Thursday, September 25, 2008

Lebaran, Angpau, dan Award

Tidak terasa ternyata kita sudah sampai di penghujung bulan Ramadhan tahun ini. Banyak sekali sebenarnya kesempatan yang bisa kita raih untuk meningkatkan keimanan dan mendapatkan ridho dari Allah di bulan ramadhan ini. Namun manusia tetap saja tidak bisa terlapas dari khilaf dan lengah (halah memulai pembelaan diri nie). Ya, walaupun banyak kesempatan itu, tapi ternyata banyak juga yang telah saya lewatkan. Walau begitu saya tetap harus bersyukur, paling tidak di bulan ini saya bisa berusaha untuk mengoreksi diri dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Insyaallah.

Banyak yang bergembira dengan datangnya hari Idul Fitri, namun tak sedikit pula yang merasa sedih harus berpisah dengan bulan yang penuh berkah ini. Hari kemenangan, itulah yang banyak disebut ketika Idul Fitri tiba. Tapi, benarkah saya telah meraih kemenangan di hari Idul Fitri tahun ini? (Semoga Allah berkenan mengampuni dosa-dosaku)

Duh, kok saya jadi ngomong sampai situ ya. Lagi kalut kali, merasa banyak dosa (ha2). Tapi mungkin ini bisa menjadi renungan buat saya juga buat teman-teman.

Kembali lagi, walaupun begitu, tentu saja kita tetap harus menyambut Idul Fitri dengan gembira sebagai hari raya yang memang selayaknya dirayakan.

Dan kalau membicarakan tentang Idul Fitri atau lebaran, biasanya tidak lepas dari tradisi saling bersilaturahmi, bersalam-salaman, saling memaafkan kesalahan. Trus ada juga ketupat, dan tidak ketinggalan uang angpau. (Hehe salah satu yang paling ditunggu nie, angpau) Banyak istilah untuk meyebut ini, ada yang menyebutnya fitrah, ada juga sangu. Entah apa lagi istilahnya, banyak deh mungkin tiap daerah punya istilah sendiri-sendiri.

Trus kenapa saya ngomongin tentang angpau? Angpau kan diberikan dengan sangat-sangat ikhlas dan kerelaan. Mungkin sebagai salah satu bentuk ungkapan rasa kepedulian dan kasih saying kepada sanak saudara dan kerabat. Begitu pula yang menerimanya, akan menerima dengan sangat-sangat ikhlas sekali (ya iya lah..). Tapi prosesi memberi dan menerima angpau itu terjadi di dunia nyata. Nah kalau di dunia maya, ini prinsipnya hampir mirip dengan award dan tag yang diberikan dan diterima dengan keikhlasan.

Nah menjelang lebaran ini, berhubung saya tidak bisa memberikan angpau kepada teman2 semua, maka saya membagikan award dan tag saja dengan sangat ikhlas dan kerelaan. (ga mo modal nie ceritanya..).

Sebagaimana saya setuju dengan kata kang Blogger Addicter, bahwa award merupakan bentuk ungkapan persahabatan, perhatian, dan dukungan serta solidaritas kepada teman-teman blogger sekalian. (halah spt pidato). Maka sebagai sarana silaturahmi dan ungkapan persahabatan saya kepada teman-teman semuanya, untuk meyambut lebaran ini saya ingin berbagi award sebagai pengganti angpau. (bener-bener ga modal nie ha2..).

Kebetulan beberapa waktu kemarin saya mendapatkan award dan tag dari teman-teman:

Cute’s Blogger Award dari Acy, Gelly, dan Ivana.




Butterfly Award dari Ivana

Kreativ Blogger Award, Este Blog Investe (maksudnya apa ya..) , dan Semangat Ngeblog Award, semuanya dari Gelly.






