mas Didit (Aloysius Rahadian Ajisoko) ketemu di angkirngan ngobrol-ngobrol, kemudian muncul ide membentuk komunitas dengan mengajak teman-teman yang suka fotografi,” ungkap Ketua Geblek Kulonprogo, Cahaya Putra Gumilang kepada Suara Merdeka, Rabu (9/1).

Sejak terbentuknya komunitas setahun lalu, tepatnya 11 Januari 2012, kegiatan hunting foto bersama sering dilakukan. Setidaknya ada sekitar 20 orang yang selalu aktif ikut berburu foto, baik foto-foto landscape keindahan Kulonprogo hingga berbagai event seni budaya yang ada.

Selain hunting foto, setiap bulan juga ada pertemuan santai saling sharing pengetahuan fotografi. Agar komunikasi lebih mudah, kemudian dibentuk pula grup komunitas di jejaring sosial Facebook dengan nama yang sama “Geblek Kulon Progo”. Hingga saat ini anggotanya di Facebook sebanyak 256 orang.

“Keanggotaannya terbuka, semua bisa bergabung. Hanya tujuan awal kita memang untuk mengumpulkan orang-orang Kulonprogo yang hobi fotografi untuk berbagi ilmu fotografi, saling sharing pengetahuan,” katanya.

Menurut Gugum, sapaan akrab Cahaya Gumilang, anggota komunitas ini mayoritas anak muda baik SMA maupun mahasiswa. Namun ada juga yang sudah bekerja, bahkan ada pula anggota yang sedang berdomisili di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Canada, Perancis, dan Australia.

Dalam memperkenalkan berbagai potensi daerah ke luar, Geblek Kulonprogo menjalin kerjasama dengan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) setempat. Keberadaan komunitas ini mendapat apresiasi positif dari Disbudparpora.

“Setiap ada event, komunitas selalu diberi tahu dan diajak mengikuti, sehingga kami bisa hunting foto di situ. Banyak juga yang kemudian mengupload foto-fotonya ke group di Facebook, sehingga menjadi sarana mengenalkan dan mempromosikan Kulonprogo,” ungkap warga Gunung Gempal, Giripeni, Wates ini.

Fotografi sebagai sarana untuk memperkenalkan daerah, menurut Gugum, sangat efektif. Melalui dunia maya, karya fotografi yang menunjukkan keindahan maupun berbagai potensi daerah bisa dengan mudah tersebar ke luar. Terlebih, dengan internet penyebaran informasi tidak lagi tersekat ruang dan waktu.

“Ke depan kami juga ingin mengadakan pameran-pameran fotografi di luar Kulonprogo, seperti di Jogja atau dimana, sehingga efektif untuk mengenalkan daerah,” pungkasnya.

Sejauh ini upaya mengenalkan daerah melalui fotografi oleh komunitas Geblek Kulonprogo cukup efektif. Menurut Aloysius Rahadian Ajisoko (Didit), dibentuknya komunitas ini salah satunya bertujuan untuk mengumpulkan orang-orang Kulonprogo yang hobi fotografi untuk mengekspose potensi-potensi daerah.

“Melalui foto-foto yang kita capture kita bisa memperkenalkan potensi-potensi daerah ke luar Kulonprogo, bahkan seluruh dunia melalui jejaring sosial. Biar diketahui bahwa di Yogyakarta juga ada Kulonprogo yang menarik,” kata Didit yang juga inisiator terbentuknya komunitas.

Setelah komunitas mengunggah foto-foto hasil jepretan beberapa event seni budaya ke internet, lanjutnya, ternyata kemudian banyak fotografer dari luar komunitas seperti dari Sleman dan Jogja yang berminat untuk datang. “Saya juga tidak mengira akan sebanyak itu, seperti saat Festival Reog dan Jathilan di Waduk Sermo serta Festival Kesenian Tradisional di Bonoharjo beberapa waktu lalu,” katanya.

Selain dari segi seni budaya, alam di Kulonprogo juga sangat menarik untuk objek-objek foto. Terlebih dengan keberadaan Pegunungan Menoreh yang masih alami dan belum banyak bangunan yang mengganggu view.

“Seperti di Samigaluh, masih virgin. Dan ternyata juga sangat-sangat menarik bagi komunitas lain. Seperti komunitas Gudang Digital dari Sleman yang juga mengaku tertarik hunting foto di Kulonprogo karena masih alami,” pungkasnya.
-cahpesisiran, utk suara merdeka-


foto: dokumentasi Geblek Kulonprogo