Saturday, April 24, 2010

Tebing Sungai Bertumpuk Sampah

Disulap Jadi Kolam Lele



TEPI Kali Winongo yang sekitar tiga bulan lalu masih berupa tumpukan sampah dan tebing batu padas mampu disulap oleh warga RW 9 Badran, Bumijo, Jetis, Yogyakarta menjadi bersih. Bahkan bisa dimanfaatkan untuk membangun enam petak kolam lele yang dikelola kolektif.

"Dulu tidak terpikir akan jadi seperti ini, karena di sini dulunya gunungan sampah sampai dua meter," ungkap Yatno (38) salah satu warga yang mengelola kolam itu.

Tepian sungai sepanjang sekitar 100 meter itu terlihat bersih, bahkan terasa nyaman dengan pemandangan alam Kali Winongo yang alami. Udara pun terasa sejuk karena pepohonan tumbuh lebat di kanan kiri kali itu. Pembersihan sampah dan perataan lahan untuk kolam dilakukan bergotong royong oleh warga sejak Februari lalu. Lahan seluas 48 m persegi diantaranya dimanfaatkan untuk kolam ikan.

Di enam petak kolam yang masing-masing berukuran 2x4 m itu kini telah terisi ikan lele yang benihnya ditebar awal April lalu. Kolam dikelola bersama dalam kelompok Mina Jaya yang dijalankan oleh 18 warga. Di samping kolam itu dibuat sebuah cakruk (gubug) dari bambu yang biasa digunakan warga untuk berembug.

"Kalau Minggu biasanya cakruk digunakan untuk rembugan membicarakan permasalahan-permasalahan kolam. Juga untuk istirahat yang dapat giliran memberi pakan dan merawat kolam," kata lelaki yang juga sekretaris Rt 39 itu.

Yatno menuturkan, lele akan dipanen 2,5 - 3 bulan setelah benih ditebar. Hasilnya akan digunakan lagi untuk modal membeli benih, pakan, dan obat-obatan berikutnya. Keuntungan digunakan bersama oleh kelompok dan 2,5 persen disisihkan untuk Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) untuk digulirkan di wilayah lainnya.

Pembersihan dan pemanfaatan tebing Kali Winongo itu mendapatkan bantuan dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY melalui FKWA. Dana tersebut sebesar Rp 23,156 juta yang dimanfaatkan untuk pembersihan, penyiapan lahan, pembuatan kolam, hingga pembelian bibit lele dan pakan serta obat-obatan. "Masing-masing petak diisi 1.000 benih. Perkiraannya nanti bisa panen 6 kwintal lele. Kalau harganya tergantung pasaran," kata Jumirin (50) yang juga ketua Rt 42.

Mengenai kesadaran warga terhadap kebersihan Kali Winongo, Jumirin, menuturkan sudah baik. Sampah rumah tangga dilakukan pengelolaan bersama dalam kelompok dasawisma. Sampah-sampah sekaligus dipilah antara yang organik dan anorganik.

"Sampah yang bernilai ekonomi dijual, yang organik dibuat kompos karena setiap Rt sudah mempunyai komposter. Sisanya tinggal 60 persen dibuang ke pembuangan sampah umum," kata Jumirin dibenarkan Tri Suprianto warga yang lain. Menurut Jumirin, warga juga berharap mendapatkan pendampingan dan pelatihan pengelolahan sampah menjadi barang-barang kerajinan. -cahpesisiran utk bernas jogja-

Wednesday, April 21, 2010

Lebih 30 Tahun di Eropa

Keris Pertama Setelah Kemerdekaan Kembali Ke Jogja


SALAH satu keris bernilai sejarah dihibahkan ke Museum Sonobudoyo Yogyakarta oleh pemiliknya Dietrich Drescher, seorang pecinta keris berkebangsaan Jerman, Sabtu (9/4). Keris berjenis luk 13 dengan dapur parungsari itu dibuat oleh Empu Yosopangarso atas pesanan Dietrich Drescher pada tahun 1973.

Meskipun keris tersebut belum termasuk benda cagar budaya karena usianya yang relatif muda, tapi benda pusaka itu memiliki nilai sejarah karena merupakan keris pertama yang dibuat di Republik Indonesia pasca revolusi fisik 1945. Keris itu juga menandai bangkitnya kembali pembuatan keris di Indonesia pasca kemerdekaan.

