Thursday, March 27, 2008

Leyeh-leyeh nang angkringan sik ahh..


“INI kan seni,” kata salah seorang dalam 'gerombolan nongkrong' di angkringan, menirukan seorang kawan membuat alasan atas penampilannya. Entah bagaimana penampilan seorang kawan tersebut, namun rupanya ia kurang begitu sreg. “Melly Goeslow itu bajunya gila. Tapi tetap bagus karena bisa menyesuaikan dengan tempat, dipakai kalau manggung. Dan itu memang model harajuku yang dari Jepang. Lha kalau si thole ini, penampilannya tidak pantes lah walaupun dia bilang seni,” cerocosnya. Seorang yang lain pun menimpali, “Iya kalau seni itu ya pakai pakaian seperti Arjuna, itu baru namanya seni..!” (wekekekkek………)

Di tempat lain obrolan pun meluas ke masalah tercemarnya produk susu formula oleh bakteri Enterobacter Sakazakii -yang belakangan ramai menjadi sorotan media– setelah salah seorang memesan minuman kopi susu hangat. Tak hanya itu, obrolan pun meluas pula ke masalah politik dan ekonomi. Bagaimana pemerintah saat ini dirasa tidak bisa mengelola subsidi dengan baik. Berbeda dengan masa-masa lalu, dimana harga-harga tidak terlalu mahal. “Subsidi sekarang ini kan banyak yang dikorupsi. Kalau dulu mungkin juga ada korupsi, tapi tidak separah sekarang. Sekarang ini dari pejabat tingkat atas sampai bawah melakukakannya,” kata seseorang setengah serius mengajak ngobrol bakul angkringan sambil menikmati nasi kucingnya.

Banyak memang obrolan yang terjadi di angkringan, mulai dari masalah keseharian hingga masalah kondisi politik ekonomi negara. Mulai dari omong kosong hingga yang serius. Angkringan ternyata mampu pula menjadikan suasana kota Jogja menjadi hidup ketika malam. Ketika banyak restauran, mall, ataupun rumah makan telah tutup, angkringan masih bisa dengan mudah ditemukan di sudut-sudut kota dan sudut kampung.

Memang tidak diketahui secara pasti berapa banyak angkringan yang ada di kota Jogja. Namun dari pengamatan yang dilakukan dinas terkait, terdapat setidaknya seribu angkringan. “Secara umum yang kita amati, hampir di setiap RW pasti ada. Jumlah RW di kota kan sekitar 700, kalau satu RW ada satu berarti ada 700 angkringan. Ditambah dengan yang ada di jalur-jalur jalan protokol, kita memperkirakan kurang lebih secara keseluruhan sekitar seribuan,” kata Kepala Disperindagkop Kota Yogyakarta, Ir. H. Aman Yuriadijaya, MM.

Menurut Pengamat Ekonomi UGM, Prof. Dr. Mudrajat Kuncoro, M. Soc, denyut nadi ekonomi Yogya sangat ditentukan pula oleh keberadaan mereka. Sektor ini telah menyerap tenaga kerja yang besar. Menyelamatkan ekonomi Indonesia pada saat ataupun sebelum krisis 1998. “Istilahnya dulu, sebagai katup pengaman terhadap pasar tenaga kerja yang rigid. Sebagai penyelamat pengangguran. Karena lebih banyak yang mencari kerja daripada jumlah pekerjaan yang ditawarkan,” tambahnya, sembari menjelaskan bahwa sebagian besar angkringan berskala mikro dengan tenaga kerja kurang dari 5 orang. Angkringan juga relatif menggunakan tenaga-tenaga kerja sendiri seperti saudara atau kerabat, sebagai strategi bertahan hidup.

Bila dilihat lebih jauh, angkringan telah berperan sebagai muara pengembangan ekonomi kota Jogja. “Di angkringan itu lah letak sebuah muara dari pengembangan ekonomi,” ungkap Aman Yuriadijaya. Angkringan secara tidak langsung menjadi display produk-produk ekonomi masyarakat Jogja yang rata-rata bergerak dalam skala industri rumah tangga. Mulai dari produk makanan, makanan kecil, produk-produk minuman dan sebagainya, yang merupakan bagian produk usaha kecil berskala rumah tangga. Jadi angkringan merupakan metode pemasaran yang baik, artinya muara dari sistema produksi yang ada.

Mengenai keberadaan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 26 tahun 2002 yang mengatur tentang Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Yogyakarta, kata Mudrajat, hal yang terpenting adalah bagaimana Perda tersebut bisa dilaksanakan optimal. “Kalau kita bicara zoning itu sudah jelas. Jalan mana yang tertutup untuk mereka. Dan mana yang boleh. Yang boleh pun juga harus ditata supaya tidak liar. Selain itu, bagaimana agar slogan Jogja berhati nyaman betul-betul bisa terwujud,” kata Mudrajat.

Angkringan memang telah menjadi tumpuan hidup banyak orang. Tak hanya di kota Jogja, di tempat-tempat lain pun tak sedikit dapat ditemukan angkringan. Seperti Sleman, Kulonprogo, Bantul, dan tak terkecual juga kota Solo. Di Solo ada satu yang menjadi tempat fovoritku untuk melepas penat. Ketika kepalaku pusing dengan ruwetnya skripsi waktu itu, aku biasa menyegarkan otakku dengan segelas susu jahe segar-nya Pak No yang anget -di belakang kampus hijau kentingan- bersama kawan. Pun ketika penat dengan rutinitas kerjaanku dulu, sepulang kantor yang kadang telah larut, teh anget Pak No dan nasi sambel bandeng-nya kembali
menyemangatiku untuk menjalani esok. Halah jadi ngelantur..


