Thursday, July 03, 2008

Gerabah Kasongan

Turun-temurun, Dari Perkakas Rumah Tangga Hingga Keramik Hias

MEMASUKI kampung Kasongan, di halaman-halaman rumah dan pekarangan warga dengan mudah akan terlihat gerabah berbagai bentuk dan ukuran. Baik yang masih alami berwarna merah bata, ataupun yang telah dilakukan finishing dengan pengecatan beraneka warna atau teknik finishing lain. Di sudut-sudut kampung akan terlihat pula tungku-tungku pembakaran. Jika tertarik, wisatawan dapat pula turut membentuk tanah liat menjadi gerabah bersama para perajin.

Desa Wisata Kasongan terletak di Dukuh Kajen, Banguntapan, Kasihan, Bantul Yogyakarta. Di dukuh seluas 49 hektar berpenduduk 1.556 jiwa tersebut, 95% warganya bermata pencaharian sebagai perajin gerabah, sedangkan sisanya petani dan PNS. Pembuatan gerabah di Kasongan memang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi terdahulu hingga kini.

-berawal dari perkakas rumah tangga-
Pada awal mulanya, gerabah yang diproduksi warga Kasongan hanya berupa perkakas rumah tangga seperti kwali, cobek, anglo, keren (tungku untuk memasak dengan kayu bakar), dan perkakas lain. Namun setelah dikembangkan sebagai desa wisata, variasi produk gerabah pun berkembang hingga ke gerabah-gerabah hias seperti guci, berbagai patung, meja kursi, dan berbagai hiasan lain.

“Kerajinan gerabah telah turun-temurun digeluti warga. Kemudian mulai berkembang setelah ada arahan dari para tokoh seniman seperti masalah desainnya,” kata Kepala Dukuh Kajen, Muh. Hadi Suprojo.

Buang Mudiarjo misalnya, perajin gerabah yang telah memulai usahanya sejak 1965 mengaku belajar menjadi perajin gerabah dari orangtuanya. Gerabah yang dihasilkannya mulai dari perkakas rumah tangga hingga gerabah hiasan. “Yang paling diminati wisatawan seperti guci, loro blonyo (patung pengantin), dan patung Budha. Harga gerabah berkisar Rp 5 ribu - 500 ribu,” ungkap ayah empat orang anak tersebut. Kerajinan gerabah di Kasongan mulai berkembang setelah dibangunya jembatan di sisi timur kampung pada 1972, sehingga bisa menghubungkan ke kota Bantul dan daerah lain. “Sebelum tahun 72 susah karena belum ada jembatan. Untuk menjual gerabah harus menyeberang sungai. Dulu hanya dijual di pasar-pasar tradisional sekitar,” kenang lelaki kelahiran 55 tahun lalu itu.

Kini, Buang memasarkan 85% gerabahnya hingga ke mancanegara seperti Belanda, Thailand, dan Venezuela. “Mulai ekspor sejak tahun 1990. Awalnya menawarkan ke turis-turis yang berkunjung ke sini, kemudian mereka mulai memesan,” papar lelaki yang menekuni kerajinan keramik bersama puteranya tersebut. Sementara untuk pasar dalam negeri antara lain Jakarta, Surabaya, Semarang, dan Bali.
Bahan baku tanah liat, didapat Buang, dari Kasongan, Godean, Kebumen, dan Imogiri.

-koperasi untuk pengembangan-
Untuk pengembangan Gerabah di Kasongan, para perajin dan pengusaha membentuk wadah berupa koperasi yang beranggotakan 581 perajin/pengusaha. Wadah yang bernama Kopersi Industri Seni Kerajinan Keramik (Kopinkra) Setya Bawana tersebut terbentuk pada 10 Agustus 2006. Sebenarnya cikal bakal dari koperasi telah ada sejak 1984 berupa kelompok campur sari Setya Bawana. Kelompok tersebut ternyata mendapatkan pesanan membuat gerabah dari turis, hingga kemudian terbentuklah sebuah koperasai. Meski keberadaannya telah lama, namun koperasi baru didaftarkan menjadi berbadan hukum pada 2006. “Ada turis yang memesan gerabah pada kelompok campur sari Setya Bawana. Kemudian terbentuklah koperasi, dan baru didaftarkan berbadan hukum setelah gempa 2006,” ungkap pengurus harian koperasi Setia Bawana, Made Supardi.

Selain fungsi teknis penguatan modal bagi anggota, berupa pijaman berbunga rendah, koperasi juga berperan dalam pengembangan sentra gerabah Kasongan. “Setiap tanggal 15 ada pertemuan pengurus inti untuk membicarakan perkembangan sentra gerabah Kasongan dan bagaimana langkah-langkah ke depan,” kata Made. Sedangkan pelatihan-pelatihan dan pembinaan bagi para perajin dilakukan oleh pemerintah daerah setempat seperti pelatihan manajemen, ekspor, ataupun finishing produk gerabah.

