Monday, November 24, 2008

Nilam nan Harum Mewangi

Menguak Harumnya Atsiri Nilam

Berapa pun jumlah minyak atsiri nilam pasti diserap pasar. Dipicu oleh misi sosial. Harus terintegrasi, mulai dari pembibitan, penanaman, pascapanen, dan penyulingan.

AROMA harum langsung tercium ketika memasuki lahan pembibitan nilam di Dusun Sambiroto, Desa Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Lahan menghijau di areal persawahan milik Lesto Kusumo itu telah dikembangkan sejak 2004. Ayah satu anak ini mulai terjun pada budidaya nilam tahun 2000 di Bandung. Kini, ia mengembangkan usahanya di Kalasan, Prambanan, dan Magelang.

Ketertarikan Lesto mengembangkan tanaman nilam dipicu oleh misi sosial. Di Jawa, rata-rata petani hanya memiliki lahan seluas 1.000-2.000 meter persegi. Dari perhitungannya, para petani akan lebih diuntungkan membudidayakan tanaman nilam dibanding tanaman lain. “Dari seribu meter persegi, misalnya, dapat ditanami dua ribu bibit. Dengan harga jual Rp 1.000 per kg, setiap empat bulan (masa panen) mendapatkan Rp 2 juta. Dipotong biaya operasional sekitar Rp 350 ribu, maka per siklus petani memperoleh keuntungan Rp 1.650.000,” ujar Lesto.

Itu perolehan pada panen pertama. Kala panen ke empat kalinya, jumlah nilam yang diperoleh meningkat dua kali lipat, dan panen ke delapan meningkat lagi tiga kali lipat,” Lesto menambahkan. Dari kalkulasi tersebut betapa menggiurkan hasilnya.

Pertama kali tanam, Lesto mengambil bibit dari beberapa petani setempat. Ternyata hasilnya tidak memuaskan. Selain hasil panen nilam tidak maksimal, usia bibit juga tidak bertahan lama. Setelah dua kali panen produksi langsung menurun. Dari situ kemudian terpikir oleh Lesto membuat usaha secara terintegrasi, mulai dari pembibitan, penanaman, pascapanen, dan penyulingan.

Jadi dibagi tiga divisi. Divisi yang bertanggung jawab pada pembibitan dan penanaman. Divisi pascapanen bertanggung jawab pada waktu panen, pengeringan dan pemotongan. “Dan, divisi yang bertanggung jawab pada penyulingan, yang menghasilkan minyak atsiri berkualitas, yang bisa diterima oleh pangsa pasar,” ungkap alumni jurusan perminyakan Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta tersebut.

Minyak atsiri nilam produksi Lesto lebih mahal dibanding harga pasar. “Karena kualitas dari penyulingan dijaga kebersihannya, modernisasi perlengkapan dan sebagainya. Itu yang kita tekankan, sehingga bisa masuk kualitas ekspor,” tambah laki-laki kelahiran Bandung, 1972 tersebut. Harga minyak nilam produksinya mampu menembus Rp 50 ribu – 150 ribu di atas harga pasar. Saat ini, per kg minyak nilam dihargai Rp 400 ribu.

Dalam bisnis ini, Lesto bekerja sama dengan perusahaan dari Jepang, Prancis, Swis, dan Singapura untuk ekspor minyak nilamnya. Kapasitas produksinya per bulan mencapai 200 kg. Direncanakan, November 2008 dan Maret 2009 dilakukan peningkatan produksi hingga mencapai target per bulan 400 kg. “Dengan perluasan lahan dan penambahan kapasitas penyulingan,” imbuhnya.

Meski begitu Lesto merasa belum berhasil, sehingga ia pun mengalokasikan anggaran untuk R&D (reseach and development). “Sebagian yang kita dapat, kita putar lagi untuk R&D. Untuk mendapatkan tanaman dan minyak nilam yang berkualitas,” kata Lesto yang juga berprofesi sebagai konsultan di bidang perminyakan dan petrokimia itu.

