Tuesday, March 01, 2011

Merti Bendung Kayangan

Mengenang Jasa Mbah Bei

KEINDAHAN alur sungai berbatu khas pegunungan dan sebuah tebing tinggi menjulang menjadi latar belakang elok perhelatan upacara adat warga Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulonprogo, DI Yogyakarta. Tradisi Saparan di Bendung Kayangan yang telah menjadi tradisi tahunan turun-temurun ini kembali digelar, Rabu (2/1).

Upacara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kayangan yang oleh warga setempat dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kayangan. Tokoh ini pula yang telah membangun bendungan yang saat ini dikenal sebagai Bendung Kayangan.

Tradisi merti Bendung Kayangan yang disebut juga dengan Tradisi Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kayangan ini digelar setiap tahun. Dengan waktu pelaksanaan pada hari Rabu terakhir (pungkasan) di bulan Sapar.


Acara merti bendungan ini dilaksanakan dengan setidaknya melibatkan 12 dusun di sekitarnya. Diantaranya Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, dan Krikil. Saat pelaksanaan, warga berduyun-duyun datang ke lokasi bendungan dengan mengusung tenong (wadah dari bambu) berisi aneka makanan yang akan digunakan untuk kenduri dan makan bersama.

Setelah warga berkumpul dan berbagai makanan tradisional yang dibawa masyarakat sudah tertata rapi di pinggir bendungan kemudian digelar kenduri Saparan. Makanan itu dibagikan pada seluruh pengunjung setelah dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (makan bersama seribu saudara) juga sebagai simbol ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.

“Ini sebagai ungkapan syukur warga kepada Tuhan, dengan adanya bendungan ini sangat bermanfaat untuk pertanian dan kehidupan masyarakat Kayangan dan sekitarnya,” kata pemangku adat, Mulyono.

Prosesi dilanjutkan dengan penampilan kesenian jatilan atau kuda lumping. Ada tradisi yang unik, sesudah berpentas babak pertama mereka memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai atau biasa disebut ngguyang jaran. Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kayangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka berpentas lagi.

“Selain ngguyang kuda lumping juga alat peraga kesenian lain, seperti topeng. Ini juga sebagai simbol membersihkan diri dengan air. Karena air memiliki makna sebagai tirta marta atau sumber kehidupan,” jelas Mulyono.

Mengenai Mbah Bei Kayangan, Mulyono menuturkan, konon merupakan seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulonprogo. Di tempat itu Mbah Bei membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan, dan ladang. Selain itu juga membangun bendungan secara manual yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitarnya.

Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Nama Bendungan Kayangan sendiri muncul karena salah satu sisi hulunya berupa dinding tegak lurus pada bukit atau Gunung Kayangan.

Salah seorang warga, Mutrijati (40) mengaku senang dengan diselenggarakannya tradisi Saparan tersebut. Menurutnya upacara adat ini bisa menjadi sarana mempererat kebersamaan antar warga dan melestarikan kebudayaan.

Sementara Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kulonprogo, Sarjana, yang menghadiri acara itu menyampaikan apresiasinya kepada masyarakat yang masih melestarikan kebudayaan. “Upacara adat ini menunjukkan masyarakat yang guyub rukun. Dengan kebudayaan, semakin merekatkan kebersamaan antar warga masyarakat,” katanya. -cahpesisiran utk suara merdeka-

Nglaras Anggunging Kutut

BAGI sebagian masyarakat Jawa, burung perkutut mempunyai makna tersendiri. Konon burung ini bisa membawa hoki dan ketenteraman hidup pemiliknya. Terlepas dari itu, suara khas dari burung anggungan yang bernama latin Gleopelia striata ini memang mampu memikat para pecinta burung.

Dengan banyaknya penggemar perkutut, maka tidak jarang ajang untuk melombakan kualitas suara burung ini pun digelar. Untuk menghasilkan perkutut dengan suara yang bagus, para pehobi maupun penangkar perkutut harus berupaya menghasilkan perkutut yang berkualitas.

Seperti di Kulonprogo, upaya untuk terus meningkatkan kualitas perkutut pun dilakukan para penangkar dan pehobi. Ketua Koordinator Daerah Persatuan Pelestari Perkutut Seluruh Indonesia (Korda P3SI) Kulonporog, Drs Mur Widadi mengatakan, upaya penangkar di Kulonprogo untuk meningkatkan kualitas perkutut selalu dinamis.

“Harus mengikuti perkembangan perkututan, seperti suara yang lagi tren bagaimana. Ini tantangan mem-breeding untuk menghasilkan perkutut yang lebih dari standar,” kata Mur Widadi di sela lomba perkutut piala Bupati Kulonprogo, belum lama ini.

Menurutnya kualitas suara perkutut antara lain dilihat dari irama dan dasar suaranya, baik di awal atau angkatan suara, di tengah, maupun di ujungnya. Dulu kebanyakan suara perkutut hanya empat ketukan saja atau biasa disebut engkel.