-cerita dari lek-lek bakul angkringan-

Tapi pastinya, angkringan memang telah menjadi tumpuan hidup banyak orang. Seperti Lek Maryono misalnya, bakul (penjual) angkringan di depan benteng Vredeburg kawasan Malioboro Yogya. Dengan menjadi bakul angkringan, ia bisa mencukupi kebutuhan keluarga dan membiayai sekolah anaknya. “Bisa mencukupi biaya hidup,

dan sekolah anak-anak,” ungkap ayah empat orang anak tersebut dengan grapyaknya. Bahkan Maryono patut berbangga, karena dengan usahanya ia mampu membiayai anak sulungnya kuliah di Fakultas Ekonomi UGM. Maryono mengaku sudah mantab untuk terus menekuni usaha angkringannya. “Manteb di angkringan. Sampai tua tetep angkringan, seperti apa pun kehidupan saya nanti, menjadi orang kaya pun, tidak saya lepas. Karena angkringan ini menjadi sejarah buat saya,” ungkap lelaki yang sudah lama bercita-cita bisa naik haji bersama istrinya tersebut.

Lain halnya dengan Pak Pujuk yang menjajakan angkringannya di Kampung Karangasem Baru Sleman, kampung yang merupakan kantung kos-kosan anak-anak UGM dan UNY. Pak Pujuk Menjadi bakul angkringan sejak tahun 1991. Setelah sempat berganti profesi sebagai kru bis Jogja – Borobudur selama 1,5 tahun, ia pun kemudian memutuskan untuk kembali menjadi bakul angkringan. “Walaupun penghasilan lebih kecil, saya memilih angkringan karena resikonya lebih kecil. Yang jelas kalau di bis, walaupun penghasilan lebih besar tetapi resiko juga lebih besar” ungkap Pak Pujuk yang merupakan warga Moyudan Godean.

Pak Pujuk menceritakan, waktu pertama berjualan tahun 1991, belum banyak angkringan di Jogja. Modal awalnya untuk membeli gerobag dan peralatan waktu itu hanya sekitar 300 ribu. Sementara untuk saat ini harga gerobag lengkap dengan peralatannya bisa mencapai 1,5 hingga 2 juta rupiah. Dalam semalam omzet penjualannya berkisar 300 - 350 ribu, dengan keuntungan antara 60 – 100 ribu. Pembeli paling banyak anak kos. “Yang jelas di sini asalkan perguruan tinggi tidak libur, selalu ramai,” ungkap ayah dua orang anak tersebut.

Lain lagi cerita dari Kang Raharjo yang biasa dipanggil Kang Kriwil karena rambutnya yang memang ngriwil-ngriwil. Kang Kriwil yang stand by ngangkring di Kawasan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, depan museum kereta ini mempunyai kebanggaan tersendiri. Angkringannya pernah diborong 300 ribu untuk acara perayaan ulang tahun ke-61 Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono X, di Pagelaran Keraton, April 2007 silam. “Di sini ramai kalau ada acara seperti grebeg, acara pentas musik di alun-alun, tahun baru, dan pas lebaran, atau malam 1 Suro. Tapi kalu bulan Suro-nya sepi, dan bulan puasa,” ungkap ayah seorang anak tersebut.

Kang Kriwil pun berbangga dengan posisinya sebagai bakul angkringan. Dia bisa banyak mendapat informasi apa pun dari obrolan para pelanggan dan pembelinya. “Walau bakul angkringan, tapi posisi saya seperti intelejen atau DPR. Lha wong banyak informasi dari temen-temen yang ngobrol di sini,” celetuk Kang Kriwil yang juga tak gagap chatting di internet tersebut. Walah.., gawe blog yuk Kang..!!

5 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Wah opo aku yo wis tahu madang neng tempate pak No yo?.....dadi kangen madang angkringan...kapan yo iso?...thanks you put topic about angkringan...its mean alot to me...angkringan save my life ( waktu ngekos )...hehhehe

    ReplyDelete
  3. Yup! angkringan...
    Kesederhanaan tempat-tempat seperti ini bikin seseorang enggak perlu minder sebab di sini semua strata sosial diterima dengan baiknya. Begitu masuk warung, enggak ada bedanya lagi apakah dia pegawai, mahasiswa, tukang becak ataupun buruh upahan. Lebih menarik lagi, bahan obrolan di sana bisa apa saja..mulai dari angka-angka togel, masalah ekonomi pribadi maupun negara, stabilitas politik, sampai kebodohan-kebodohan pemerintah amerika serikat.

    nice post!

    ReplyDelete
  4. ngomong2 soal angkringan jd keinget kisah jadul waktu msh dsolo,mo yg di belakang kmpus kentingan,samping kanan kiri ato yg didepan pokoke smuane dah prnah ku mkn dehhhh(nasi+gorengan yg jd fav q tentune he2)kpn ya ku bs nongkrong lg di angkringan bareng tmn2....angkringan oh.....angkringann.....

    ReplyDelete
  5. kangennnnnnnnnnnn ma angkringan di solo

    ReplyDelete