Dalam usaha nilam, menurut dia, yang paling utama adalah bibit, karena akan menentukan kadar kualitas dan rendemen minyak. Untuk mencapai bibit unggul dia melakukan penelitian bibit selama satu tahun dan berhasil. Bahkan Aceh yang merupakan sumber nilam mengambil bibit darinya. Juga sebagian petani di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Kapasitas produksi bibit per bulan berkisar 100 - 200 ribu bibit. Pesanan terbesar dari luar Jawa. Untuk Sumatera rata-rata per bulan menyerap 50 ribu bibit, begitu pula Kalimantan. “Pernah terima permintaan bibit sampai sejuta buah,” kata Lesto yang berharap tahap research bisa selesai tahun ini, selanjutnya tinggal pengembangan.

Proses pembibitan dilakukan dengan mekanisme standar sesuai pengalaman. Bibit yang dilepas, sebelumnya diujikan di lahan kering dengan pengairan dan pupuk minimal. Dan, ternyata tingkat kematiannya kurang dari 10%. Biasanya yang terjadi tingkat kematian dari perpindahan bibit ke lahan 50%, dan kematian setelah ditanam 50% lagi.

Dalam budidaya nilam ini Lesto melibatkan petani 15 orang di Yogyakarta dengan masing-masing mengelola seribu hingga dua ribu meter persegi lahan. Sedangkan di Magelang sekitar 20 orang dengan total luas lahan sekitar 40 – 48 hektare. “Lahan pertanian dengan sistem kerja sama dengan petani,” katanya. Karena misi pertamanya untuk mengangkat petani setempat. “Jadi kami koordinir para petani dengan lahan mereka masing-masing,” papar lelaki yang juga sebagai koordinator penanggulangan bencana daerah Jateng-DIY Kelompok Balerante 907 tersebut.

Sementara jumlah karyawan dengan sistem penggajian sekitar 25 orang di bagian penyulingan dan laboratorium bibit. Demi misi sosial, area penyulingan dan laboratorium pembibitan (seluas setengah hektare) pun ia sewa dari warga. Selain bibit, Lesto juga meriset sistem produksi dan hasil olahan minyak atsiri nilam. “Hasil olahan ini berupa aroma therapy. Baru mulai membuka pasar, dan permintaan dari luar negeri sudah cukup banyak.” Harga produk tersebut berkisar Rp 90 ribu hingga Rp 160 ribu per kemasan 200 mililiter. Antara lain, berupa Pure Essentiao Oil, Pure Essential Oil Blending, Low Concentration, Body Oil, Body Lotion, dan Massage Oil.

Selain itu dari peralatan penyulingan yang ia rancang juga menghasilkan hidrosol, di luar minyak nilam. “Hidrosol sebagai bahan dasar kosmetik. Lebih murah dibanding menggunakan bahan dasar minyak nilam. Ini bisa menjadi pendapatan tambahan. Di luar negeri pun harganya cukup tinggi. Rp 40 ribu per liter di dalam negeri, sementara di luar negeri sekitar Rp 400 ribu – Rp 500 ribu. Kita mulai mengenalkan pada beberapa industri kosmetik dan mereka sudah mulai mengambil,” paparnya.

Omset dari kapasitas produksi atsiri nilam 200 kg per bulan ditambah produk lain bisa mencapai hampir Rp 200 juta. “Tapi kita alokasikan juga keuntungan untuk R&D bisa dikatakan 30-40%,” ungkapnya. Sementara total aset dari usahanya saat ini, Lesto mengaku Rp 1,8 milyar termasuk untuk research and development.