Dan ada satu lagi tag dari Ryan aka Mbah 13 yang ngasih PR The 10

The Ten Things

  1. Lagi pengen nonton laskar pelangi
  2. Lagi suka ngayal seandainya bisa seperti Andrea Hirata setelah latihan nulis di blogger (ketinggian kale hihi..)
  3. Lagi suka bagi-bagi award dan tag sebagai pengganti angpau lebaran
  4. Lagi bingung mo diisi apa poin ke 5 – 10 di tag ini (haha)
  5. Lagi inget kejadian empat tahun lalu gara-gara denger lagunya shades apart, stranger by the day. “Snow is falling from the sky in the middle of July” hiks hiks.. I luv u dad.
  6. Lagi mikir besok sahur menunya apa ya..
  7. Lagi lirik sana-sini cari inspirasi
  8. Lagi seneng tinggal 2 poin lagi bwt diisi
  9. Lagi berencana nyiapin berkas-berkas bwt mendaftar CPNS (hwaa… ga kebayang gmn jadinya ya klo saya kerja katoran jd PNS, mati kutu kali)
  10. Hyaa… lagi seneng banget dah selesai ngerjain PR (kwakwkkwkwk.. poin terakhir kok ga mutu)
Dengan segala kerendahan hati, mumpung menjelang lebaran, mohon maaf ya ngisi tag the ten things nya asal-asalan..

Terimakasih banyak buat teman-teman yang telah membarikan saya award dan tag. Semuanya sangat berarti bagi saya.

Jadi yang tersedia di sini ada 6 award dan tag. Bagi teman2 semua yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu, silahkan ambil angpau lebaran dari saya ini. Angpau ini saya berikan bwt teman-teman semua deh. Seperti saya katakan tadi, sebagi ungkapan persahabatan dan silaturahmi saya di hari lebaran. Dan kali ini tidak ada rule yang harus dipenuhi, pokoknya saya berikan dengan ketulusan dan keikhlasan hati deh.

Selamat Idul Fitri (bagi teman-teman yang merayakan) mohon maaf lahir batin. Mohon maaf atas kesalahan saya kepada teman-teman semua, kita saling memaafkan di hari yang Fitri. Semoga Tuhan berkenan mengampuni dosa-dosa kita. Amin.

Tuesday, September 16, 2008

Desa Pahat Batu Tamanagung

Dari Memugar Borobudur Sampai Cobek dan Lampion

Awalnya ragu-ragu, takut dilarang. Juga takut dosa. Tercatat ada 800 pemahat dan pengusaha pahat batu. Selera turis lokal dan turis asing berbeda. Bisa kesulitan bahan baku batu.


BERADA di antara Gunung Merapi dan Candi Borobudur memberi keuntungan tersendiri bagi warga Dusun Prumpung dan Dusun Tejowarno, Desa Tamanagung, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Dari semula hanya sebagai tempat transit bahan baku pemugaran Borobudur, kini jadi sentra kerajinan pahat berbahan dasar batu.


Pusat kerajinan batu di dua dusun itu, konon dirintis Salim Joyopawiro. Dia yang sempat dipekerjakan Theodoor Van Erp untuk memugar Borobudur sekitar tahun 1930 itu, punya ide mengolah kerajinan batu sendiri. Kisah itu diungkapkan Doelkamid Djayaprana, putra Salim yang sesepuh perintis kerajinan pahat batu di desa tersebut tahun 1953. Jarak Borobudur--Prumpung--lereng Gunung Merapi, masing-masing sejauh 13 km.

Djayaprana bersama saudaranya, Ali Rahmad dan Kasrin, memulai memahat batu berbentuk kepala Budha mencontoh dari patung di Borobudur. Pada awalnya rada takut-takut. “Waktu itu masih ragu-ragu apakah boleh atau tidak, dosa atau tidak. Akhirnya, kami nekat mencoba dan ada juga yang beli, pedagang dari Sumatera,” kenang Djayaprana.

Waktu itu, arca kepala Budha dihargai Rp 150. Berawal dari situ, peraih penghargaan upra pradana dan upakarti ini mendirikan sanggar pahat batu Sanjaya tahun 1960. Usahanya kian berkibar tatkala dapat support Jenderal Gatot Subroto dalam kreasi berbagai bentuk pesanan berupa gapura batu. Sukses.

Warga pun ramai-ramai ngangsu kaweruh pada Djayaprana bersaudara. Tidak hanya di Prumpung, kerajinan pahat batu pun berkembang ke dusun-dusun lain di Tamanagung, dan bahkan ke desa sekitar. “Sekarang sekitar 5 km lingkar jalan di Muntilan-Borobudur-Magelang terdapat kerajinan pahat batu. Ada sekitar 800 pemahat dan pengusaha dari yang muda hingga tua,” papar Djayaprana yang masih menjalankan usaha bersama puteranya.

