Tuesday, October 28, 2008

Theme song film animasi dan seorang sahabat

Theme song sebuah film animasi membuatku teringat pada seorang sahabat. Seorang sahabat yang biasa memanggilku om. “Untuk mengingatkan janjimu pada keponakan, menjenguknya,” katamu. Ok deh, maka kupanggil juga kamu dengan panggilan tante. Setahun labih kita berbeda kota, intensitas komunikasipun berkurang. Tapi aku tak mungkin melupakanmu sobat. Tentu saja, seperti dulu pernah kukatakan padamu. “Aku tak kan pernah lupa. Suatu saat waktu aku liputan dan kelaperan, ada seorang wartawan sebuah koran harian yang memberikanku rotinya dan air mineral,”
Ciee so sweet.. (hueks hueks..)

Ah, tapi kamu pelit. Kenapa cuma memberiku air mineral. Kenapa bukan pepsi, coca-cola, atau apa lah yang lebih segar??!! Haha, tentu saja cuma becanda.
Walaupun cuma (bukan “cuma” tepatnya) roti dan air mineral, tapi itu sangat berarti bagiku sobat.

Bukan semata-mata cerita kecil itu sobat, tapi banyak hal. Sungguh, aku tak kan lupa persahabatan kita. Walaupun tak pernah terucap diantara kita bahwa kita bersahabat.

Tetaplah tersenyum dan ceria sobat! Seperti biasa dulu aku melihatmu.
Seperti banyak keceriaan dalam film animasi itu, yang dulu menjadi favoritmu.

