Friday, September 16, 2011

Dua Elang Dilepas di Suaka Margasatwa Sermo

Satu Gagal Karena Terlalu Muda

DUA Elang Alap Jambul yang merupakan satwa dilindungi dilepasliarkan ke kawasan suaka margasatwa Sermo, Kokap, Kulonprogo, pertengahan September ini. Namun satu diantaranya gagal dilepas karena masih terlalu muda.

Pelepasliaran dua elang bernama ilmiah Accipter trivirgatus itu dilakukan oleh Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta dibantu RCI (Raptor Club Indonesia) Yogyakarta, sebuah komunitas yang peduli dan bergerak dalam pelestarian satwa langka khususnya burung elang.

Kepala BKSDA Yogyakarta, Herry Subagiadi mengatakan, semua jenis Famili Accipitridae yang meliputi burung alap-alap dan elang, termasuk dalam satwa liar dilindungi sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Elang alap jambul yang dilepasliarkan tersebut merupakan hasil penyitaan BKSDA Yogyakarta dari Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTHY) pada 16 Februari silam. Satwa dilindungi itu didapat dari seorang pedagang bernama Wiryono warga Balecatur, Gamping, Sleman. Sebelum dilepasliarkan, kedua elang itu telah dipersiapkan, satu dititipkan ke RCI dan yang satu lagi dirawat oleh BKSDA Yogyakarta.

Berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan analisis perilaku, kedua satwa tersebut telah siap untuk dilepasliarkan. Namun ketika dilepaskan, salah satunya ternyata belum mampu terbang jauh. Sehingga diputuskan ditunda untuk dilatih dulu agar nantinya bisa bertahan (survive) saat dilepas.

“Yang satu masih relatif belum bisa beradaptasi dengan alam, ditahan dan dilatih dulu agar bias lebih survive. Kalau dipaksakan bias mati karena masih belum (mampu bertahan),” kata Herry Subagiadi.

Pemilihan Suaka Margasatwa Sermo, lanjutnya, terpilih sebagai lokasi pelepasliaran karena kawasan tersebut merupakan habitat elang alap jambul dengan populasi belalang dan burung kecil sebagai pakannya terpantau cukup melimpah.

Kegiatan pelepasliaran itu sekaligus sebagai upaya meningkatkan populasi burung elang alap jambul di habitatnya dan memantapkan kawasan Suaka Margasatwa Sermo sebagai kawasan konservasi. Dimana salah satu fungsi kawasan konservasi yakni sebagai tempat hidup dan perkembangbiakan jenis yang diperlukan upaya pelestarian.

“Ke depan rencananya kami juga akan melepasliarkan merak, rusa, dan landak, di kawasan Suaka Margasatwa Sermo ini. Setelah ini akan dilakukan kegiatan pemantauan secara rutin untuk melihat keberhasilan pelepasliaran,” ujarnya.

Kepala Bidang Falconary RCI Yogyakarta, Bobby Suhartanto mengatakan, salah satu elang alap jambul yang belum jadi dilepas itu akan dilatih dulu yang setidaknya memerlukan waktu tiga bulan. Usia elang itu memang masih muda yakni kurang dari enam bulan dan beberapa bulunya masih dalam proses pergantian.

“Kalau kondisi fisiknya bagus dan sehat. Tapi memang masih muda, perlu kami latih dulu agar siap dilepas. Ini beda dengan satunya yang sebelum disita merupakan tangkapan dari hutan, sehingga proses adaptasinya lebih bagus,” imbuhnya.

Berdasarkan data BKSDA Yogyakarta, Suaka Margasatwa Sermo hingga akhir 2010 terpantau sebagai habitat bagi lima jenis burung pemangsa yakni elang jawa (Spizaetus baltelsi), elang hitam (Ictinaetus malayensis), sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus), elang ular bido (Spilornis cheela), dan alap alap sapi (Falco moluccensis).-cahpesisiran, utk suara merdeka-

Lahan Pasir Gersang Disulap Menghijau

TIDAK begitu jauh dari debur ombak pantai selatan Kulonprogo, hamparan lahan pertanian membentang memanjang mengikuti garis pantai. Di lahan pasir berwarna kehitaman itu warga membudidayakan berbagai jenis tanaman. Hingga warna hijau pun terhampar kontras dengan lahan yang semula kering dan tidak produktif tersebut.

