Wednesday, January 26, 2011

Menengok Kebun Buah Naga Pantai Glagah

Mendekati Imlek Permintaan Buah Naga Melonjak


SEMILIR angin menerobos di sela tanaman buah naga yang tumbuh merambat pada ting-tiang yang berjajar rapi. Sepoi yang terasa begitu menyegarkan itu berpadu dengan suara debur ombak, menemani sejumlah pekerja menerobos diantara tanaman buah naga untuk memetik buahnya.

Mendekati perayaan tahun baru imlek, para pekerja di kebun buah naga Kusumo Wanadri yang ada di Pantai Glagah, Kulonprogo, DI Yogyakarta itu memang lebih sibuk dari biasanya.


Tentu saja, karena permintaan terhadap buah naga meningkat tajam, bahkan bisa mencapai empat kali lipat.


Peningkatan permintaan sudah terjadi sejak awal Januari lalu. Pengiriman pun dilakukan tiga hari sekali sebanyak 1,5 ton – 2 ton untuk setiap pengiriman. Permintaan berasal dari jaringan supermarket yang ada di Jakarta, Bandung, maupun Yogyakarta.

“Peningkatannya sangat drastis sekali. Kalau hari biasa dalam seminggu hanya mengirim 500 kg – 1 ton, sekarang ini seminggu full permintaan. Dalam kurun sejak awal Januari ini pengiriman sudah sekitar 12 ton,” ungkap Edi Purwanto Manager kebun buah naga Kusumo Wanadri, Rabu (26/1).

Meski permintaan melonjak, tapi harga yang dipatok tetap sama dan tidak dinaikkan. Harganya berkisar antara Rp 25.000 – Rp 33.000 per kg tergantung dari jenis. Menurut Edi, setiap mendekati imlek permintaan terhadap buah cantik berwarna merah tersebut memang selalu melonjak. Bahkan pernah juga sampai kuwalahan dan tidak mampu memenuhinya.

“Pernah juga tidak bisa memenuhi karena permintaan lebih besar dari produksi kami. Sehingga pengembangan sangat mungkin dilakukan,” katanya.

Saat ini lahan kebun buah naga Kusumo Wanadri yang juga dijadikan sebagai kebun agrowisata itu seluas 3,5 hektar (ha). Setiap hektar terdapat 1.500 tiang tanaman. Untuk pengembangan produksi, dilakukan kerjasama dengan petani binaan yang antara lain ada di Turi (Sleman), Sukoharjo, dan Banjarnegara. Sementara di luar Jawa juga dikembangkan di Aceh, Lombok, dan direncanakan di Papua.

“Untuk pengembangan produksi ini kami juga memproduksi bibit. Saat ini kami konsentrasikan untuk pengembangan di Papua yang bulan ini ada permintaan bibit untuk 10 hektar lahan,” jelasnya. Buah naga yang ada di kebun Kusomo Wanadri sendiri ada tujuh jenis, terdiri dari enam jenis yang berwarna merah dan satu jenis berwarna putih.

Salah satu karyawan di kebun Kusumo Wanadri, Basar, menambahkan, buah naga bisa mulai berbuah usia 6-9 bulan setelah penanaman bibit. Dalam satu tahun bisa berbuah terus menerus selama delapan bulan, yakni dari September hingga Mei. Dalam kurun produktif itu setiap tiang (5-6 batang tanaman) mampu menghasilkan 150 – 200 kg buah.

“Panen rayanya, saat buahnya paling banyak di bulan Desember sampai Januari, tapi bisa terus berbuah selama delapan bulan,” ungkapnya.

Agrobisnis buah naga yang dinilai prospektif membuat bisnis ini banyak dilirik pelaku usaha. Seperti Niko Sutrisna yang berniat mengembangkan kebun buah naga seluas 2,5 hektar di Jakarta. Semula dia bergerak pada perkebunan kayu jati dengan bendera PT Kindai Maru. Melihat karakteristik tanaman buah naga yang hampir sama dengan jati, yakni mudah hidup di lahan kritis, dia pun tertarik mengembangkan.