Monday, October 27, 2008

Aweh Tulada ing Blumbang Koi Arwana





Semula kuli bangunan, kini sukses membudidayakan koi dan arwana. Asetnya tak kurang Rp 3 miliar. Untuk pertama kali ikan koi lokal bisa masuk majalah Jepang. Berhasil budidayakan arwana di Jawa.

~~~


HAMPARAN petak-petak kolam dengan angin sepoi menjadi sesuatu yang menyegarkan saat saya menyusuri jalan setapak diantara petak-petak tersebut. Sore itu langkah kaki memang membawa saya ke areal kolam di sekitar persawahan pinggiran Yogyakarta.

Di salah satu sudut kolam, seorang lelaki sedang memberikan pakan pada sekelompok ikan yang didominasi warna merah, hitam dan putih. Dialah Santoso, pembudidaya ikan koi dan arwana yang sukses di Blendangan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Kini luas lahan pembudidayaannya mencapai 1,2 hektar dengan total aset kurang lebih Rp 3 milyar.

Sebelumnya, Santoso tidak mempunyai pekerjaan tetap selain sebagai kuli bangunan. Penghasilannya dirasa tak mencukupi, sehingga awal 1997 ayah tiga orang anak ini mencoba membuat kolam untuk membudidaya ikan. Santoso pun harus bekerja keras untuk memulai usahanya. “Bikin kolam saja dikerjakan sendiri. Pagi nyangkul, jam setengah delapan berangkat ke proyek menjadi kuli bangunan. Sore nyangkul lagi untuk melanjutkan bikin kolam,” kata kelahiran 1970 tersebut.

Tetapi Santoso tetap bertekad meneruskan usahanya. Tidak mempunyai keahlian yang lain justru membuatnya termotivasi memulai usaha membudidaya ikan. “Karena kalau saya tidak bekerja tidak bisa makan. Dan kebetulan keluarga saya keluarga tidak mampu. Sehingga saya tidak mungkin mengandalkan orang tua. Jadi bener-bener ikan itu satu-satunya sumber penghidupan saya. Istilahnya saya makan seadanya. Sedangkan untuk beli pakan ikan, kalau ada sisa ya dibelikan, kalau tidak ada ya dicarikan lumut atau apa. Pokoknya waktu itu bener-bener prihatin,” kenangnya.

Untuk memulai, Santoso memerlukan modal Rp 300 ribu guna membeli bibit nila merah. Ia pun meminjam pada orang tuanya. Ternyata Santoso berhasil membesarkan bibit nila merah yang ia beli. “Dalam 3 bulan rata-rata berat ikan bisa dua sampai tiga ons per ekor. “Waktu itu di Yogya baru saya yang bisa melakukan pembesaran jenis ikan itu,” tuturnya. Pada waktu itu, nila merah masih dalam tahap diteliti mengenai pertumbuhannya.

momen yang tepat
Santoso pun mendapatkan moment yang tepat. Waktu itu petambak udang dan bandeng sedang kolaps karena serangan virus. Sehingga petani tambak di Juwana Pati mengambil bibit nila merah darinya. “Pertama kali saya mengirim 40 ribu ekor bibit nila merah, kemudian rutin tiap minggu supply ke sana,” paparnya saat ditemui di kolam pembudidayaannya.

Dari situ Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman menganggap Santoso sebagai petani muda yang berhasil. Tapi setelah dihitung-hitung dengan kerja kerasnya, ternyata penghasilan yang ia peroleh tidak sebanding. “Dari nilai nominalnya, keuntungan berbisnis ikan nila merah waktu itu belum menjanjikan. Istilahnya jeneng entuk jenang ra entuk, dapat nama tapi penghasilannya pas-pasan,” ungkapnya.

Akhirnya Santoso mencoba melirik membudidayakan ikan hias. Pilihannya jatuh pada ikan koi. Membudidaya ikan hias jenis ini pun ia bermodal tekad karena belum mempunyai latar belakang pengetahuan tentang budidayanya. “Kalau latar belakangnya justru agak sedikit mistis karena saya sering mimpi. Lebih dari tujuh kali melihat ikan warna-warni. Ikannya banyak, warnanya merah hitam, putih,” ujarnya.

“Dan sampai saya memelihara ikan nila pertama kali, belum pernah melihat koi. Saya melihat koi baru tahun 1997 awal, waktu jalan-jalan di Pasar Ngasem. Saya melihat ikan koi dan merasa kok seperti yang ada dalam mimpi saya,” tambah Santoso.

Dari situ kemudian pertengahan 1998 Santoso mencoba memelihara koi untuk dibudidayakan. “Pertama kali bibit beli dari pedagang dari Tulungagung yang mangkal di sekitar RRI. Saya membeli tiga ekor seharga Rp 260 ribu. Dulu uang sejumlah itu banyak sekali bagi saya, bahkan harus saya angsur dua kali membayar,” kenangnya.

Ketiga ikan itu ternyata betina semua, tanpa pejantan. Setelah membaca buku dan bertanya kiri-kanan, barulah ia bisa membedakan jantan dan betina. “Kemudian saya bisa menelurkan atau memijahkan ikan koi,” ungkapnya.

Enam bulan kemudian, pada 1999, Santoso sudah berhasil membudidaya koi dalam jumlah cukup banyak. Kualitasnya belum bagus. “Tapi saya yakin segala sesuatu kalau dikerjakan secara sungguh-sungguh pasti akan menghasilkan yang terbaik,” katanya bersemangat.

juara lomba