Namun sekarang tren berkembang hingga ada yang enam ketukan, ketek dobel enam ketukan, dan dobel plus atau tujuh hingga delapan ketukan. Bahkan ada yang sampai tripel ketukan atau sembilan ketukan.

“Di Kulonprogo ada 14 pehobi yang mem-breeding atau menangkarkan kutut. Kami selalu mengusahakan kualitas kutut di sini juga meningkat, upayanya antara lain dengan mencari indukan dan bapakan yang bagus. Sudah ada juga yang bisa menghasilkan kutut dobel plus,” ungkapnya.

Salah satu penangkar perkutut di Kulonprogo, Kadiri mengungkapkan, tidak ada kendala signifikan dalam menangkarkan untuk menghasilkan perkutut yang berkualitas. Kendala yang dihadapi hanyalah cuaca kurang bagus. Jika cuaca buruk maka menghambat penetasan telur. Kendala yang lainnya berupa penyakit, terutama cacingan, namun bisa diatasi dengan pemberian obat.

“Kalau mencari indukan gampang-gampang susah. Tapi kalau sudah ada persepsi yang sama dengan penangkar yang lain, itu tidak masalah,” ujarnya.

Mur Widadi menambahkan, selain meningkatkan kualitas burung perkutut dengan penangkaran, upaya memajukan dunia perkututan di Kulonprogo juga ditempuh dengan menggelar lomba. Dalam setahun setidaknya digelar sekali perlombaan. Seperti lomba perkutut Piala Bupati Kulonprogo yang diadakan Minggu (13/2) lalu di lapangan Kecamatan Pengasih.

“Ini rutin digelar setiap tahun, untuk kemajuan kutut di Kulonprogo. Juga mewujudkan kekompakan kung mania baik pehobi, penangkar, perajin sangkar, dan penjual pakan burung perkutut,” katanya.

Lomba itu diikuti 70 peserta. Selain dari Kulonprogo dan lingkup DIY, juga diikuti peserta dari Jawa Tengah seperti Kebumen, Cilacap, Magelang, dan Solo. “Ada juga yang dari Jawa Timur seperti dari Pacitan. Yang dari Bandung juga ada,” imbuhnya. -cahpesisiran utk suara merdeka-

Petani Gelar Tradisi Wiwit Panen Padi

TRADISI wiwit untuk memulai panen padi saat ini sudah mulai jarang dilakukan oleh petani. Namun para petani di Desa Giripeni, Kecamatan Wates, Kulonprogo masih memelihara tradisi itu dengan menggelar wiwit bersama, Kamis (10/1).

Para petani berduyun-duyun datang ke sawah dan berkumpul di gubug tani yang menjadi tempat digelarnya wiwit bersama. Mereka datang dengan membawa aneka makanan, beberapa diantaranya berupa ingkung dan nasi tumpeng. Para petani di Dusun Dobangsan itu sedikit mengubah tradisi wiwit dari yang sudah dilakukan turun-temurun.

“Dulu dan sekarang ada bedanya. Kalau dulu petani membuat ingkung dan tumpeng dan dibawa ke sawahnya malam hari waktu sawah sepi, agar tidak dicuri orang. Kalau sekarang kita gelar bersama di siang hari, sekaligus bersedekah makanan bersama,” kata Untung Suharjo, sekretaris kelompok tani setempat.

Wiwit bersama itu digelar satu kali setahun setiap akan dimulai panen pada masa tanam pertama. Penyelenggaraan wiwit secara bersama sudah dilakukan selama empat tahun ini. Dengan diselenggarakan bersama, tradisi itu sekaligus mejadi ajang silaturahmi para petani termasuk dengan perwakilan pemerintah yang turut diundang. Suasana kebersamaan yang tercipta pun begitu kental.

Dalam acara itu sekaligus dilakukan dzikir untuk mensyukuri hasil panen dan doa bersama agar panen yang akan datang lebih baik. “Berdoa bersama agar hasil panen bermanfaat dan panen berikutnya hasilnya lebih baik lagi,” katanya.

Di lahan sawah seluas sekitar 41 hektar itu para petani kebanyakan menanam padi varietas Ciherang. Tapi ada juga padi varietas lainnya seperti Inpari 1 dan 2 serta Situgangga. Untung mengungkapkan, panen kali ini hasilnya lebih bagus dari panen sebelumnya. Walaupun pada awal masa tanam beberapa hama penyakit menyerang namun para petani berhasil mengatasinya. Beberapa hama itu diantaranya hama putih palsu, penggerek batang, dan hama kresek.

“Dari pengukuran ubinan, hasil panen kali ini rata-rata mencapai 11,3 ton per hektar. Sedangkan tahun lalu hanya 10,4 ton per hektar,” ungkapnya.