Pagi menjelang siang yang terik itu Tugiman (43) terlihat sedang mempersiapkan lahannya yang akan ditanami semangka dengan membuat sumur dan jaringan pipa untuk penyiraman. Tugiman merupakan satu dari ribuan petani di wilayah pesisir Kulonprogo yang memanfaatkan lahan pasir untuk bertani.

Semula, lahan pasir itu hanya berupa lahan kering dan gersang. Warga kemudian belajar memanfaatkan lahan tersebut dengan teknologi pengairan temuan mereka sendiri sejak sekitar tahun 1980-an. Upaya itu membuahkan hasil luar biasa, dari hamparan pasir gersang berubah menjadi lahan pertanian subur dan tumpuan pencaharian warga.

“Kami bisa menanam berbagai jenis tanaman di sini, seperti cabai, semangka, melon, juga buah dan sayur-sayuran lain,” ujar Tugiman, petani di Dusun Cicikan, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo itu di sela kesibukannya saat di ladang pasir.

Kepala Dusun Cicikan, Desa Bugel, Parji Mardi Utomo mengungkapkan, pertanian di lahan pesisir dengan sistem pengairan dirintis oleh warganya, Iman Rejo (73) bersama adiknya Pardiman (55), sekitar tahun 1980-an. Waktu itu belum ada warga yang memanfaatkan lahan pesisir untuk bercocok tanam. Kalau pun ada hanya beberapa yang ditanami ketela pohon, ketela rambat, dan kentang, dengan mengandalkan air hujan.

Agar bisa ditanami dengan baik, Iman Rejo membuat sumur di lahan pasir miliknya. Tentu saja tidak mudah membuat sumur di lahan pasir yang mudah longsor ketika digali. Kondisi itu disiasati Iman dengan memasang bronjong (anyaman bambu berbentuk silinder) yang dilapisi plastik untuk menjaga diding sumur agar tidak longsor. Di lahannya itu, Iman kemudian menanam cabai dan ternyata bisa panen dengan hasil yang bagus.

“Waktu itu petani lain sinis, banyak orang tidak percaya tanah gisik (pasir) kok ditanami cabai apa bisa. Ternyata Pak Iman membuktikan bisa, dan sekarang banyak petani yang menanam cabai di lahan pesisir,” ujar Mardi Utomo.

Dari waktu ke waktu, lanjutnya, Iman terus mengembangkan sistem pengairan untuk lahan pesisir yang kemudian juga diterapkan petani-petani lain. Mulai dari sistem sumur renteng hingga instalasi atau jaringan pipa yang ditanam untuk mempermudah dan mengefisienkan penyiraman. “Bertani di lahan pasir ini sekarang menjadi penopang utama perekonomian mayoritas petani pesisir,” imbuhnya.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Kulonprogo, Bambang Tri Budi Harsono mengungkapkan, luas lahan pasir yang ada di Kulonprogo mencapai 2.938 hektar terdistribusi di empat kecamatan yakni Kecamatan Temon, Wates, Panjatan, dan Galur. Komoditas yang dikembangkan mayoritas hortikultura seperti semangka, melon, dan cabai.

“Kontribusi hasi pertanian terutama hortikultur lahan pasir bagi Kulonprogo cukup besar. Contohnya untuk cabai, ada sekitar 900 hektar dengan produktivitas setiap hektarnya 12-15 ton per tahun. Juga ada komoditas lain seperti semangka dan melon yang hampir sama kontribusinya,” katanya.

Menurut Bambang, dari total lahan pesisir 2.938 hektar, baru 60-70 persen yang dibudidayakan secara intensif, sehingga masih ada lahan-lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal. Karena itu, pihaknya melakukan upaya pengembangan untuk mengoptimalkan agar lahan bisa 100 persen dimanfaatkan.

Berbagai program kegiatan dari pemerintah ditempuh untuk mendukung upaya tersebut. Program-program itu berupa fasilitasi infrastruktur, bantuan bibit, serta pendampingan teknis dan manajemen untuk penguatan dan pemberdayaan kelompok-kelompok tani.

