HINGGA saat ini, batik masih lekat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pada tahun 1968 batik bersama kebaya dicanangkan sebagai pakaian nasional oleh Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin. Batik bukan hanya merupakan produk budaya tradisional, namun telah berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi hingga masa modern sekarang.
Berbicara tentang sejarah batik, budayawan yang juga Guru Besar di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc, merujuk pada pendapat sejarawan Belanda Dr. J.L.A. Brandes pada tahun 1890-an. Bahwa sebelum kebudayaan Jawa -atau dalam arti luas Indonesia- mendapat pengaruh dari India, bangsa Indonesia telah mengenal 10 butir budaya asli atau local culture. Diantara 10 butir itu adalah membatik.
“Berarti yang namanya membatik dari sisi teknologi itu secara hipotetis, telah dimiliki oleh bangsa Indonesia pada masa-masa sebelum pengaruh kebudayaan India datang di Indonesia . Sebelum abad ke 4 atau 5,” kata Timbul mengacu tulisan Brandes. Local culture merupakan suatu kebudayaan setempat yang belum dipengaruhi oleh kebudayaan asing. Selain batik, budaya lokal yang masuk dalam 10 local culture masyarakat Jawa -menurut Brandes- adalah wayang, gamelan, tembang, metalurgi, perbintangan, pelayaran, irigasi, birokrasi pemerintahan, dan mata uang.
Mengenai pengertian batik, secara etimologis ada beberapa pendapat. Salah satu diantaranya adalah yang mengaitkan asal-usul istilah batik dengan kata titik, karena proses membatik dilakukan dengan membuat gambar dari titik-titik. Menurut Timbul, pengertian batik harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi cara membuat ataupun motifnya saja. Namun juga harus dilihat pada pola desain dan medianya. “Sebab nanti pola batik ada yang digambarkan pada kertas, pada kain, ataupun pada benda-benda yang lain, tapi motifnya batik. Jadi batik bisa juga sebagai pengertian motifnya, selain tekniknya. Sebab kemudian ada juga batik yang dibuat dengan teknik cap,” papar Timbul yang juga ketua Program Studi Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Pasca Sarjana FIB UGM.
Datangnya pengaruh kebudayaan India sekitar abad ke-4 atau ke-5 Masehi, membawa dampak pula pada kebudayaan Jawa. Kebudayaan India antara lain memperkaya variasi motif desain ragam hias yang ada, yang dapat dilihat di relief candi-candi. Pengaruh tersebut menyebabkan motif-motif batik juga berkembang. Sebelum masuknya pengaruh India, batik mempunyai tiga macam motif dasar yaitu motif geometrik berupa garis-garis -baik garis lurus, lengkung, maupun pengulangan garis-, motif flora atau tumbuh-tumbuhan, dan motif binatang. “Motif-motif itu kan tidak lepas dari apa yang ada di lingkungan sekitarnya. Baik lingkungan alam seperti binatang maupun tumbuh-tumbuhan,” kata Timbul.
Berkembangnya mitos-mitos dan legenda-legenda yang berasal dari India seperti cerita Ramayana, Mahabarata, dan legenda tentang garuda juga membawa pengaruh pada motif batik. “Sehingga motif-motifnya terus berkembang, dijiwai dan diilhami pula oleh cerita-cerita itu. Kemudian muncul motif seperti semen romo, dan motif garuda,” ungkap lelaki yang juga aktif berkesenian tersebut.
Lebih jauh, ungkap Timbul, motif batik kemudian berkembang pula menjadi gaya-gaya batik yang memiliki kekhasan tersendiri antar daerah seperti gaya pesisiran, Yogyakarta , dan Solo. Perkembangan tersebut terkait dengan masuknya kebudayaan Islam di Jawa dan terbentuknya kerjaan-kerajaan yang menjadi pusat kebudayaan. Adanya kontak masyarakat antara pusat kebudayaan satu dengan lainnya menyebabkan terjadinya saling memengaruhi kebudayaan, termasuk dalam hal batik. Sehingga di daerah tertentu berkembang suatu gaya yang spesifik, dan akhirnya muncul gaya pesisiran, gaya Banyumasan, Lasem, Cirebon, Surakarta, Yogyakarta dan sebagainya.
