Tuesday, September 16, 2008

Desa Pahat Batu Tamanagung (II)

Terpaksa Banting Stir
SUATU saat, tak mustahil, urusan bahan baku kerajinan pahat batu bakal sulit. Bahan itu terutama diambil dari lereng Gunung Merapi. Tiap bulan, sanggar Djayaprana memerlukan 1-2 truk batu.

Lama pembuatan tergantung besar-kecilnya batu. Batu ukuran 1-2 meter dipahat sekitar sebulan. Bahkan ada yang hingga empat bulan, ”Tergantung kerumitannya,” kata Djayaprana, lelaki kelahiran 1969 itu. Sebuah patung tersebut dikerjakan sekitar empat orang. Mereka kerja borongan. Bila pesanan ramai jumlah pemahat 20 – 30 orang.

”Setiap bulan saya pasti beli bahan baku,” ujar Bu Zaenal, yang mengelola sanggarnya bersama suami. Produksinya bervariasi dari cobek, ulekan, meja kursi batu, lampion, air mancur, hingga patung berbagai ukuran baik klasik maupun kreasi baru.

Bahan baku batu andesit diperoleh dari lereng Merapi, sedangkan batu paras (putih) dari Gunung Kidul. Kebutuhan bahan baku sebulan rata-rata 10-25 untuk bahan relief berukuran 50x50x15cm. Bahan baku relief berukuran 50x50 cm seharga Rp 50-100 ribu. Adapun bahan baku patung setinggi 80 cm seharga Rp 150 ribu, sedangkan setinggi 1 m seharga Rp 400 ribu. “Bahan baku saat ini sering berebut saking banyaknya perajin batu,” keluh Priyono, warga Prumpung yang lain.

Keluhan senada disampaikan Arif, 60 tahun, pemilik Sanggar Alit. Bagi pengusaha kerajinan pahat batu skala kecil persaingan terasa makin berat. “Usaha kecil semakin berat karena persaingan dengan pengusaha yang besar. Rombongan wisatawan biasanya langsung masuk ke sanggar yang besar,” ungkapnya.

Menurut ayah dua anak ini, pemasaran makin terasa sulit sekali karena guide membawa calon pembeli ke sanggar yang besar-besar. “Sudah empat bulan ini sepi pembeli,” katanya. Padahal, sebelum krisis ekonomi 1998, hampir setiap minggu ada pembeli. Kini benar-benar lesu. “Mungkin juga karena daya beli masyarakat yang menurun,” imbuhnya.

Arif menekuni usaha ini sejak 20 tahun lalu. Namun, mahalnya bahan baku dan angkos angkut membuat dia banting stir. “Sekarang cuma kulakan, membeli dari para tetangga yang memahat patung,” ujarnya. -cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-
Baca juga: Desa Pahat Batu Tamanagung (I)

5 comments:

  1. wa ini laporan bagus :)

    ReplyDelete
  2. ".......Menurut ayah dua anak ini, pemasaran makin terasa sulit sekali karena guide membawa calon pembeli ke sanggar yang besar-besar........."

    sudah tugas nya pemerintah nih,,
    pemasukan kan bisa diambil dari pariwisata

    ReplyDelete
  3. reply
    @ kang nur: makasih Kang. makasih pula dah berkunjung ke pesisiran n meninggalkan komentar.
    @ aan: iya, bila dikelola dg baik dari sektor pariwisatanya bisa menjadi sumber pemasukan bagi warga maupun pemerintah.

    ReplyDelete
  4. pemahat indonesia punya hasil karya yg bagus tp modal dan pemasaran yg kurang dari pemerintah

    ReplyDelete
  5. reply
    @ lyla: iya ya.. semogo ke depannya mereka bisa maju ya..

    ReplyDelete