Tahun 2001, Santoso mencoba ikut lomba di Blitar yang kondang sebagai kota pusatnya koi. Ternyata ikan ternakan yang ia bawa bisa meraih juara dua. Keberhasilan itu memberi semangat yang luar biasa bagi Santoso. Karena yang tadinya ia dianggap tidak tahu tentang ikan dan masih terlalu muda untuk main koi, ternyata bisa meraih juara di tempat yang terkenal sebagai sumbernya ikan koi. “Dari situ saya yakin bahwa penilaian saya ke koi sudah mendekati kebenaran, sehingga saya fokus untuk ke koi terus,” kata Santoso yang kemudian menjadi Ketua Koi Club Yogyakarta dari tahun 2001 hingga sekarang.

Dua tahun kemudian, Santoso ikut lomba di TMII, Jakarta. Ia membawa tiga ekor koi. Ternyata ia tidak bisa masuk sebagai peserta. Padahal, “Kalau lomba di Blitar saya asal membawa ikan. Kebetulan pula ada kenalan, jadi saya bisa ikut,” katanya.

Akhirnya Santoso hanya jadi penonton. Itu pun cuma bisa mengintip dari pintu. “Mengintip di pintu satu hari. Saya cuma ingin tahu bagaimana caranya memilih ikan koi yang baik. Karena, selain peserta, tidak boleh masuk,” ujar Santoso sembari mengenang pengalamannya.

Sepanjang tahun 2001 - 2004, Santoso mengaku, banyak menghadapi kendala penyakit koi. Namun, ia tidak menyerah. Waktu itu, ikan lou han sedang jaya-jayanya. “Tapi saya tidak beralih ke lou han, karena saya orangnya sangat fanatik dengan satu bidang. Saya tidak mau mencoba bidang yang lain sebelum yang saya tekuni maksimal,” ujar Santoso dengan tegas.

raih penghargaan presiden
Santoso pun terus berusaha mengembangkan kualitas budidaya koinya. Akhirnya tahun 2004 ia berhasil menyabet juara satu tingkat nasional dan diundang Presiden SBY ke istana untuk menerima penghargaan. “Tahun 2004 saya banyak perkembangan, ikan peternakan saya bisa juara best incest dengan jenis Showa Sanshoku (tiga warna). Dan itu pertama kali ikan lokal yang bisa masuk majalah Jepang. (Best incest = ikan yang terbaik diantara yang terbaik).

Sejak itu nama Santoso banyak dikenal. Bahkan ia bisa masuk di organisasi APKI (Asosiasi Pecinta Koi Indonesia ). Sekarang ia duduk sebagai pengurus sebagai salah satu anggota litbang. “Dari dulu saya ingin dari Yogya ada koi yang bisa dilihat oleh luar daerah. Akhirnya saya bisa mewujudkannya. Setiap lomba APKI pasti ada Jogja Koi Club dan ada Santoso. Satu hal yang saya syukuri,” katanya.

Lelaki yang berpenampilan sederhana ini, menambahkan, “Dan mungkin sayalah satu-satunya kulit hitam (pribumi –red) dari Yogya yang bisa masuk APKI. Bahkan pribumi yang duduk di APKI sepertinya hanya dua orang, saya dan orang Blitar.

dari kolam 300 meterpersegi hingga 1,2 hektar
Pada waktu pertama kali memulai budidaya ikan, kolam Santoso hanya seluas sekitar 300 meter persegi di tanahnya sendiri. Sejak tahun 2000 ia bertahap memperluas kolamnya dengan menyewa tanah kas desa. Kini keseluruhan kolamnya seluas 1,2 hektar. Jumlah karyawan tetapnya enam orang, dan tujuh orang lainnya buruh upahan pencari katak hijau.

Produksinya selain dipasarkan di DIY juga ke Jakarta, Iawa Barat, dan Jawa Tengah. Jenis koi yang dibudidaya Santoso antara lain Showa Sanshoku, Taisho Sanshoku, dan Kohaku. Tahun 2005, ia pernah membudidayakan jenis Kojaku yang sekualitas dengan ikan koi dari Jepang. Tapi sayang indukan itu mati waktu ditinggal pameran di Bali. “Dan sampai sekarang belum bisa mendapatkan indukan dengan kualitas sebagus itu,” ujar Santoso dengan rasa menyesal.

pembudidaya arwana pertama di Jawa
Meski telah berjalan dengan pasar yang pasti, namun Santoso tidak berhanti sampai disitu. Tahun 2005 ia mengembangkan usahanya dengan memulai membudidayakan arwana.

Untuk mulai membudidayakan arwana sebenarnya bukan hal yang mudah. Pasalnya, banyak yang meyakini arwana tidak bisa dibudidayakan di Pulau Jawa. “Katanya arwana tidak bisa diternak di Pulau Jawa. Makanya saya membuktikan, saya coba dan ternyata bisa,” kata Santoso. Bahkan sekarang aset Santoso malah lebih banyak arwana daripada koi. Jika dipilah, aset arwana mendekati Rp 2 miliar, dan aset koi masih kurang dari Rp 1 miliar.

Asset arwana bisa lebih besar karena pasar arwana hampir seperti barang konsumsi. “Jadi kita punya barang berapapun tetap laku dengan harga rata-rata. Kebetulan yang kita jual ukuran 5 cm, per ekor Rp 30 ribu. Jadi kalau saya punya 3 atau 4 ribu ekor per bulan itu langsung laku semua,” paparnya. Pemasarannya sudah di kontrak, dikirim ke Jakarta dan Semarang.

Lain halnya dengan koi yang mengalami beberapa tahapan. Seleksi awal, Santoso sudah membuang banyak ikan afkiran. Dari 40 ribu anakan, yang masuk kategori ada warnanya sekitar 2000 – 3000 ekor. Otomatis yang 30 ribu lebih menjadi afkiran dan dijual kiloan waktu kecil. Dari 2000 – 3000 tersebut, yang kategori bagus sebanyak 400 – 500 ekor. Dan dari jumlah itu, yang berkualitas lomba/kontes belum tentu 3 atau 4 ekor.