Secara garis besar, yang membedakan batik antar daerah tersebut adalah pada pola warna dan motif. “Jadi setiap daerah itu mempunyai kekhasan sendiri-sendiri. Yang kadang-kadang ciri khas lokal itu juga akibat pengaruh lokal yang lain. Karena, pembatiknya mendapat inspirasi dari suatu daerah lain. Setelah lama-kelamaan dianut, maka menjadi spesifik lokal itu,” terang Timbul Haryono.
Lebih jauh untuk batik Yogyakarta dan batik Surakarta, menurut Timbul, perbedaan paling dominan adalah pada latar warna atau warna dasarnya. Batik Yogyakarta berwarna dasar putih, sedangkan batik Surakarta cokelat tua. “Kalau dari motif-motifnya, sebenarnya ada perbedaan. Tapi karena Yogya dan Solo dekat, maka motif-motifnya sama-sama dikenal di kedua daerah itu. Sehingga sulit untuk membedakan ciri kedaerahannya dari motif,” paparnya. Perbedaan yang lain adalah pada cara pemakaian. Seperti di Yogyakarta, dalam pemakaian kain batik bagian seret atau pinggirannya ditampakkan. Sedangkan di Surakarta bagian seret tersebut dilipat sehingga tidak tampak. “Itu yang paling pokok perbedaannya,” tegas Timbul.
Hingga saat ini, batik terus mengalami perkembangan. Batik yang merupakan bagian dari kebudayaan, selalu dinamis seiring dengan dinamisnya kebudayaan. “Kebudayaan itu dinamis, begitu pula batik juga dinamis. Dalam pengertian, motif-motif batik terus berkembang sesuai dengan dimensi waktu dan dimensi ruang. Dimensi waktu itu dari waktu ke waktu, dari dulu sampai sekarang. Dimensi ruang, artinya secara keruangan spasial dari daerah ke daerah,” papar lelaki kelahiran Prambanan, 5 Oktober 1944 tersebut.
Perkembangan batik menjadikannya lebih banyak digunakan oleh masyarakat pada masa sekarang. “Sekarang kan batik langsung dimanfaatkan atau digunakan oleh masyarakat. Kalau dulu motif batik itu hanya dipakai untuk kain, sekarang berkembang juga untuk baju, juga untuk kerajinan seperti taplak meja misalnya. Berarti masyarakat secara umum tidak akan melepaskan diri dari batik itu,” katanya sembari menunjukkan stopmap bermotif batik yang ada di meja kerjanya.
Justru yang dipentingkan sekarang, menurut Timbul adalah regenerasi para pembatik. Dimaksudkan agar ke depan masyarakat Indonesia tidak hanya sebagai konsumen, tapi juga produsen. Dalam arti bukan hanya sebagai pemakai, tapi juga pembuat batik. “Sebab kerajinan membatik lama kelamaan, berganti generasi, banyak generasi muda yang tidak berminat untuk berkarya. Tapi kalau memakai, mereka masih berminat. Maka harus ada regenerasi pembatik terus menerus, agar tidak terputus,” kata guru besar yang dikenal low profile tersebut.
Regenerasi perlu dilakukan terus menerus baik secara formal maupun non formal. Menurut Timbul akan lebih baik jika seni kerajinan batik pada wilayah-wilayah budaya dimana batik menjadi primadona ciri khas daerah bersangkutan, dimasukkan dalam suatu kurikulum pendidikan. Seperti misalnya di Yogyakarta, Pekalongan, dan Cirebon, agar tidak terjadi garis putus antara generasi ke generasi yang lain.
Pembatik-pembatik yang ada sekarang relatif telah berusia tua. Timbul mengkhawatirkan jika tidak ada transformasi kepada generasi muda maka bias jadi ke depan bangsa Indonesia hanya akan menjadi pemakai batik tanpa bisa memproduksi. “Karena tidak menguasai aspek teknik atau teknologi membuat batik. Kalau itu terjadi nanti bias-bisa batik akan dibuat oleh negara lain, dan kita hanya sebagai konsumen saja. Jadi kontinyuitas transformasi budaya ini harus dijaga, jangan sampai terputus atau kehilangan jejaknya,” kata Timbul yang mendapat gelar K.R.A. Haryono Hadiningrat dari Keraton Kasunanan Surakarta tersebut.
