Wednesday, May 07, 2008

Lereng Merapi dan Jaman Kolobendu

SEORANG tetua dari masa lalu pernah berkata, “Sesuk wedi lan krikil bakal iso dipangan dening menungsa,” (kelak pasir dan kerikil akan bisa dimakan oleh manusia). Ternyata benar. Pasir dan kerikil bahkan batu, saat ini memang bisa dimakan oleh manusia. Bukan karena ada teknologi yang memungkinkannya bisa diubah menjadi zat makanan.

Namun
karena pasir, kerikil, dan batu -yang pada masa lalu kurang begitu banyak dimanfaatkan-, ternyata di jaman ini banyak dicari dan dibutuhkan manusia. Baik untuk bahan baku pembuatan tempat tinggal ataupun sarana-sarana lain penunjang kehidupan manusia. Dengan kata lain, kini pasir, kerikil, dan batu menjadi mempunyai nilai ekonomis, laku dijual, dan hasil penjualannya bisa digunakan salah satunya untuk memenuhi kebutuhan perut.

-pasir merapi berkah di balik erupsi-

Dibalik aktifnya Gunung Merapi yang terkadang dianggap oleh sebagaian orang sebagai bencana, ternyata juga memberikan sumber penghidupan bagi banyak orang. Setiap erupsi yang menghasilkan material batuan dan pasir, ternyata membawa berkah tersendiri. Tidak sedikit warga Sleman yang merasakan aliran sumber penghidupan dari erupsi tersebut. Dengan menjadi penambang pasir di sungai-sungai alur aliran material Gunung Merapi, mereka mampu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dan membiayai pendidikan anak-anak mereka. Bahkan, tidak hanya warga Sleman yang mendapat berkah dari menambang pasir. Penambang-penambang dari luar wilayah pun banyak yang mengais rejeki di kawasan penambangan pasir Merapi, seperti dari Klaten, Magelang, dan Purworejo.

Penambangan pasir di Sleman terdapat di sungai-sungai yang mendapatkan pasokan material dari erupsi Merapi. Yaitu meliputi Sungai/Kali Gendol, Kali Opak, Kali Kuning, Kali Boyong, dan Kali Krasak. Namun untuk saat ini, pasokan material terbesar ada di Sungai Gendol.

Kawasan penambangan pasir Merapi –di alur sungai Gendol- yang paling banyak terdapat penambangnya terletak di Desa Kepuharjo, Cangkringan, Sleman. Dalam menambang pasir, para penambang berkelompok 2 hingga 7 orang. Seperti Selam (40 tahun) misalnya, warga Kopeng, Kepuharjo yang telah menambang pasir sejak 1980-an, biasa menambang bersama enam orang dalam kelompoknya. Dalam sehari ia mampu mengumpulakan lima hingga enam rit pasir. Setiap rit dijual dengan kisaran harga 80 hingga 130 ribu rupiah. Hasil dalam sehari dibagi rata kepada anggota kelompok. Setiap harinya, Selam mengaku memperoleh penghasilan rata-rata 50 ribu rupiah. Dari menambang pasir tersebut ia mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan membiayai pendidikan dua orang anaknya. “Kalau dari menambang pendapatan bisa ajeg, rata-rata sehari 50 ribu. Kalau beternak sapi kan pendapatan tidak setiap hari tapi tahunan kalau pas menjual sapi saja,” ungkap lelaki yang juga beternak sapi tersebut.

Berbeda dengan Selam, Parjo (60 tahun) warga Tegal Lurung, Kemalang, Klaten, menjadikan usaha menambang pasir ini sebagai satu-satunya sumber penghasilan. Sejak setahun lalu ia mulai menambang pasir di Kali Gendol Cangkringan. Sebelumnya ia menggantungkan kebutuhan keluarga dari nderes kelapa (mengambil nira kelapa) dijadikan gula jawa. Parjo lebih memilih menjadi penambang pasir karena penghasilan lebih besar dan tidak ribet. “Kalau nderes itu repot, pagi dan sore harus ambil legen (nira),” ungkap lelaki yang mendapat penghasilan 30 hingga 50 ribu rupiah per hari dari menambang pasir tersebut.

Mengenai resiko terkena longsoran pasir atau batu yang dihadapi penambang, Parjo mengaku jarang terjadi. Yang dikhawatirkan penambang adalah datangnya banjir. “Kalau hujan tidak ada yang berani menambang di sungai ini. Terutama yang ada di ujung atas karena takut kalau tiba-tiba terjadi banjir dari atas,” katanya.

Hal senada dikemukakan rekan sekelompok Parjo, Mitro (55 tahun). Menurut Mitro, yang terpenting untuk meminimalisir resiko terjadinya kecelakaan adalah dengan berhati-hati. “Jarang ada yang kelongsoran sampai meninggal. Kalau saya paling hanya lecet atau luka di kuku,” ungkap warga Kepuharjo, Cangkringan yang menambang pasir sejak 2 tahun lalu tersebut. Setiap hari Marto menambang dari pukul 7 pagi hingga pukul 3 sore, dengan rata-rata penghasilan bersih sebesar 30 ribu rupiah.