“Itu kenapa koi untuk berkembang sangat lambat, karena memang sangat sulit prosesnya. Tapi disisi lain, kenikmatan peternak koi tidak bisa dibandingkan dengan beternak ikan yang lain. Karena ketika ada ikan yang sangat bagus menjadi kepuasan tersendiri. Tidak hanya menilai uangnya, tapi keberhasilan bisa menghasilkan ikan koi dengan warna-warna yang bagus itu menjadi semangat yang luar bisaa,” jelas Santoso.

kendala dan keberhasilan
Menurut Santoso, kendala dalam budidaya arwana adalah keterbatasan lahan. “Padahal kebutuhan pasar masih luas, tapi lahan sudah terbatas. Saya sedang melirik ke lokasi lain yang barangkali juga bisa untuk arwana,” katanya.

Permintaan pasar untuk arwana, kata Santoso, per bulan hampir 10 ribu ekor. Pada tahun ini maksimal ia baru bisa memenuhi 6 ribu ekor per bulan. Sedangkan untuk koi, produksinya bisa sampai 100 ribu ekor per bulan, tapi yang layak jual hanya 300 – 400 ekor.

Kendala lain adalah harga pakan untuk koi yang terus meningkat. “Dalam satu tahun ini naik sekitar 80 %. Selama enam bulan terakhir naik dari Rp 8 ribu per kilogram sekarang sampai Rp 13.600 per kg untuk eceran. Tapi kalau saya, beli dari pabrik,” papar Santoso.

Sementara itu, untuk arwana, karena makanan alaminya katak sawah, kendala pakan terjadi saat musim kemarau. “Kebutuhan sehari 21 kg katak sawah. Kalau kemarau hanya bisa mendapat 9 – 10 kg. Jadi harus beli nila atau bawal untuk dicincang,” tambahnya.

Dalam hal penyakit, arwana tidak ada kendala. Berbeda pada koi. Tapi, karena sudah 10 tahun membudidayakan koi, Santoso mengaku paham betul treatment-treatment khusus agar koi tidak terkena penyakit.

Pernah, gara-gara penyakit yang menyerang koi, Santoso gagal menjalin kontrak pemesanan dari Jerman. Sebelumnya ia telah berhasil menembus pasar ke negara tersebut, tahun 2000. Tahun 2002 ada penyakit KHV (koi herpers virus) menyerang Indonesia, dan kontrak pun dibatalkan.

Prospek usahanya, menurut Santoso, masih bagus. Karena dua jenis ikan hias legendaris ini harganya stabil dan tidak terlalu fluktuatif. Berbeda dengan jenis ikan hias lain, seperti lou han yang harganya tinggi, tapi kemudian jatuh setelah booming.

Bahkan dalam kondisi ekonomi kurang baik pun tidak begitu berpengaruh. “Kebetulan koi dan arwana identik sebagai hobi kalangan atas. Jadi, meski ada pengurangan pemasaran akibat kondisi ekonomi, tidak terlalu terasa,” kata Santoso, yang belum lama ini ditawari dua investor untuk bekerja sama. Yaitu, mendirikan rumah makan ikan di kawasan kolam budidayanya.

Persaingan pun tidak jadi kendala. Sebab, di Yogya belum ada pelaku usaha pembudidayaan arwana. “Kalau koi sudah banyak. Tapi petani yang khusus koi hanya saya. Pedagang yang ambil koi dari Blitar juga banyak, tapi saya malah senang, karena bisa beradu di kualitas. Makin ramai pemain, justru makin besar peluang kita,” kata pria kelahiran Yogyakarta ini.

berdampak positif
Keberhasilan usaha Santoso pun berdampak positif terhadap lingkungan sekitar. Paling tidak ada 12–13 orang yang hidup dari usaha pembudidayaan koi dan arwananya, yang tergabung dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Karya.

Selain itu, Santoso juga memberi pelatihan keterampilan bagi peserta yang dikirim periodik oleh balai pelatihan keterampilan setempat. Berkat sukses Santoso, harga tanah di sekitar kawasan kolam budidayanya pun terangkat naik cukup tinggi. Dari harga Rp 25 ribu per meter pada 2001, kini melejit menjadi Rp 250 ribu per meter. –cahpesisiran, utk majalah saudagar-

Saturday, October 25, 2008

sisa hujan semalam



hujan semalam masih menyisakan basah di tanah
angin pun terasa dingin
karena mentari belum memancarkan sinarnya pagi ini
masih bertiraikan awan tipis kelabu

yah, langit memang kelabu pagi ini
tapi tidak selamanya warna itu membawa kesedihan

toh pagi ini begitu indah bagiku
angin dingin berhembus sepoi
membawa aroma tanah yang masih basah
simfoni lembut gesek dedaunan di halaman
terdengar lebih indah dari lagu apa pun

seraut wajah
membayangiku dengan senyum manisnya
ah.. pagi kelabu ini benar-benar indah

-terinspirasi seorang sahabat di kendari-

Wednesday, October 22, 2008

Sindoro Sumbing

Selayak dewa dewi berdiri gagah dan anggun
puncak-puncakmu senantiasa menyapa awan
kaki-kakimu membentang luas
memberi penghidupan bagi para petani
tembakau cengkeh palawija sayuran buah-buahan

kembali
terpukau kumenatapmu

biarlah rangkaian kata-kata ini
menjadi rangkaian kata salon
yang hanya berucap tentang keindahanmu

karena bagiku
kau bukanlah sekedar
tapi kau adalah nyata keindahan

ijinkan aku suatu saat nanti
kembali membelai batuan terjalmu
di malam berbintang dan pagi berkabut

kembali menatap senyum mentari fajar
bersama indah sunyi kawahmu
suatu saat nanti

-Temanggung, Oktober 2008-

Sunday, October 19, 2008

Klarap was here