Dalam perkembangannya, segala model pun diwujudkan. Misalnya, miniatur candi, patung antik Wisnu dan Siwa, dan peralatan dapur dari cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, gapura klasik, relief, hingga patung Budha, Hindu, gupala, dan ganesha. Jenis yang paling banyak diminati pembeli, menurut Djayaprana, adalah motif-motif kuno seperti duplikat candi, serta motif Hindu dan Budha.

“Tapi akhir-akhir ini banyak yang beralih ke desain-desain baru, seperti pot-pot untuk air mancur, bunga, dan bentuk binatang,” kata lelaki yang menyimpan dokumentasi lebih dari 10 ribu foto proses perkembangan pahat batu dari tahun 1961 hingga sekarang. Pesanan mengalir dari Bandung, Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan sekitarnya. Bahkan dari Australia, Amerika, dan Malaysia.

Belakangan, Desa Tamanagung dikonsep sebagai desa wisata. Di wilayah seluas 306,8 hektare ini akan dikembangkan sentra display berbagai produk kerajinan pahat batu. Juga fasilitas pendukung seperti taman, area parkir, dan angkutan shuttle untuk mengantarkan wisatawan berkeliling melihat kegiatan memahat.

Meski belum pernah diajukan secara resmi kepada pemda setempat, rencana itu telah dibicarakan dalam musyawarah perencanaan pembangunan desa. “Dengan menjadi desa wisata, jelas meningkatkan perekonomian warga,” kata Sekretaris Desa Tamanagung, Sutikno.

Saat ini, dengan jumlah penduduk 9.160 jiwa, mata pencaharian utama adalah pahat batu, petani, dan pedagang. Para pelaku kerajinan pahat batu terwadahi dalam klaster, yang berperan dalam mengkoordinasikan para anggota terkait bahan baku dan supplier, proses produksi dan permintaan pasar, serta keterlibatan sektor pendukung seperti perbankan, riset dan asosiasi bisnis. Setidaknya ada 35 perajin yang tergabung di dalamnya.

Misalnya, Bu Zaenal, pemilik Sanggar Zenvin yang tiap bulan minimal membuat dua patung. Namun, jika ada pesanan dari Australia dan Amerika terkadang hingga mencapai satu kontainer. Para wisatawan itu menyukai model patung-patung klasik seperti Budha, Dewi Sri, dan Dewi Tara. Sedangkan wisatawan domestik lebih berselera pada patung klasik ataupun kreasi baru berupa lampion.

Nyonya Zaenal tidak melakukan pemasaran secara khusus. Ia hanya men-display pahatan batu di sanggarnya di tepi jalan utama Yogyakarta – Magelang. “Kondisi saat ini agak sepi. Ramainya musiman dan tergantung pesanan,” ungkap wanita kelahiran 35 tahun lalu tersebut. Jika sedang banjir pesanan, sebulan omset bisa sampai Rp 100 juta. Bu Zaenal dibantu 10 orang pemahat yang bekerja borongan. Harga bervariasi mulai Rp 15 ribu untuk cobek, patung berukuran 50 cm seharga Rp 400 ribu, dan patung berukuran tiga meter senilai Rp 35 juta.

Masing-masing sanggar menentukan sendiri harganya. Tergantung kualitas patung. “Hasil pengerjaannya kan berbeda-beda, ada yang halus, ada yang kurang,” ungkap Priyono, 44 tahun, pemilik Sanggar Indraprasta. Saat ini persaingan makin ketat. “Karena hampir 70% warga Muntilan menjadi perajin atau pengusaha pahat batu. Banyak bermunculan sejak tahun 1990 hingga 2000-an,” ungkap ayah empat anak yang berusaha sejak 1985 itu.

Priyono cukup memajang produknya di pinggir jalan, dan hanya beberapa kali ikut pameran. Ia biasa menerima pesanan dari Jakarta, Semarang, Jepara, Yogyakarta, dan kadang ada turis asing yang membeli patung secara langsung. “Sejak 3 tahun ini, sering mendapat pesanan relief model Borobudur,” kata Priyono, di sela kegiatannya memahat patung.