Salah satu petani, Ngatijo mengaku senang dengan digelarnya wiwit secara bersama karena mereka bisa berkumpul dan mempererat kebersamaan. Dia pun setiap tahun selalu ikut dalam penyelenggaraan wiwit bersama sekaligus sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan dan berdoa agar panen bisa melimpah.

“Alhamdulillah panen kali ini bisa bagus, lebih baik dari sebelumnya. Padahal dari kecil sudah ada hama tapi hasilnya bisa baik,” imbuhnya. -cahpesisiran utk suara merdeka-

Warga Kalibuka Gelar Upacara Adat Saparan

Para Lelaki Memasak Kambing

DIANTARA rimbunnya pepohonan, warga Dusun Kalibuka, Desa Kalireja, Kecamatan Kokap, Kulonprogo menggelar upacara adat Saparan Kalibuka. Mereka berduyun-duyun mengusung tenong atau wadah dari bambu yang berisikan aneka makanan, menuju petilasan Sunan Kalijaga yang ada di Kampung Sebatur, Selasa (2/1).

Sementara sebagian warga yang lain menyembelih kambing berbulu putih dengan bulu hitam melingkar di badannya seperti sabuk (biasa disebut wedhus kendhit dalam bahasa Jawa). Kambing diambil kulit dan dagingnya untuk dimasak menjadi sate oleh para lelaki dusun di Sebatur. Sudah menjadi adat, saat memasak tidak boleh dicicipi. Sedangkan kepala kambing ditanam di Sebatur dan empat kakinya ditanam di empat penjurunya.

Setelah kambing selesai dimasak dan warga telah berkumpul di Sebatur, pemuka agama atau pemangku adat kemudian memimpin doa bersama. Memanjatkan doa agar Tuhan memberi keselamatan bagi seluruh penduduk Dusun Kalibuka. Kemudian dilanjutkan dengan kenduri, tenong-tenong yang berisi makanan dibuka dan seluruh yang hadir melakukan makan bersama. Termasuk menyantap daging kambing yang telah dimasak kaum laki–laki tadi.

“Saparan ini sudah kami laksanakan turun-temurun, untuk meminta pada Tuhan semoga seluruh masyarakat wilujeng toto titi tentrem lahir batin. Setelah ini semoga warga panjang umur, banyak rejeki, tambah iman, dan mendapat berkah kewilujengan,” kata pemangku adat, Sutrisno Wiyanto.

Sutrisno mengisahkan, sejarah upacara Saparan Kalibuka bermula dari kisah perjalanan Sunan Kalijaga ketika melakukan siar agama ke arah selatan. Saat itu beliau berhenti di tempat yang datar dan rata untuk berbuka puasa. Ketika itu Sunan Kalijaga berkata sesuatu yang kemudian menjadi nama Dusun Kalibuka.

"Sesuk nek ana rejaning jaman, tak jenengake desa Walibuka (besok jika ada kesejahteraan zaman, tempat ini saya sebut desa Walibuka),” kata Sutrisno mengutip perkataan Sunan Kalijaga. Dari kata Walibuka itulah kemudian menjadi nama Dusun Kalibuka.

Ketika berbuka, Sunan Kalijaga dan rombongannya makan nasi putih dengan lauk sate lengkap dengan bumbunya. Di tempat itu, nasi yang tercecer tumbuh menjadi pohon besar dan bumbu sate yang terbuat dari asem tercecer menjadi pohon asam. Sedangkan tusuk sate (sujen) tumbuh menjadi rumpun bambu yang masih ada hingga kini dan oleh warga Sebatur disebut sebagai Pring Gedhe. Tempat berbuka puasa inilah yang sekarang dipakai sebagai tempat menyelenggarakan upacara adat Saparan Kalibuka.

Upacara adat Saparan Kalibuka diselenggarakan pada Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon pada bulan Sapar. Upacara ini biasanya diadakan bersamaan dengan tradisi bersih desa atau merti dusun yang diawali dengan membersihkan tempat upacara dan jalan menuju ke Sebatur. Biasanya rumpun bambu pring gedhe dibersihkan dan pagar bambu diganti dengan yang baru. Sedangkan pada malam harinya diadakan tahlilan dan tirakatan di Sebatur.

Kasi Adat dan Kesenian Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disbudparpora) Kulonprogo, Drs Yuwono Hindriatmoko, yang hadir dalam acara itu mengatakan mendukung kegiatan adat tersebut. Menurutnya upacara adat Saparan Kalibuka bisa menjadi pemersatu masyarakat sekaligus untuk melestarikan kebudayaan.

“Kami berharap ke depan upacara adat Saparan Kalibuka ini bisa lebih maju dan menjadi pendukung pariwisata. Karena lokasinya juga dekat dengan obyek wisata Waduk Sermo, ini menjadi potensi untuk bisa menarik wisatawan,” imbuhnya. -cahpesisiran, utk harian suara merdeka-