Peran pemerintah desa sendiri lebih pada penataan pokdarwis (kelompok sadar wisata), memberikan arahan, serta menampung keluhan mengenai kesulitan-kesulitan yang dihadapi termasuk masalah permodalan. Beberapa permasalahan yang disampaikan warga Kasongan, kata Hadi Suprojo, antara lain agar pemerintah ataupun perbankan mempermudah akses permodalan untuk pengembangan usaha.

-bangkit pasca gempa-
Sedangkan untuk mengenalkan Kasongan kepada masyarakat luas, disadari promosi perlu terus dilakukan antara lain melalui pameran-pameran. “Jangan sampai Kasongan menjadi tertutup atau hilang akibat gempa 2006 lalu. Sekarang sudah mulai bangkit dan nampak lagi,” ungkap Kepala Dukuh yang juga menjadi perajin gerabah sejak 1989 tersebut.

Sejak bencana gempa bumi 2006, disamping jumlah kunjungan wisatawan ke Kasongan menurun drastis, warga pun harus memulai usaha dari awal karena perlu pemulihan rumah, tungku pembakaran gerabah, ataupun peralatan penunjang lainnya. “Perlu waktu untuk pulih kembali. Padahal dulu Kasongan sudah mulai artistik, banyak dikunjungi wisatawan. Namun akibat gempa, banyak yang rusak seperti gapura-gapura roboh,” papar Nangsib, sapaan akrab Hadi.

Pengembangan Kasongan sebagai desa wisata dilakukan pula dengan menerima ide-ide dari warga masyarakat. Untuk mendukung Kasongan sebagai desa wisata, warga menginginkan dibangunnya monumen Kasongan. Saat ini telah tersedia lahan seluas 1.600 meter persegi yang semula merupakan tanah milik pemerintah propinsi DIY, dan telah diserahkan ke Pemda Bantul. “Masukan dari warga, menginginkan dibangunnya Monumen Kasongan. Walaupun belum ada kepastian kapan bisa terwujud,” tambahnya.

Meski mayoritas warga menekuni kerajinan gerabah, namun tidak terjadi persaingan yang tidak sehat. Kerukunan antar warga pun masih terjaga dengan baik. Persaingan lebih pada kualitas produk. “Kehidupan sosial antar tetangga, kerukunannya masih bagus. Selalu gotong-royong karena kita tidak bisa hidup sendiri,” pungkas Buang Mudiarjo disela kegiatannya bersama warga yang lain. -cahpesisiran-
foto: dok.

8 comments:

  1. aku turut berdoa mudah2 cepet atau bisa terealisasikan semua keinginan masyarakat.

    ReplyDelete
  2. wuah, hebat ya, masyarakatnya pada rukun-rukun semua...
    met wiken...

    ReplyDelete
  3. iya, sejak gempa besar sy belom ke Kasongan lagi..pdhal saya suka banget ke sana, apalagi ke bagian belakang desa..selain lebih murah, penjualnya juga gak muka bisnis, malahan ramah banget..saya suka dijamu wedang kalo ke sana, hehe..

    btw; postingan terakhir sy terinspirasi postinganmu dulu lho..cuma lupa sy tulis -- tp sdh diralat kok..thanks ya! met wiken...

    ReplyDelete
  4. cihuiii... wartawan jogja nih yeee...

    ReplyDelete
  5. reply
    @ kristina dian: Amin.. amin.. amin.

    @ ivana: iya, guyup rukun agawe santosa kata simbah-simbah.

    @ astrid: kesana lagi yukk..biar aku turut dijamu wedang.. (hehe maunya yg gratisan. pa lagi kalau gerabahnya jg dikasih gratis, mau banget dunkk.. hehe). wah aku jadi tersanjung, masak tulisanku bisa menginspirasi bloger sekelas mb astrid.. thaks jg..

    @ wku: walah, sekedar mengikuti angin membawa kakiku melangkah kemawon.

    ReplyDelete
  6. Hmm..ulasannya lengkap.
    Ingat masa2 kuliah di Yogya deh jadinya.
    Btw, tinggal di Glagah ya? Aku pernah seharian panas2 mancing di Glagahsari...he..he..

    ReplyDelete
  7. makin siiip ajah neehh tulisannya..:)suksess mas hangga....Wahhh ku jadi pingin beli patung loroblonyonya. mo anterin ku kekasongan g' mas?ku dah lama bgt pingin ke sana. he..he...he...

    ReplyDelete
  8. reply
    @ ani: makasih.. wah itu mah beda atuh. glagah dan glagahsari, jauh bangett.. :)

    @ tiar: makasih doanya. ayuk, siap. ntar itungannya pakai kargo aja yah.. per meter 10 ribu doang. hehe

    ReplyDelete