Asalkan menjaga kualitas, prospek usaha nilam ke depan masih akan bagus. “Minyak nilam ini seperti kacang goreng, laris. Berapa pun yang kita punya pasti habis,” pungkas Lesto yang mengembangkan dua jenis tanaman nilam tapak tuan dan sidi kalang tersebut. –cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-

Baca juga: Kalkulasi Bisnis Nilam

Kalkulasi Bisnis Nilam

INVESTASI nilam tidak sedikit biayanya. “Tetapi bila berjalan, banyak masyarakat yang tertolong karena padat karya,” kata Lesto. Bagaimana dengan perhitungan modal?

“Kalau mau memulai usaha nilam secara terintegrasi, diperhitungkan dari alatnya dulu. Direncanakan mau memproduksi berapa banyak minyak nilam per minggu. Setting alatnya. Dari situ kemudian diseting luasan lahan tanaman nilam yang dibutuhkan. Untuk 1 kg bahan kering harus dikalikan empat,” papar Lesto.

Contoh. Untuk kapasitas alat 200 kg dengan dua kali penyulingan sehari, paling tidak membutuhkan lahan 16 hektare. Dan bisa ditambahkan lagi peralatan sampai kapasitas 800 kg, sehingga sehari dapat menyuling 1.600 kg. “Dengan kapasitas 200 kg, minimal dibutuhkan 12 hektare lahan. Kelipatan berikutnya sama. Return dari investasi lahan dan peralatan tidak sampai dua tahun sudah kembali, walaupun harga naik turun,” paparnya.

Untuk sehektare lahan paling tidak biaya investasinya Rp 35-40 juta. Kalau sehektare ditanami 25 ribu bibit, dan rata-rata produksi--dengan penanaman yang baik-- 1 kg dari 1 pohon, maka akan menghasilkan 25 ton. Harga 1 kg tanaman nilam Rp 1.000 atau berarti Rp 25 juta. Biaya lahan dan bibit kurang lebih Rp 40 juta. Berarti dua kali panen, sudah kembali modal.

Tapi untuk biaya perawatan dan sebagainya dihitung tiga kali panen atau setahun baru kembali modal. Pada tahun berikutnya sudah murni pendapatan. “Jadi setahun BEP, tapi secara linear kita anggap saja dua tahun BEP,” jelasnya. Demikian juga untuk alat, dengan tiga kali panen atau satu tahun sudah tertutup. Dengan demikian, pada lahan 16 hektare dibutuhkan biaya Rp 30 juta x 16 = Rp 480 juta. Ini anggaran untuk lahannya saja.

Untuk kebutuhan alat, 1 boiler Rp 90 jutaan. Autoklep Rp 60-70 juta. Kalau punya dua autoklep atau alat penyulingan berarti Rp 120 juta + Rp 90 juta = Rp 210 juta. Ditambah instalasi dan lain-lainnya sekitar Rp 40 juta, total Rp 250 juta. Kemudian plus anggaran lahan Rp 480 juta = Rp 700 juta. “Total anggaran tersebut tahun kedua sudah kembali. Tanaman nilam dapat hidup sampai umur tiga tahun. Tahun kedua hingga ketiga murni keuntungan,” ujar Lesto. Menggiurkan bukan? –cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-

Baca juga: Menguak Harum Bisnis Atsiri Nilam

Saturday, November 15, 2008

Mengerjakan PR

Beberapa hari minggu ini tidak ada ide membuat postingan, lagi bebal a.k.a dudul. Padahal sudah banyak ada beberapa teman yang menagih postingan baru. Jadi daripada kelamaan tidak update, maka lebih baik saya mengerjakan pe er saja. Kebetulan beberapa jam hari yang lalu saya diberikan PR oleh seorang blogger yang juga cerpenis, Bu Gulu Patamolgana Bu Guru Fatamorgana. “PR nya adalah, ceritakan suka dukanya menjadi Blogger!” katanya dengan galak ramah.
Baiklah saya mulai saja mengerjakan PR nya.