Harga penawaran bervariasi. Lampion, misalnya, Rp 100 – 500 ribu tergantung model dan ukuran. Relief Borobudur per meter persegi Rp 1 – 1,5 juta. Patung gupala berukuran 80 cm seharga Rp 1,5 juta, dan yang berukuran 1 meter senilai sekitar Rp 4 juta. Selagi memahat, “Turis juga melihat proses memahat patung di sini. Ada pula turis asing yang mengambil foto-foto proses memahat,” kata Priyono.

Karya, 36 tahun, misalnya, seorang karyawan swasta di Jakarta yang sedang seminar di Yogya, menyempatkan mampir ke Tamanagung. “Kerajinan pahat batu di sini bagus, menarik,” ungkapnya.

Ia bersama dua temannya datang untuk mengambil pesanannya model patung Hindu seharga Rp 600 ribu sebulan lalu. Kendala yang dihadapi adalah transportasi. ”Mengangkutnya agak repot,” ia menambahkan. -cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-
nb: data sejarah, Van Erp memimpin pemugaran 1907 - 1911

Baca juga: Desa Pahat Batu Tamanagung (II)

Desa Pahat Batu Tamanagung (II)

Terpaksa Banting Stir
SUATU saat, tak mustahil, urusan bahan baku kerajinan pahat batu bakal sulit. Bahan itu terutama diambil dari lereng Gunung Merapi. Tiap bulan, sanggar Djayaprana memerlukan 1-2 truk batu.

Lama pembuatan tergantung besar-kecilnya batu. Batu ukuran 1-2 meter dipahat sekitar sebulan. Bahkan ada yang hingga empat bulan, ”Tergantung kerumitannya,” kata Djayaprana, lelaki kelahiran 1969 itu. Sebuah patung tersebut dikerjakan sekitar empat orang. Mereka kerja borongan. Bila pesanan ramai jumlah pemahat 20 – 30 orang.

”Setiap bulan saya pasti beli bahan baku,” ujar Bu Zaenal, yang mengelola sanggarnya bersama suami. Produksinya bervariasi dari cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, hingga patung berbagai ukuran baik klasik maupun kreasi baru.

Bahan baku batu andesit diperoleh dari lereng Merapi, sedangkan batu paras (putih) dari Gunung Kidul. Kebutuhan bahan baku sebulan rata-rata 10-25 untuk bahan relief berukuran 50x50x15cm. Bahan baku relief berukuran 50x50 cm seharga Rp 50-100 ribu. Adapun bahan baku patung setinggi 80 cm seharga Rp 150 ribu, sedangkan setinggi 1 m seharga Rp 400 ribu. “Bahan baku saat ini sering berebut saking banyaknya perajin batu,” keluh Priyono, warga Prumpung yang lain.

Keluhan senada disampaikan Arif, 60 tahun, pemilik Sanggar Alit. Bagi pengusaha kerajinan pahat batu skala kecil persaingan terasa makin berat. “Usaha kecil semakin berat karena persaingan dengan pengusaha yang besar. Rombongan wisatawan biasanya langsung masuk ke sanggar yang besar,” ungkapnya.

Menurut ayah dua anak ini, pemasaran makin terasa sulit sekali karena guide membawa calon pembeli ke sanggar yang besar-besar. “Sudah empat bulan ini sepi pembeli,” katanya. Padahal, sebelum krisis ekonomi 1998, hampir setiap minggu ada pembeli. Kini benar-benar lesu. “Mungkin juga karena daya beli masyarakat yang menurun,” imbuhnya.

Arif menekuni usaha ini sejak 20 tahun lalu. Namun, mahalnya bahan baku dan angkos angkut membuat dia banting stir. “Sekarang cuma kulakan, membeli dari para tetangga yang memahat patung,” ujarnya. -cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-
Baca juga: Desa Pahat Batu Tamanagung (I)

Thursday, September 11, 2008

serangga diam


biarlah sepi mengurung diri
dalam seribu tanya yang ada

biarkan saja
serangga malam
senandungkan nada indah
(sahara)

foto: diambil di Mlati, Sleman, Yogyakarta

Wednesday, September 10, 2008

Serbi Ramadhan (II)

BULAN Ramadhan bisa menjadi berkah tersendiri bagi para pedagang buah. Salah satu yang merasakannya adalah Pangadi (52 tahun), pedagang buah nangka di Jalan Suroto, Kotabaru, Yogyakarta.