“Saya tertarik karena tanaman buah naga tahan banting bisa dibudidaya di lahan kritis, nilai ekonomis tinggi, dan pasar masih terbuka. Selain itu juga lebih cepat dari jati, dari kalkulasi setahun bisa balik modal,” ujarnya di sela menerima pelatihan di kebun Kusumo Wanadri. -cahpesisiran, utk suara merdeka-

Warga Menoreh Usung Hasil Bumi

Gelar Bersih Dusun Saparan


Langit sedikit mendung menambah eksotisme Dusun Sokomoyo di Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo yang berada di Pegunungan Menoreh, Kulonprogo. Masyarakat berduyun-duyun berkumpul ke dalem pedukuhan (balai dusun) dengan mengenakan pakaian adat Jawa dan mengusung jolen (tandu) berisikan aneka hasil bumi.

Nuansa tradisi dan kebersamaan antar warga terlihat begitu kental. Mereka menggelar upacara adat yang telah turun-temurun dilakukan yakni Bersih Dusun Saparan, Minggu (23/1). Acara diawali dengan berkumpulnya warga dari 13 rukun tetangga (RT) di balai dusun.

Masing-masing RT mengusung jolen berisi hasil bumi seperti sayuran, buah-buahan, dan palawija. Selain itu juga hasil olahannya baik berupa nasi tumpeng, golong, ingkung, jenang, jajan pasar, dan makanan tradisional lainnya.

Setelah berkumpul iring-iringan bergodo (pasukan) dari seluruh RT itu kemudian dilepas pemangku adat untuk melakukan kirab. Menempuh jarak sekitar dua kilometer melewati tempat-tempat keramat dan berakhir di pendopo joglo peninggalan sesepuh desa yang bernama Jogo Setiko.

“Dengan bersih dusun ini warga memohon pada Tuhan agar dilindungi dan mendapat ridho agar tenteram dan aman. Apa yang diharapkan warga bisa tercapai. Ini dilaksanakan setiap tahun di bulan Sapar, biasanya mengambil hari Minggu Legi pada kalender Jawa,” kata pemangku adat, Lebuh Prayitno, yang juga ketua desa binaan budaya Jatimulyo.

Menurut Prayitno, tradisi bersih dusun itu bermula sejak tahun 1911 saat wilayah desa itu terkena pagebluk atau malapetaka adanya wabah penyakit yang menyebabkan banyak kematian. Sehingga sesepuh atau lurah desa waktu itu yakni Jogo Setiko melakukan permohonan pada Tuhan dengan mengarak hasil bumi.

“Setelah itu tidak terjadi pagebluk lagi, masyarakat menjadi tenteram. Tradisi itu kemudian diteruskan sampai sekarang,” ungkap Prayitno yang juga Kabag Pembangunan Desa Jatimulyo.

Setelah arak-arakan bregodo sampai di halaman pendopo joglo, kemudian dilakukan doa bersama yang diikuti seluruh warga. Jolen-jolen yang berisi hasil bumi dan aneka olahannya kemudian dibuka dan seluruh warga masyarakat melakukan makan bersama atau kembul bujana.

Dalam arak-arakan itu juga ditampilkan berbagai kesenian yang berkembang dan masih dilestarikan masyarakat Sokomoyo. Seperti jatilan, ndolalak, reog sureng, sholawatan, dan rebana. Sedangkan pada malam harinya digelar pertunjukan wayang kulit dengan dalang warga setempat.

Camat Girimulyo, Sumiran, yang menghadiri acara itu mengatakan, mendukung kegiatan seni budaya yang diselenggarakan oleh masyarakat. Kegiatan-kegiatan seperti itu bisa mendukung upaya pelestarian seni budaya dan tradisi yang dimiliki masyarakat. Selain itu, dengan pengemasan yang baik juga menjadi pendukung pengembangan pariwisata.

“Desa Jatimulyo termasuk desa budaya yang bahkan mewakili Kulonprogo maju ke tingkat provinsi DIY. Arah ke depan, seni budaya yang berkembang di sini bisa menjadi pendukung obyek wisata Goa Kiskendo yang juga ada desa ini,” tandasnya. -cahpesisiran ~utk suara merdeka-