Sukanya menjadi blogger:

  1. Punya banyak temen yang seperti luna maya di dunia maya.
  2. Punya sarana pelampiasan kalau lagi insomnia. Atau justru gara-gara ngeblog trus jadi insomnia ya..
  3. Bisa mendokumentasikan dan mempublikasikan tulisan-tulisan apa aja, juga foto.
  4. Mempunyai sarana menyalurkan pemikiran ataupun uneg-uneg, walaupun karena lebih sering bebalnya maka uneg-uneg tetap saja tidak tersalur. Whekek sama juga bodong bohong dong..
  5. Memotivasi untuk kembali mempelajari ilmu-ilmu perdukun pendukung blogging, seperti kode-kode HTML yang dulu sempat sedikit saya pelajari dan belum mudeng juga sampai sekarang. Hihihi dasar dudul..
  6. Bisa belajar banyak hal dari postingan teman-teman blogger.
  7. Banyak deh pokoknya…

Trus kalau dukanya atau tidak enaknya:

  1. Suka lupa waktu kalau sudah ngeblog, bahkan kadang kerjaan tertunda gara-gara ngeblog. Ini deh yang parah..
  2. Apa lagi ya.. Sedikit sih dukanya, karena itulah ngeblog menjadi godaan terbesar yang sering menyebabkan menunda aktivitas lain.
  3. Terus, apa lagi yah dukanya yang lain..
Wah benar-benar deh isi kepala lagi ga bisa diajak kompromi. Mending nyanyi dulu aja ah…


Bebal

ketika tiada kata dapat terucap
dari mulutku
tiada kata dapat tergores
dari penaku

padahal
dari kepala dan hati
begitu banyak yang hendak menyeruak keluar

apa yang sedang terjadi
begitu bebalkah isi kepalaku

“mulai sajalah dengan menulis”
kata para penulis
yang telah banyak mencecap asam garam

tak mengapa
jika hanya rangkaian kata bebal ini
yang tercipta

“aku telah memulainya”
kini tiga kata telah dapat menyeruak keluar


note: Buat bu gulu guru, maaf ngerjain PR nya banyak coretannya. Soalnya ga punya tipek dan memang sengaja. he2

Tuesday, November 04, 2008

racunmu merahku


ketika racunmu
menjadi anggur bagiku

wahai cinta
percikmu
selalu memerahkan hatiku


dan kan kukatakan,
“kau tiada arti apa pun bagiku!”
...


tlah ku bunuh hatiku
dengan mengkhianatinya
bersamaan kau telah membunuhku
dengan anggurmu


- pernah diposting di blog kawan di sini, gambar mengambil koleksi kawan di situ -

Saturday, November 01, 2008

Batik Berkembang Ikuti Masa

HINGGA saat ini, batik masih lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pada tahun 1968 batik bersama kebaya dicanangkan sebagai pakaian nasional oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin. Batik bukan hanya merupakan produk budaya tradisional, namun telah berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi hingga masa modern sekarang.

Berbicara tentang sejarah batik, budayawan yang juga Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc, merujuk pada pendapat sejarawan Belanda Dr. J.L.A. Brandes pada tahun 1890-an. Bahwa sebelum kebudayaan Jawa -atau dalam arti luas Indonesia- mendapat pengaruh dari India, bangsa Indonesia telah mengenal 10 butir budaya asli atau local culture. Diantara 10 butir itu adalah membatik.

“Berarti yang namanya membatik dari sisi teknologi itu secara hipotetis, telah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa-masa sebelum pengaruh kebudayaan India datang di Indonesia . Sebelum abad ke 4 atau 5,” kata Timbul mengacu tulisan Brandes. Local culture merupakan suatu kebudayaan setempat yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan asing. Selain batik, budaya lokal yang masuk dalam 10 local culture masyarakat Jawa -menurut Brandes- adalah wayang, gamelan, tembang, metalurgi, perbintangan, pelayaran, irigasi, birokrasi pemerintahan, dan mata uang.