Seperti halnya pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kata Pangadi, di bulan puasa lebih ramai pembeli. Bahkan bisa dua kali lipat dibanding hari biasa.

Biasanya dalam sehari hanya bisa menjual 10 hingga 15 buah, namun pada bulan puasa bisa sekitar 20-30 buah. “Rame pembeli terutama sore hari sekitar jam empat hingga jam lima,” ungkap lelaki yang menjajakan dagangannya jam 8 pagi hingga jam 6 sore tersebut.

Pangadi menjual buah nangka dengan harga Rp 7.000 per kilogram berbentuk potongan-potongan. Sedangkan yang sudah dikupas dijual dengan harga Rp 15 ribu per kilogramnya. Tapi ada juga yang membeli dalam bentuk utuh. “Banyak warung-warung di Jogja yang beli utuh. Es teller 77 Jogja juga ngambil nangka dari sini. Harganya ditimbang dan dihitung per kilo 7 ribu juga.,” kata Pangadi sembari memotong-motong buah nangka dagangannya.

Buah nangka dibelinya dari daerah Ambarawa, Deles (Klaten), dan Prembun (Kebumen). Untuk saat ini karena sedang tidak musim, yang ada hanya di daerah Ambarawa. Setiap hari ia membeli 15 buah dengan harga sekitar Rp 50 ribu. Pada bulan puasa ini ia berusaha menambah dagangannya dua kali lipat menjadi sekitar 30 buah. “Tapi karena sedang tidak musim, jadi agak sulit mendapatkannya,” ujar Pangadi.

Ayah tiga orang anak tersebut mengaku memilih untuk khusus menjual buah nangka karena memang menyukai buah itu. Selain itu, ia merasa ribet jika harus juga menjual buah-buahan lain. Di bulan puasa ini ia pun tidak sekaligus menjual kolak atau es nangka. Pasalnya, ia tidak punya cukup waktu jika harus membuat menu berbuka tersebut.

Pangadi mengaku, penjualan paling ramai memang pada bulan puasa. Kalau lebaran justru kembali seperti hari biasa. “Nangka kan bisa dibuat apa saja. Bisa untuk kolak, es buah, koktail, es jus, atau sekedar untuk dimakan sebagai buah juga enak. Jadi di bulan puasa banyak yang memerlukan nangka sebagai menu berbuka,” pungkas warga Wedomartani, Ngemplak, Sleman, yang menjadi pedagang buah nangka sejak 1975 tersebut. -cahpesisiran-

Wednesday, September 03, 2008

Poem of Friendship


Kemarin saya mendapatkan sebuah puisi dari seorang kawan. Puisi yang indah, tentang persahabatan.
Kebetulan sekali saya lagi suka posting puisi. Jadi pas banget, ternyata saya diberi puisi oleh Bang Ipanks yang harus saya posting ulang di sini.


***
We need friends for many reasons,
all throughout the season.
We need friends to comfort us
when we are sad,
and to have fun with us when we are glad.

We need friends to give us good advice,
We need someone we can count on,
and treat us nice.

We need friends to remember us
one we have passed
sharing memories that will always last.
~~~
Spread the poem of friendship.
1. Siraj 2. Asmus~Ark 3. Andiana 4. Indah 5. Ipam 6. Ipanks 7. Cah pesisiran
8. You are next

Dan setelah nitip diagendakan dalam sidang kabinetnya Pak SBY-JK, juga rapat paripurna nya Pak Agung Laksono.. *hehe padahal aku ga suka pulitik*
Jreng jreng jreng.. akhirnya diputuskan, puisi ini saya bagi dengan kawan-kawan:
1. Nandien
2. Ryan
3. Cerita Senja
4. Wendra Wijaya

Bagi teman2 yang dapat, selamat mengerjakan tugas ini ya.. :)
Dan bagi teman2 yang tidak mendapat tugas ini, saya mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa ya.. *dengan tulus hati*