Hal terpenting lainnya adalah bagaimana menjaga batik agar tetap menjadi kekayaan Indonesia asli di tengah dunia global. “Akhirnya hak cipta itu menjadi hal yang sangat penting. Oleh karena itu harus betul-betul disadari bahwa batik itu kekayaan Indonesia asli. Menyatakannya dengan tidak sekedar kita berkarya terus, tetapi harus mempatenkan. Supaya tidak lagi ada negara lain yang mengklaim batik sebagai miliknya. Bagaimana agar berkekuatan hukum secara internasional,” harapnya tegas. –cahpesisiran utk majalah saudagar-
Foto oleh kawan di sini
di hongkong juga sedang digalakkan memakai batik lho. btw,rumahnya baru nih ya?
ReplyDeleteiya nie, rumah baru yg sgt sederhana.
ReplyDeleteiya kah? batik go to hongkong berarti he2
ini postingan bagus. Hebat. batik itu bernilai tinggi
ReplyDeleteregenerasi pembatik emang paling susah, tapi bukannya tidak mungkin kan bro?
ReplyDelete*ting ting ting*
> blogendeng: makasis bos. iya, bernilai tinggi dan luhur :)
ReplyDelete> cerita senja: yoi tuing! mungkin dunk. banyak juga generasi muda sekarang yg suka mempelajari budaya, tradisi, dan kesenian lokal kok. contohnya nyata, tuh yg suka ting ting ting. whekekekk..
setujuuu!yahg penting adalah mempatenkannya. bayangkan aja,salah satu cara pembatikan sudah dipatenkan malaysia,jangan sampe batik juga sekalian dipatenkan. O iya, di manado juga ada batik loh. namanya bentenan.sudah dipatenkan juga loh,hehehe...(kok jadi promosi daerah,ya?hihihi)
ReplyDeleteWAh...
ReplyDeleteLove batik deh...
Ayo batik Indonesia
motif batik di atas cantik deh
ReplyDelete> ivana: iya, sebenarnya banyak ragam batik yg ada dari berbagai daerah di nusantara ya.. cma mungkin kurang terpublikasi aja. btw, mau dunk aku dikirim bentenan dari manado.. hehe.. (gratisan gratisan..)
ReplyDelete> apiscerena: yups, love batik so much deh pokoknya :)
> elys: iya, aku juga suka tuh motifnya mbak
hahaha, masalah batik ini kan timbulnya waktu batik diakui ama malysia sbg budayanya bukan?
ReplyDeletesejak itu smua mulai sibuk batik2an, dibilangin nunggu ilang dulu baru Indonesianya jerit2...
lho heh ap itu?
> krucial: aku jerit2nya dah sejak lama kok. tapi karena kakiku keinjek.. whekekeke
ReplyDeletewarisan nenek moyang dan budaya nasional ternyata ngikutin perkembangan zaman juga :)
ReplyDelete> iya dong.. bukan cuma webmaster dan para pendekar SEO aja yang ngikutin perkembangan jaman, budaya nasional juga.. whekekekkek..
ReplyDeletesaya suka batik, ga cuma ngikutin tren batik yg sayangnya dah mulai redup.. klo ke jogja, kadang hunting kain batik di pasar beringharjo.. batik ga akan pernah ketinggalan zaman atw ga ngetren lg..
ReplyDelete> setuju.. batik never die lah pokoknya! :D
ReplyDeletebeberapa waktu lalu acy ngeliat abg2 pada pake rok dari batik (lagi trend katanya) nah gitu harusnya biar batik nggak ketinggalan :)
ReplyDelete> yup begitulah seharusnya.
ReplyDeletebtw, beberapa waktu lalu aku juga liat seklompok abg2 yg masih pake seragam sekolah jalan2 ke salah satu pusat perbelanjaan. Nah pas lewat di depan pakaian batik, beberapa diantaranya tertarik dan melihat2. eh tp salah satu diantaranya bilang, "ih, aku paling anti deh sama batik, nggak bangett.."
hehe, dia gak gaul yah.. ga tau kl batik lg trend. hihi..
aku suka pake baju batik dari aku kecil... ternyata skrg modelnya dah bagus2...
ReplyDeletepara pembatik jaman dulu mengerjakan batiknya dg penuh cinta, penuh perasaan, bekerja dg hati. Skrg dengan apakah?
ReplyDelete