Tuesday, April 14, 2009

Oleh-oleh Dari Solo

Warung Angkringan Pak Kemin


Kukendarai motorku malam ini melintasi depan Monumen Pers Solo. Udara masih terasa sejuk karena sore tadi hujan mengguyur lumayan deras. Tak begitu banyak kendaraan yang lalu lalang di jalanan, sehingga bisa kuhela napas dalam-dalam tanpa khawatir banyak karbon akan masuk ke rongga paru-paruku. Lampu-lampu yang menyala temaram terlihat sedikit menyilaukan, tapi tidak membuat udara terasa panas seperti malam biasanya.

Kuhentikan laju motorku di sebelah barat Monumen Pers. Tak jauh, hanya beberapa puluh meter dari bangunan bersejarah dan legendaris itu. Kuparkirkan motorku tepat didepan sebuah warung angkringan yang berlantaikan trotoar. Sejenak aku belum beranjak dari jok sepeda motor yang selalu mengantarku kemana saja. Kulihat spanduk yang tertempel di tenda berbentuk seperti atap yang melingkupi warung angkringan. Di spanduk itu tertulis ”Warung Wedangan Tukiyo Kemin”. Memang inilah warung angkringan yang juga legendaris itu, tak kalah dengan bangunan di sebelahnya.

Dari cerita yang kudengar, dulu banyak tokoh sering datang kongkow-kongkow di warung angkringan ini. Seperti Setiawan Djodi, W.S. Rendra, juga tokoh-tokoh lain. Ku dudukkan pantatku di kursi kayu panjang, sembari kupesan teh hangat pada bapak pemilik angkringan.

Sesekali sempat kuperhatikan suasana warung angkringan itu. Sekelompok orang datang, beberapa diantaranya menanyakan menu apa yang ada. “Nasi sambel bandeng ada, oseng ada,” jawab lelaki setengah baya sembari sesekali membenahi arang yang membara memanggang dua ceret berbentuk khas. Lelaki yang telah menjadi penjual angkringan sejak tahun 70 an itu tak lain adalah Tukiyo Kemin, sang pemilik warung.

Setelah memesan, kelompok-kelompok itu pun duduk pada kursi kayu panjang. Di depan mereka terhidang aneka makanan khas angkringan. Nasi kucing, sate usus, sate kikil, tempe dan tahu goreng maupun bacem, pisang goreng, beberapa jajanan pasar, dan banyak lagi. Sebagian dari mereka duduk bersila diatas tikar sembari menikmati menu yang telah dipesan.

Setelah beberapa saat duduk menikmati teh hangat dan Pak Kemin terlihat tidak begitu sibuk, barulah aku bisa sedikit ngobrol dengan ”Sang empunya angkringan”. Pak Kemin pun mulai bercerita. Sebelum di tempat ini, dia membuka warung angkringannya di seberang Monument Pers. Tepatnya di lokasi rumah dinas wakil walikota Solo saat ini.

Ia memutuskan pindah ke lokasinya saat ini sejak tahun 2007. Karena lokasi yang lama akan dibangun rumah dinas bagi wakil walikota. “Tidak masalah pindah. Gimana lagi, tempat itu juga bukan punya saya,” kata Pak Tukiyo yang biasa dipanggil Pak Kemin. Kemin adalah nama ayahnya.

Ayah tiga anak ini menuturkan bahwa usaha warung angkringan yang ia geluti ini meneruskan usaha ayahnya. Semula, ayahnya membuka warung angkringan di Monumen Pers, kemudian sejak tahun 1972 pindah ke lokasi rumdin wawali sebelum mulai dibangun tahun 2007. “Sejak tahun 1966 saya sudah mulai membantu bapak,” ungkap Pak Tukiyo Kemin yang malam itu mengenakan polo shirt putih.

Di lokasi barunya saat ini, warung angkringan ini tak sepi pengunjung. Kalaupun agak berkurang, itu karena sekarang sudah banyak warung-warung angkringan sejenis. “Sekarang sudah banyak, tidak seperti dulu,” kata kelahiran Ngreco, Weru, Sukoharjo tahun 1957 itu.

Pelanggan-pelanggan lama yang dari luar kota pun masih ada yang datang. Seperti dari Jakarta, Kudus, dan Semarang. Aku pun penasaran, benarkah dulu tokoh-tokoh sering datang ke sini. Maka kutanyakan langsung pada Pak Kemin. “Saya sendiri awalnya tidak tahu. Tahu-tahu ada yang memberi tahu saya kalau orang yang datang itu tokoh atau pejabat,” jawabnya. Pak Kemin membuka warung angkringannya dari pukul enam sore hingga dua pagi.

Selain menu-menu yang sudah biasa, ternyata ada yang khas dari menu yang disajikan di warung angkringan Pak Kemin ini, yaitu apolo. Yang ia maksud adalah jadah (dari beras ketan) yang diberi coklat. “Dari dulu sampai sekarang ada. Sudah lima puluh tahun pun ndak karatan. Karena buat baru terus,” selorohnya bercanda.

Sebelum kembali sibuk menyiapkan menu yang dipesan serta meracik kopi dan teh hangat, Pak Kemin masih sempat sesekali bercerita. Dari menjalankan usahanya itu, ia mampu mencukupi kebutuhan keluarganya, bahkan membiayai pendidikan anaknya hingga ke bangku kuliah.

Dan tak terasa, segelas teh hangat yang ku pesan tadi disusul juga apolo sudah hampir punah kupindahkan ke perutku yang kini tak lagi keroncongan. Aku pun kembali menembus udara jalanan yang sudah mulai dingin, tentu setelah membayar dan pamit kepada ”tuan rumah Pak Kemin”. –cahpesisiran, utk Harian Rakyat Merdeka-