~~~

Klarap, meski tidak termasuk binatang langka, tapi mungkin jarang orang bisa melihat dari dekat wujud hewan yang satu ini. Kebetulan, kemarin sore aku melihat binatang merayap serupa cicak yang memiliki “sayap” itu bertengger di salah satu dahan pohon rambutan belakang kantor. Pekarangan belakang kantor adalah hutan kecil bagiku. Karena, disana tumbuh pohon rambutan dan dua pohon mangga yang cukup rimbun. Ditambah keberadaan pohon mindi besar yang teduh di pekarangan tetangga serta bermacam pepohonan lain, maka lengkaplah hutan kecil itu sebagai tempat untuk melepas penat.

Tak heran jika hutan kecil yang berada di tengah perkotaan itu juga menjadi “terminal” bagi berbagai binatang. Tupai, kumbang, kupu-kupu, hingga berbagai jenis burung setiap hari selalu “mangkal” di sana. Nah sore kemarin, sepasang klarap terlihat mampir juga di sana. Langsung deh kuambil kamera. Sekedar ingin mengabadikan bahwa mereka pernah berkunjung, sehingga mereka tidak perlu menggoreskan kalimat “Klaraps were here” di salah satu ranting pohon rambutan.

Penasaran dengan binatang ini, maka setelah bertanya kepada mbah google dan pak lek wikipedia, akhirnya ku ketahui riwayatnya.

Menurut pak lek wiki, klarap atau cecak terbang adalah sejenis reptile yang termasuk ke dalam suku (familia) Agamidae. Kadal lain yang masih sesuku adalah bunglon dan soa-soa (Hydrosaurus spp.). Cecak terbang sesungguhnya tidak termasuk kerabat dekat cecak seperti halnya tokek (suku Gekkonidae).

Kadal ini dikenal dengan nama ilmiah Draco volans Linnaeus, 1758. Nama lokalnya di antaranya adalah cekibar (Betawi), hap-hap (Sunda), dan celeret gombel atau klarap (Jawa). Dalam bahasa Inggris disebut flying lizards atau flying dragon. Hewan ini menyebar mulai dari Thailand dan Semenanjung Malaya di barat; Kepulauan Filipina di utara; Sumatra, Mentawai, Riau, Natuna, Borneo, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga Maluku di timur.



ciri-ciri

Kadal yang berukuran agak kecil, panjang total hingga 200 mm. Patagium (‘sayap’) berupa perpanjangan enam pasang tulang rusuk yang diliputi kulit. Sisi atas patagium dengan warna kuning hingga jingga, berbercak hitam. Sisi bawah abu-abu kekuningan, dengan totol-totol hitam.


Kepala berbingkul-bingkul, bersegi-segi dan berkerinyut seperti kakek-kakek; dengan kantung dagu berwarna kuning (jantan) atau biru cerah (betina), dan sepasang sibir kulit di kiri kanan leher. Rigi mahkota kecil, terletak di sisi belakang kepala. Mata khas kadal agamid, dengan pelupuk tebal menonjol. Binatang ini memiliki ekor sekitar 1½ kali panjang tubuh; berbelang-belang di ujung, dengan sisik-sisik yang berlunas kuat menjadikannya nampak bersegi-segi.


kebiasaan

Klarap biasa didapati di pekarangan, kebun, hutan sekunder. Kerap kali hewan ini teramati sedang berburu serangga di pepagan hingga ke cabang-cabang pohon. Terkadang klarap/cekibar berpindah tempat dengan cara ‘terbang’, yakni meloncat dan melayang dari satu pohon ke lain pohon.

Pada musim kawin, kerap dijumpai beberapa ekor jantan berkejaran dengan betinanya di satu pohon yang sama. Menyimpan telur di dalam tanah gembur atau humus di dekat pangkal pohon; betinanya menggali tanah dengan menggunakan moncong.

Itulah kata pak lek wiki..

Dan setelah jeprat-jepret (walaupun fokusnya kadang agak meleset), akhirnya aku mempunyai salinan abadi senyum kedua klarap itu (yg ku upload hanya salah satu). Tapi ada yang kurang. Sebab, aku belum mendapat salinan aksinya merentangkan selaput di lehernya yang berwarna kuning cerah hingga membentuk segitiga. Dan setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya dapat juga. Ini dia salinannya:



Foto-foto diambil di: Samirono, Sleman, Yogyakarta. 2008.