-kontribusi bagi perekonomian masyarakat-

Pasir dari erupsi Merapi di Kali Gendol, khususnya di kawasan penambangan Desa Kepuharjo, ternyata mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian masyarakat sekitar. Penghasilan dari menambang pasir lebih besar jika dibanding dengan penghasilan dari beternak sapi dan bertani. “Lebih untung dari penambangan. Hanya saja kalau usaha sapi kan bisa untuk selamanya, kalau menambang hanya setelah terjadi erupsi saja,” kata Kepala Desa Kepuharjo, Heri Suprapto.

Oleh karena itu, pemerintah desa juga melakukan upaya penataan kawasan penambangan, yang dimaksudkan agar pasir dari erupsi lebih awet. “Kalau banyak ditambang oleh penambang dari luar kan cepat habis. Jadi kita tata,” ujar Heri.

Realitas di lapangan untuk penambangan rakyat, menurut Kepala Bidang Pertambangan dan Energi, Dinas Pengairan Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam (P3PA) Kabupaten Sleman, Purwanto, lebih bayak penambang yang belum berijin dibanding yang telah memegang ijin. Hal itu jika tidak dikendalikan akan berpotensi juga menimbulkan kerusakan lingkungan. Atas kondisi itu Dinas P3PA Kabupaten Sleman melakukan pengendalian berupa pembinaan dan penjelasan bagi para penambang, dan kemudian dilakukan pengaturan dengan ijin penambangan.

Langkah yang lebih nyata dilakukan dengan mendorong para penambang yang belum berijin, untuk membentuk kelompok-kelompok dan mengajukan permohonan ijin penambangan.


-jaman kolobendu-

Pasir di jaman ini bisa dimakan...?!!

Tapi masih untung, karena mungkin baru pasir yang bisa dimakan manusia.

Jika meminjam istilah pewayangan, kelak akan ada jaman yang bisa dibilang jauh lebih fenomenal lagi, yaitu jaman kolobendu. Yaitu jaman edan, jaman ketika antara pemimpin dengan pencuri tidak bisa lagi dibedakan. Lebih ngerinya lagi, jaman kolobendu adalah jaman ketika manusia memakan manusia. Tentu saja (juga) bukan karena daging manusia lebih gurih dari daging sapi, tapi karena timbulnya keserakahan. Keserakahan akan harta, akan jabatan, dan akan kekuasaan. Kalau boleh meminjam istilah dari negeri sebrang, manusia menjadi homo homini lupus (manusia merupakan srigala bagi sesamaya). Ngeri kalau jaman seperti itu datang. Atau.. jangan-jangan jaman itu sudah datang??

Kembali ke masalah pasir…, menurutku kalau penambangan pasir oleh rakyat sih masih bisa dikendalikan. Yang perlu diwaspadai adalah penambang-penambang dari jaman kolobendu, yang mungkin akan datang. (Atau justru mereka telah menguasai kawasan-kawasan penambangan di negeri ini?? Entah penambangan pasir, penambangan emas, ataupun penambangan minyak dan yang lainnya).


Yah, ngeri memang kalau jaman seperti itu datang.. (walaupun bagi saya nama kolobendu tidak begitu mengerikan, bahkan cenderung lucu bila dilafalkan).

Seorang teman malah bilang “kolobendu” seperti nama makanan. Waduhh jaman apa lagi ini, bila ada manusia memakan kolobendu..?!!

8 comments:

  1. wah...
    lengkap dan sangat informatif..
    dapat info dari mana ni?

    ReplyDelete
  2. @speakup: makasih..
    dapat info dari lapangan (dari pak selam, pak parjo, pak mitro, pak heri, dan pak purwanto). maklum deh, kerjaannya jalan2 melulu nie..
    kapan2 mo ikutan? bila berminat segera konfirm utk booking tiketnya. hehe

    ReplyDelete
  3. daku jadi pengen melakukan pendakian ke merapi nih. ayo, kita atur waktu jaln2 bareng...

    ReplyDelete
  4. aku malah kelingan jadah tempe mbah carik yen neng kaliurang...

    ReplyDelete
  5. Asyik. Punya ritus jalanan seperti ini. aku, kapan ya ke Merapi?
    rindu kerikilnya...

    ReplyDelete
  6. Betapa kayanya merapi dengan pasir...
    wuih kolobendu,pembaca joyoboyo juga mas?

    ReplyDelete
  7. @ mama shasa: tutup mata ma...

    @ kristina dian: siap!! persiapkan logistiknya yang banyak ya..

    @ wku : nikmati aja jadah tempenya, mumpung masih ber-gigi asli. ntar kalo tinggal punya gigi palsu ga bisa lagi makan jadah (takutnya gigi palsunya ikut ketelan).

    @ ndari : iya, kan namaku ali sopan (sepupunya ali topan) sukanya di jalanan melulu.. ayo ke merapi, atur aja waktunya (kristina dian dah siapin logistiknya kok..)

    @ anonim : iya joyo boyo dan djoko lodang. dulu waktu kecil sering dibacain jagading lelembut sama ayah (hiii serem..)

    ReplyDelete