“Pada zaman pendudukan Jepang, pembuatan keris banyak mengalami kemunduran. Pada masa itu pembuatan keris semakin surut karena situasinya tidak memungkinkan,” kata Sekretaris Paheman Memetri Wesi Aji (Pametri Wiji), Suhardoto, disela mendampingi Dietrich menyerahkan keris ke Museum Sonobudoyo.

Dietrich sendiri berpendapat bahwa keris itu dilahirkan di Yogyakarta, sehingga selayaknya untuk kembali ke Yogyakarta dan menjadi bukti sejarah atas peranan Yogyakarta dalam melestarikan budaya, khususnya budaya tosan aji. Museum Sonobudoyo dia pandang sebagai tempat yang paling tepat untuk menyimpannya.

“Sekarang saya sudah tua, dan kesehatan saya mulai menurun, sehingga saya berfikir mengembalikan keris itu ke Indonesia. Saya berpikir tempat terbaik adalah tempat dilahirkannya yaitu Yogyakarta, jadi saya mengembalikannya ke sini,” kata Dietrich.

Saat ini Dietrich mengaku masih memiliki 5 keris yang dibuat atas pesanannya dari logam meteorit, nikel, pasir Cilacap, dan pasir Luwu. “Saya juga berencana untuk mengembalikannya ke Indonesia,” imbuhnya. Bagi Deitrich, keris merupakan senjata yang paling cantik di dunia. Yakni dari bentuknya, memiliki pamor, dan tujuan utama pembuatannya yang bukan sebagai senjata pembunuh tetapi sebagai pusaka.

Di Museum Sonobudoyo, keris itu diterima oleh Kepala Museum Drs Martono, didampingi Kasi Koleksi Konservasi dan Prevarasi Dra Winarsih. Setelah penandatanganan berita acara penghibahan, keris itu selanjutnya akan disimpan dan dirawat menjadi koleksi Museum Sonobudoyo. “Museum sangat apresiate dengan penghibahan keris ini, ini juga merupakan bentuk pelestarian benda bernilai sejarah,” kata Martono.

Winarsih menambahkan, saat ini museum memiliki 43.618 koleksi. Setiap tahun, ungkapnya, selalu ada masyarakat yang menghibahkan benda koleksi ke museum. Tahun lalu hibah yang diserahkan ke Museum Sonobudoyo sebanyak 5 keris, 1 tombak, dan 1 naskah. “Tahun ini kami menerima hibah 6 keris. Benda-benda itu kami lakukan perawatan sesuai dengan jenisnya,” tambahnya.

Dietrich Drescher, dalam Ensiklopedi Keris karya Bambang Harsrinuksmo (2004), disebut sebagai orang yang berjasa besar dalam menumbuhkan kembali kehidupan dan tradisi ke-empuan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Sekaligus membangunkan budaya keris yang telah “tidur” sejak zaman pendudukan Jepang. Pada sekitar tahun 1975 ia membangkitkan semangat Ki Yosopangarso di Godean Yogyakarta untuk kembali menempa keris.

Pada awalnya Yosopangarso sempat bingung karena ayahnya, Supowinangun almarhum, tidak sempat mewariskan pengetahuan pembuatan keris kepada dia dan adik-adiknya. Namun Dietrich Drescher terus memberinya semangat. Akhirnya dengan dibantu adik-adiknya, Genyodiharjo, Wignyosukoyo, dan Jeno Harumbrojo, Ki Yosopangarso berhasil lagi membuat keris. Peristiwa itu menjadi tonggak baru dalam sejarah perkerisan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, yang sejak zaman pendudukan Jepang tidak punya lagi pembuat keris.

Pada waktu itu, Dietrich Drescher adalah seorang kapten kapal bangsa Jerman yang tinggal di Freiburg, Jerman. Pada tahun 70-an kapal yang dinahkodainya mempunyai jalur pelayaran tetap ke Indonesia. Pekerjaan itu dijalaninya selama lebih enam tahun dan menyebabkan tumbuhnya cinta pada budaya Indonesia, terutama budaya keris. -cahpesisiran utk bernas jogja-