"Seperti yang kemarin belum ada penanaman kami fasilitasi infrastruktur, jaringan irigasinya, sehingga ada peningkatan luas bertanamnya. Itu dilakukan secara bertahap. Air tanah sebenarnya tersedia, tinggal kita mengoptimalkan melalui sistem irigasi tanah dangkal, dengan sumur-sumur dan jaringan pipa,” imbuhnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan Dispertahut, M Aris Nugroho mengatakan, selain tanaman hortikultura, di sebagian lahan pesisir itu petani juga membudidayakan tanaman pangan berupa padi. Lahan yang biasa dimanfaatkan untuk pembudidayaan padi itu seluas sekitar 180 hektar di wilayah Desa Pleret dan Bugel, Kecamatan Panjatan.

“Pada awal musim penghujan sebagian kecil lahan ditanami padi oleh petani, sekitar 180 hektar. Jenis padi yang ditanam gogo, yang cocok untuk lahan kering,” ungkapnya.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dja’far Siddieq mengatakan, pertanian di lahan pesisir perlu dipertahankan karena merupakan sesuatu yang langka di dunia. Bahkan, di negara-negara Asia yang memiliki wilayah pesisir, tidak banyak yang bisa mengembangkan lahan pantai untuk pertanian.

“Masyarakat berhasil mengembangkan pertanian di sini dari lahan yang kritis dengan menggunakan teknologi kearifan lokal. Beberapa waktu lalu, persatuan irigasi sedunia juga mengagumi teknologi pengairan di lahan pesisir ini,” katanya.

Terkait rencana penambangan pasir besi di wilayah pesisir Kulonprogo, menurutnya, bijih besi yang ada, selama ini menjadi pengikat partikel-partikel tanah. Bila bijih itu diambil, dirinya mengkhawatirkan partikel-partikel tanah menjadi berongga dan akan terjadi interusi air laut. Kondisi itu bisa mengakibatkan air tanah di lahan pertanian pantai tidak lagi netral atau tawar.

“Padahal lahan seperti ini di dunia jarang adanya. Seperti adanya air yang netral (tidak asin) meski berada dekat laut. Sehingga ketika airnya digunakan untuk menyiram, tanaman bisa tumbuh dengan baik,” kata Dja’far Siddieq yang juga ketua laboratorium pengelolaan tanah Fakultas Pertanian UGM.-cahpesisiran, utk suara merdeka-

Iman Rejo Merintis Pertanian di Lahan Pasir

HANYA beberapa puluh meter dari bibir pantai, seorang kakek tampak sedang menyiram berbagai tanaman yang ditanamnya di petak lahan pasir. Terlihat mudah, dia hanya memegang dan mengarahkan selang yang dari ujungnya menyembur air.

Lelaki bernama Iman Rejo (73) itulah yang merintis pertanian di lahan pesisir Kulonprogo dengan sistem pengairan. Ayah dua anak dan kakek dua cucu yang masih enerjik itu pulalah yang telah mengembangkan teknologi sistem pengairan, sehingga proses penyiraman tanaman di lahan pesisir menjadi efisien dan lebih mudah.

Meski dengan teknologi sederhana, sistem pengairan yang dia kembangkan telah diterapkan para petani lain hingga mampu mengubah lahan pesisir yang semula gersang menjadi subur. Iman Rejo mengaku mulai merekayasa lahan pasir agar bisa digunakan bercocok tanam sejak tahun 1982 dengan menanam cabai.

“Awalnya saya hanya membuang sampah bekas bumbu ke tanah pasir dekat rumah. Ternyata ada biji cabai yang tumbuh. Sehingga saya berkesimpulan cabai bisa ditanam di lahan pesisir asalkan ada air. Kemudian saya coba menanam dengan saya buat sumur di lahan pasir,” ungkap warga Dusun Cicikan, Desa Bugel, Kecamatan Panjatan, Kabupaten Kulonprogo itu.

Menurutnya, memulai sesuatu yang berbeda dari kebiasaan masyarakat memang sulit. Saat itu, belum ada warga lainnya yang menanam cabai di lahan pasir karena dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia. Namun dengan keyakinan yang teguh, Iman Rejo terus berupaya pantang menyerah. Usahanya pun tak sia-sia, apa yang banyak diragukan petani lainnya berhasil dia tepis.