Mengenai pengertian batik, secara etimologis ada beberapa pendapat. Salah satu diantaranya adalah yang mengaitkan asal-usul istilah batik dengan kata titik, karena proses membatik dilakukan dengan membuat gambar dari titik-titik. Menurut Timbul, pengertian batik harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi cara membuat ataupun motifnya saja. Namun juga harus dilihat pada pola desain dan medianya. “Sebab nanti pola batik ada yang digambarkan pada kertas, pada kain, ataupun pada benda-benda yang lain, tapi motifnya batik. Jadi batik bisa juga sebagai pengertian motifnya, selain tekniknya. Sebab kemudian ada juga batik yang dibuat dengan teknik cap,” papar Timbul yang juga ketua Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pasca Sarjana FIB UGM.

Datangnya pengaruh kebudayaan India sekitar abad ke-4 atau ke-5 Masehi, membawa dampak pula pada kebudayaan Jawa. Kebudayaan India antara lain memperkaya variasi motif desain ragam hias yang ada, yang dapat dilihat di relief candi-candi. Pengaruh tersebut menyebabkan motif-motif batik juga berkembang. Sebelum masuknya pengaruh India, batik mempunyai tiga macam motif dasar yaitu motif geometrik berupa garis-garis -baik garis lurus, lengkung, maupun pengulangan garis-, motif flora atau tumbuh-tumbuhan, dan motif binatang. “Motif-motif itu kan tidak lepas dari apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Baik lingkungan alam seperti binatang maupun tumbuh-tumbuhan,” kata Timbul.

Berkembangnya mitos-mitos dan legenda-legenda yang berasal dari India seperti cerita Ramayana, Mahabarata, dan legenda tentang garuda juga membawa pengaruh pada motif batik. “Sehingga motif-motifnya terus berkembang, dijiwai dan diilhami pula oleh cerita-cerita itu. Kemudian muncul motif seperti semen romo, dan motif garuda,” ungkap lelaki yang juga aktif berkesenian tersebut.

Lebih jauh, ungkap Timbul, motif batik kemudian berkembang pula menjadi gaya-gaya batik yang memiliki kekhasan tersendiri antar daerah seperti gaya pesisiran, Yogyakarta , dan Solo. Perkembangan tersebut terkait dengan masuknya kebudayaan Islam di Jawa dan terbentuknya kerjaan-kerajaan yang menjadi pusat kebudayaan. Adanya kontak masyarakat antara pusat kebudayaan satu dengan lainnya menyebabkan terjadinya saling memengaruhi kebudayaan, termasuk dalam hal batik. Sehingga di daerah tertentu berkembang suatu gaya yang spesifik, dan akhirnya muncul gaya pesisiran, gaya Banyumasan, Lasem, Cirebon, Surakarta, Yogyakarta dan sebagainya.

Secara garis besar, yang membedakan batik antar daerah tersebut adalah pada pola warna dan motif. “Jadi setiap daerah itu mempunyai kekhasan sendiri-sendiri. Yang kadang-kadang ciri khas lokal itu juga akibat pengaruh lokal yang lain. Karena, pembatiknya mendapat inspirasi dari suatu daerah lain. Setelah lama-kelamaan dianut, maka menjadi spesifik lokal itu,” terang Timbul Haryono.

Lebih jauh untuk batik Yogyakarta dan batik Surakarta, menurut Timbul, perbedaan paling dominan adalah pada latar warna atau warna dasarnya. Batik Yogyakarta berwarna dasar putih, sedangkan batik Surakarta cokelat tua. “Kalau dari motif-motifnya, sebenarnya ada perbedaan. Tapi karena Yogya dan Solo dekat, maka motif-motifnya sama-sama dikenal di kedua daerah itu. Sehingga sulit untuk membedakan ciri kedaerahannya dari motif,” paparnya. Perbedaan yang lain adalah pada cara pemakaian. Seperti di Yogyakarta, dalam pemakaian kain batik bagian seret atau pinggirannya ditampakkan. Sedangkan di Surakarta bagian seret tersebut dilipat sehingga tidak tampak. “Itu yang paling pokok perbedaannya,” tegas Timbul.