(untuk memperbesar tampilan, klik di foto)


Friday, October 10, 2008

Kepiting dan Rahasia Tuhan

~~~

Seiring pendar semburat jingga, langkahku terarah ke suatu pantai berpasir luas terhampar. Seorang gadis tengah duduk beralaskan pasir diteduhi daun nyiur yang tak berhenti melambai pelan bersama hembusan angin. Ia pandangi lautan bergelombang membiru. Di tepian, air tak pernah bosan mendatangi butir-butir pasir. Mengajaknya bermain bersama ikan-ikan dan kepiting-kepiting kecil yang entah mengapa selalu berjalan dan berlari menyamping. Mungkin, hanya Tuhan yang tau jawaban mengapa kepiting-kepiting kecil itu selalu berjalan menyamping.

Matahari tinggal menampakkan separuh wajahnya yang merona jingga di garis cakrawala pertemuan langit dan laut. Separuh lagi wajahnya telah tersembunyi seolah menyelam di kedalaman samudera jauh di depan sana. Namun mentari pun belum benar-benar ingin berpisah dengan awan dan langit. Masih ia tinggalkan cahaya yang memberi warna jingga kemerahan berpendar bagi langit dan awan. Menjadikan langit jingga sebagai kubah luas tak berbatas bagi air, bagi hamparan pasir, bagi kepiting kecil. (Ah, kepiting-kepiting kecil itu masih selalu berjalan menyamping). Menjadi kubah bagi semua yang ada di bawahnya.

Gadis itu masih duduk di sana. Bersama tenang suara alam dan gemuruh ombak, ia senandungkan harmoni keindahan dalam jiwanya, meski ada perih. Rambut panjang lurusnya dibiarkan terurai menyambut sapaan angin yang bertiup pelan. Membuatnya sedikit terangkat dari bahunya. Entah angin apa membawaku mendekatinya. Aku pun duduk tak begitu jauh darinya. Aku telah mengenal dia, pun dia telah mengenalku.

Aku tak tau kapan pernah bertemu dia, juga tak tau kapan pernah berbincang dengannya. Bahkan, aku tak tau sejak kapan mulai mengenalnya. Karena, baru kali itu aku bertemu dengannya.

-kepiting kecil dan rahasia Tuhan-

cahpesisiran, Solo 2004 ~ re edit Yogya 2008

Tren Berinvestasi Pada Lukisan

Kecenderungan berinvestasi pada lukisan berkembang. Ada lukisan kolektor yang dihargai 15 kali lipat, tapi tak dilepas. Karya pelukis-pelukis muda banyak diburu.


BANYAK orang yang tak paham seni. Atau, bisa pula disebut gagap seni alias terkaget-kaget melihat seni dihargai sangat tinggi. Lukisan para pelukis ternama seperti Vincent Van Gogh dari Belanda, atau Basuki Abdullah di Indonesia, misalnya, memiliki nilai ekonomi tinggi.

Di kota budaya Yogyakarta, seni lukis mendapat tempat khusus. Dari mulai pelukis jalanan yang ada di kawasan Malioboro, di sekitar kampus Universitas Gadjah Mada, hingga pelukis-pelukis profesional yang berkarya di sanggar masing-masing. Kehadiran mereka ini, tentu tidak terlepaskan dari maraknya galeri seni, yang selain memajang lukisan juga tumbuh laiknya pasar.

Seperti Galeri Biasa, yang empat bulan sekali menggelar pameran karya pelukis profesional. Jika ada lukisan terjual, galeri mendapat 30%. ”Harganya ditentukan sendiri oleh pelukis yang bersangkutan,” ujar pemilik Galeri Biasa Daniel Ito. Harga lukisan yang dipajang di galerinya berkisar antara Rp 10 juta hingga ratusan juta rupiah.

Pembeli lukisan tak hanya dinikmati sendiri. Direktur Eksekutif Jogja Gallery Indro ”Kimpling” Suseno menyebut berinvestasi lewat lukisan kian marak dewasa ini. Investasi lukisan itu berawal dari cinta lukisan. ”Lalu tumbuh menjadi bisnis. Seperti banyak galeri di Jakarta dan Bali,” ujar Indro. Banyaknya kolektor lukisan dari Jakarta, Bandung, Yogya, Bali, Surabaya, Magelang, Temanggung, dan Semarang juga menyemarakkan bisnis lukisan.

Srisasanti Gallery termasuk galeri yang membeli lukisan untuk dijual lagi kepada kolektor. General Manager Srisasanti Gallery Devie Triasari mengakui sudah ratusan karya yang dibeli. ”Lalu dipamerkan, jika ada yang tertarik bisa langsung dibeli,” katanya yang menyebut kisaran harga belasan juta hingga puluhan juta rupiah untuk satu lukisan.