“Dulu banyak dipaido (tidak dipercaya) waktu saya membuat sumur. Tapi dengan cita-cita tinggi akhirnya Tuhan mengabulkan, tanaman cabai saya bisa panen dengan baik.,” kenangnya.

Sekitar tahun 1990, Iman Rejo mengembangkan lagi dengan menanam semangka, melon, dan tumpang sari kacang tanah, kacang panjang, jagung, bawang merah, dan kedelai. Selain itu, dia juga menanam padi varietas IR 36, IR 64, dan ketan. Upayanya ini kembali berhasil meski pada awalnya juga sempat mendapat tanggapan sinis dari warga lainnya.

“Waktu itu masih dikucilkan lagi (mendapat tanggapan sinis, red), apa tanaman-tanaman itu bisa hidup. Ternyata bisa, bahkan hasinya diukur ubinan untuk padi IR 36 bisa mencapai 7,5 ton/hektar (ha), IR 64 bisa 6,5 ton/ha, dan ketan 5,5 ton/ha,” tuturnya.

Iman Rejo menuturkan, sistem pengairan yang dia kembangkan, pada mulanya hanya dengan membuat sumur memakai bronjong (anyaman bambu berbentuk silinder) agar dinding sumur tidak longsor. Untuk mengangkat air dan menyiramkan ke tanaman masih dilakukan secara manual dengan timba senggot dan gembor.

Kemudian untuk memudahkan penyiraman agar menghemat tenaga dan lebih efisien, tahun 1986 dia membuat bak-bak penampungan yang bagian bawahnya saling dihubungkan dengan pipa. Dengan begitu, air dari sumur yang diangkat dengan pompa air cukup diisikan ke bak terdekat dan bak-bak lainnya akan ikut terisi. Sehingga ketika menyiramkan air ke tanaman tinggal mengambil dari bak-bak terdekat. Sistem ini kemudian dikenal para petani dengan sebutan sumur renteng.

Sistem sumur renteng ini kembali dikembangkan agar lebih efisien. Jika semula untuk menyiramkan air ke tanaman dari bak-bak penampungan masih menggunakan gembor, maka disempurnakan tinggal menggunakan selang saja. Bak-bak yang saling dihubungkan itu dirombak dan tinggal dibuat jaringan pipa yang ditanam di bawah permukaan lahan pasir.

Pada jarak tertentu, pipa itu diberi saluran-saluran yang menyembul ke permukaan lahan. Saat penyiraman, air yang dinaikkan dari sumur dengan pompa air dimasukkan ke ujung pipa terdekat. Kemudian dari ujung-ujung lain yang menyembul, disambungkan selang untuk menyiramkan air ke tanaman. Sistem yang biasa disebut “instalasi” ini mulai diterapkan para petani sekitar tahun 2004 setelah banyak yang menggunakan pompa air dan menggunakan sumur bor.

Pengembangan sistem pengairan di lahan pasir tersebut tidak lepas dari kreativitas dan pemikiran Iman Rejo. Karena prestasinya itu, lelaki lulusan Sekolah Rakyat (SR) tahun 1953 itu mendapat beberapa penghargaan. Diantaranya penghargaan atas pengembangan teknologi tepat guna dan penghijauan pantai dari pemerintah pusat, serta penghargaan lingkungan hidup juara I dari Pemerintah Provinsi DIY. Bahkan, berkat keberhasilannya itu Iman Rejo juga pernah kedatangan tamu dosen dari Jepang untuk studi banding ke lahan pasir yang dia kembangkan.

“Petani harus kreatif. Apa yang diinginkan harus diupayakan agar melampaui dari yang tidak berhasil menjadi berhasil, bagaimana caranya,” katanya saat ditanya apa yang memotivasi dirinya hingga mampu mengembangkan teknologi tepat guna meski hanya melalui proses belajar otodidak.

Pemikiran kreatif Iman Rejo ternyata tidak berhenti sampai di situ. Sejak setahun lalu dia juga mengembangkan sistem penyiraman yang sekaligus pemupukan. Caranya, pupuk dilarutkan dalam air pada bak yang kemudian disambungkan ke jaringan pipa penyiraman melalui pompa air. “Ini untuk menghemat tenaga, sudah ada beberapa petani yang juga menerapkannya,” tandasnya.-cahpesisiran, utk suara merdeka-