Hingga saat ini, batik terus mengalami perkembangan. Batik yang merupakan bagian dari kebudayaan, selalu dinamis seiring dengan dinamisnya kebudayaan. “Kebudayaan itu dinamis, begitu pula batik juga dinamis. Dalam pengertian, motif-motif batik terus berkembang sesuai dengan dimensi waktu dan dimensi ruang. Dimensi waktu itu dari waktu ke waktu, dari dulu sampai sekarang. Dimensi ruang, artinya secara keruangan spasial dari daerah ke daerah,” papar lelaki kelahiran Prambanan, 5 Oktober 1944 tersebut.

Perkembangan batik menjadikannya lebih banyak digunakan oleh masyarakat pada masa sekarang. “Sekarang kan batik langsung dimanfaatkan atau digunakan oleh masyarakat. Kalau dulu motif batik itu hanya dipakai untuk kain, sekarang berkembang juga untuk baju, juga untuk kerajinan seperti taplak meja misalnya. Berarti masyarakat secara umum tidak akan melepaskan diri dari batik itu,” katanya sembari menunjukkan stopmap bermotif batik yang ada di meja kerjanya.

Justru yang dipentingkan sekarang, menurut Timbul adalah regenerasi para pembatik. Dimaksudkan agar ke depan masyarakat Indonesia tidak hanya sebagai konsumen, tapi juga produsen. Dalam arti bukan hanya sebagai pemakai, tapi juga pembuat batik. “Sebab kerajinan membatik lama kelamaan, berganti generasi, banyak generasi muda yang tidak berminat untuk berkarya. Tapi kalau memakai, mereka masih berminat. Maka harus ada regenerasi pembatik terus menerus, agar tidak terputus,” kata guru besar yang dikenal low profile tersebut.

Regenerasi perlu dilakukan terus menerus baik secara formal maupun non formal. Menurut Timbul akan lebih baik jika seni kerajinan batik pada wilayah-wilayah budaya dimana batik menjadi primadona ciri khas daerah bersangkutan, dimasukkan dalam suatu kurikulum pendidikan. Seperti misalnya di Yogyakarta, Pekalongan, dan Cirebon, agar tidak terjadi garis putus antara generasi ke generasi yang lain.

Pembatik-pembatik yang ada sekarang relatif telah berusia tua. Timbul mengkhawatirkan jika tidak ada transformasi kepada generasi muda maka bias jadi ke depan bangsa Indonesia hanya akan menjadi pemakai batik tanpa bisa memproduksi. “Karena tidak menguasai aspek teknik atau teknologi membuat batik. Kalau itu terjadi nanti bias-bisa batik akan dibuat oleh negara lain, dan kita hanya sebagai konsumen saja. Jadi kontinyuitas transformasi budaya ini harus dijaga, jangan sampai terputus atau kehilangan jejaknya,” kata Timbul yang mendapat gelar K.R.A. Haryono Hadiningrat dari Keraton Kasunanan Surakarta tersebut.

Hal terpenting lainnya adalah bagaimana menjaga batik agar tetap menjadi kekayaan Indonesia asli di tengah dunia global. “Akhirnya hak cipta itu menjadi hal yang sangat penting. Oleh karena itu harus betul-betul disadari bahwa batik itu kekayaan Indonesia asli. Menyatakannya dengan tidak sekedar kita berkarya terus, tetapi harus mempatenkan. Supaya tidak lagi ada negara lain yang mengklaim batik sebagai miliknya. Bagaimana agar berkekuatan hukum secara internasional,” harapnya tegas. –cahpesisiran utk majalah saudagar-

Foto oleh kawan di sini