Koleksi itu dijual untuk mencari keuntungan? “Operasional galeri dari mana kalau bukan dari penjualan? Kami tidak munafik memang mengambil profit. Yang jelas kami tidak memasang harga gila-gilaan dan selalu transparan dengan senimannya,” klaim Devie. Banyak juga pandangan negatif terhadap karya seni yang diprofitkan. Tapi, menurut Devie, pihaknya tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan sebagai ajang promosi bagi para seniman.

Wanita berkaca mata ini menyebutkan bahwa sang kolektor tidak hanya dari Indonesia. Juga dari Jerman, Korea, dan Jepang. Sedangkan kolektor lokal hampir semua dari Jawa. Seperti dari Yogya, Jakarta, Surabaya, dan Magelang.

Sebuah lukisan berharga tinggi, kata Indro, karena berbagai faktor. Selain proses kreatif dari pelukis, ide orisinil, inovasi, dan konsepnya, juga faktor tren situasional di masyarakat, serta tren pasar. “Dipengaruhi juga oleh tren di luar negeri, seperti China dan Eropa. Dan kita lebih banyak dipengaruhi tren di kawasan Asia,” katanya.

Lebih jauh, Indro menyebut, harga lukisan bermacam-macam. “Sebagai contoh karya Putu Sutawijaya dilelang di Jakarta bisa sampai Rp 1 miliar lebih. Kalau kelas pemula berkisar antara Rp 2-5 juta,” imbuh lelaki 46 tahun ini.Harga barang seni memang kadang di luar logika.

Pertimbangan mengkoleksi lukisan bermacam-macam. “Tapi yang jelas, bagaimana ruh lukisan itu memiliki frekuensi yang sama dengan kondisi kita pada suatu saat tertentu. Yang membuat kita tersentuh dan memiliki gerakan emosional yang kadang di luar logika dan menimbulkan rasa suka yang berlebih. Dari situlah timbul keinginan untuk mengoleksi,” ungkap Indro yang juga hobi mengoleksi lukisan realis dan surealis.

Seorang kolektor, Rahadi Saptata Abra, mengaku tertarik mengoleksi karena memang suka. “Dulu saya pernah dibilang gila sama teman-teman waktu masih kuliah, karena membeli lukisan seharga Rp 500 ribu tahun 1995. Itu pertama kalinya saya membeli lukisan. Saya jawab sederhana saja, karena saya suka,” kenang lelaki kelahiran Yogyakarta 37 tahun lalu itu.

Pengusaha muda yang menekuni Event Organizer, percetakan, dan rumah makan tersebut biasa mendapatkan lukisan langsung dari seniman, pameran, ataupun tangan kedua. Juga berburu khusus walaupun sedikit, biasanya karya pelukis muda. ”Saya sekarang malah lebih suka lukisan dari pelukis-pelukis muda, walaupun yang lama-lama ada juga. Seperti Hamdan TT, Arya Sucitra, Agus TBR, Ikrar, dan I Made Toris. Karena saya lihat mereka benar-benar bagus, value-nya nampak. Di luar pelukisnya sudah ngetop atau belum, saya lihat banyak potensi,” katanya.

Rentang harga beli koleksi lukisan dia berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 24 juta. Lukisan bernilai tinggi yang dipunyai, seperti, karya Lusia Hartini, Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Joko Gundul, Hamdan TT, Oto Jaya, Bagong Kusudiharjo, dan Amri Yahya. “Karena saya lebih sebagai apresiator, jarang yang harganya terlalu mahal. Artinya saya cukup realistis,” kata Abra yang juga suka mengoleksi keris.

Ayah dua anak tersebut mengaku mengoleksi lukisan sekaligus berinvestasi. “Memang ada pemikiran untuk investasi. Bagi saya selain mengapresiasi seni, juga ada unsur investasi dan rekreasinya,” ungkap sosok yang punya koleksi tak kurang 100 buah lukisan itu.

Bagaimana dengan target keuntungan? “Kalau ngomong target, minimal tidak rugi. Kalau rugi mending saya simpan,” ujar Abra yang mengaku ada beberapa koleksi lukisannya yang ditawar sampai limabelas kali lipat tapi tidak dilepas. ”Saya suka lukisan itu,” ucapnya santai. “Ada yang dulu beli Rp 500 ribu ditawar Rp 7 juta, beli Rp 1 juta ditawar Rp 15 juta, dan beli Rp 10 juta ditawar Rp 50 juta,” tambahnya.

Lain halnya dengan Joko Sutrisno, 40 tahun, yang mencoba berinvestasi pada lukisan dengan membeli karya teman-teman pelukisnya kemudian di display melalui media internet bersama temannya. “Tapi kita memberi harga lukisan sesuai dengan kualitas. Tidak terlalu rendah asal laku. Kita menghargai nilai rasa dari suatu karya pelukis,” ungkap Joko yang juga seorang pelukis tersebut.

Lelaki kelahiran Surakarta itu sering dapat pesanan melukis wajah bekerja sama dengan kios lukisan dan pigura di sekitar kampus UGM. “Biasa terima pesanan lukis wajah dengan gaya karikatur,” ungkap Joko yang rata-rata menerima lima hingga sepuluh pesanan dalam sebulan. Harga lukisan wajah bervariasi antara Rp 150 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung tingkat kesulitan, media, dan ukuran.

Sementara Sutarno mematok harga antara Rp 70 ribu hingga Rp 2 juta untuk lukisan wajah. Sosok 31 tahun ini menjadikan usaha lukis wajah sebagai sambilan di samping pekerjaannya sebagai guru kesenian pada dua sekolah di Yogyakarta. Dia juga tetap melukis dengan beraliran surealis. “Melukis menjadi kebutuhan batin bagi saya,” ungkap alumni pendidikan kesenian UNY tahun 2004 tersebut. Karya-karyanya pun sering dipajang di galeri. Namun Sutarno lebih suka “memasarkan” karyanya langsung ke customer. “Di galeri jarang laku, lebih banyak yang langsung dengan customer,” tambahnya.

Indro melihat maraknya bisnis lukisan sebagai suatu peluang tersendiri. “Kalau dampak secara ekonomis, misalnya orang yang punya uang, kalau dulu mungkin menggunakannya untuk plesiran, membeli barang konsumtif, sekarang membeli barang seni. Sehingga ada perputaran ekonomi yang baik di dunia seni. Entah itu hanya sebagai gengsi atau memang suka, tetap kita melihat itu sesuatu yang positif,” pungkasnya. –cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-

Monday, October 06, 2008

kertas kumal dan untaian kata

Untaian kata-kata yang kusalin dalam selambar kertas beberapa tahun lalu kembali menarik hatiku untuk merasapinya lagi. Tak sengaja kutemukan selembar kertas kumal itu beberapa waktu lalu saat membongkar buku-buku dan arsip-arsipku yang sudah cukup lama tak kupedulikan. Entahlah, aku menyukai sekali rangkaian kata-kata itu. Seolah bukan sekedar kata-kata yang dirangkaikan satu dengan yang lain, tapi lebih dari itu. Ada jiwa yang berucap di sana.

...

Tuhan telah menciptakan pada kalian jiwa bersayap untuk terbang mengarungi cakrawala cinta dan kebebasan.
Betapa sedihnya memotong sayap itu dengan tanganmu sendiri dan menyiksa jiwamu seperti kutu yang merayap di atas bumi.

~

Yang penting bagi manusia bukan hasil yang ia dapatkan, tapi apa yang ia inginkan.

~

Ketika kamu menyanyikan keindahan, meskipun di tengah gurun akan ada yang mendengarkan.

~

Keindahan adalah apa yang menarik jiwa,
Kepadanya cinta diberikan dan bukan diminta.

~

Jangan kau kira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun.
Cinta adalah anak kecocokan jiwa dan jika itu tidak pernah ada, cinta tidak akan pernah tercipta dalam hitungan tahun bahkan milenia.

~

Hakekat sifat kita adalah diam, berbicara hanyalah sekedar tambahan.

~

Kebenaran diri seseorang bukan pada apa yang ia nampakkan, tapi pada apa yang tidak dapat ia ungkapkan.
Oleh karena itu, bila engkau ingin mengerti dirinya dengarkanlah bukan apa yang ia katakan, tapi apa yang tidak ia ucapkan.

~

Alangkah jauhnya aku dari orang-orang ketika aku bersamanya, dan alangkah dekatnya ketika mereka jauh.
Mempercayai adalah satu hal, melakukan adalah hal lain. Banyak orang berbicara seperti laut tetapi kehidupan mereka bagaikan rawa-rawa yang diam. Yang lain-lainnya menaikkan kepala mereka mengatasi puncak gunung, sementara jiwa-jiwa mereka menggelantungi dinding-dinding gua yang gelap.

~

Penindasan tidak membuat manusia adil menjadi menderita, juga penindasan tidak menghancurkan manusia bilamana dia berada pada sisi kebenaran.
Socrates tersenyum ketika dia meminum racun, dan Stephen tersenyum ketika dia dirajam. Yang sungguh menyakitkan adalah nurani kita yang pedih ketika kita membantahnya, dan mati ketika kita mengkhianatinya.

~

Jiwa Barat adalah teman kita bila kita menerima dia, tetapi musuh kita bila kita dimabukkannya; teman kita jika kita membuka hati kepadanya, musuh kita ketika kita menyerahkan kepadanya hati-hati kita; teman kita bila kita mengambil dari apa-apa yang menyenangkan kita, musuh kita bila kita biarkan diri kita dipakai untuk menyenangkan dia.

(Kahlil Gibran)