Monday, October 27, 2008

Aweh Tulada ing Blumbang Koi Arwana





Semula kuli bangunan, kini sukses membudidayakan koi dan arwana. Asetnya tak kurang Rp 3 miliar. Untuk pertama kali ikan koi lokal bisa masuk majalah Jepang. Berhasil budidayakan arwana di Jawa.

~~~


HAMPARAN petak-petak kolam dengan angin sepoi menjadi sesuatu yang menyegarkan saat saya menyusuri jalan setapak diantara petak-petak tersebut. Sore itu langkah kaki memang membawa saya ke areal kolam di sekitar persawahan pinggiran Yogyakarta.

Di salah satu sudut kolam, seorang lelaki sedang memberikan pakan pada sekelompok ikan yang didominasi warna merah, hitam dan putih. Dialah Santoso, pembudidaya ikan koi dan arwana yang sukses di Blendangan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, Yogyakarta. Kini luas lahan pembudidayaannya mencapai 1,2 hektar dengan total aset kurang lebih Rp 3 milyar.

Sebelumnya, Santoso tidak mempunyai pekerjaan tetap selain sebagai kuli bangunan. Penghasilannya dirasa tak mencukupi, sehingga awal 1997 ayah tiga orang anak ini mencoba membuat kolam untuk membudidaya ikan. Santoso pun harus bekerja keras untuk memulai usahanya. “Bikin kolam saja dikerjakan sendiri. Pagi nyangkul, jam setengah delapan berangkat ke proyek menjadi kuli bangunan. Sore nyangkul lagi untuk melanjutkan bikin kolam,” kata kelahiran 1970 tersebut.

Tetapi Santoso tetap bertekad meneruskan usahanya. Tidak mempunyai keahlian yang lain justru membuatnya termotivasi memulai usaha membudidaya ikan. “Karena kalau saya tidak bekerja tidak bisa makan. Dan kebetulan keluarga saya keluarga tidak mampu. Sehingga saya tidak mungkin mengandalkan orang tua. Jadi bener-bener ikan itu satu-satunya sumber penghidupan saya. Istilahnya saya makan seadanya. Sedangkan untuk beli pakan ikan, kalau ada sisa ya dibelikan, kalau tidak ada ya dicarikan lumut atau apa. Pokoknya waktu itu bener-bener prihatin,” kenangnya.

Untuk memulai, Santoso memerlukan modal Rp 300 ribu guna membeli bibit nila merah. Ia pun meminjam pada orang tuanya. Ternyata Santoso berhasil membesarkan bibit nila merah yang ia beli. “Dalam 3 bulan rata-rata berat ikan bisa dua sampai tiga ons per ekor. “Waktu itu di Yogya baru saya yang bisa melakukan pembesaran jenis ikan itu,” tuturnya. Pada waktu itu, nila merah masih dalam tahap diteliti mengenai pertumbuhannya.

momen yang tepat
Santoso pun mendapatkan moment yang tepat. Waktu itu petambak udang dan bandeng sedang kolaps karena serangan virus. Sehingga petani tambak di Juwana Pati mengambil bibit nila merah darinya. “Pertama kali saya mengirim 40 ribu ekor bibit nila merah, kemudian rutin tiap minggu supply ke sana,” paparnya saat ditemui di kolam pembudidayaannya.

Dari situ Dinas Pertanian dan Kehutanan Sleman menganggap Santoso sebagai petani muda yang berhasil. Tapi setelah dihitung-hitung dengan kerja kerasnya, ternyata penghasilan yang ia peroleh tidak sebanding. “Dari nilai nominalnya, keuntungan berbisnis ikan nila merah waktu itu belum menjanjikan. Istilahnya jeneng entuk jenang ra entuk, dapat nama tapi penghasilannya pas-pasan,” ungkapnya.

Akhirnya Santoso mencoba melirik membudidayakan ikan hias. Pilihannya jatuh pada ikan koi. Membudidaya ikan hias jenis ini pun ia bermodal tekad karena belum mempunyai latar belakang pengetahuan tentang budidayanya. “Kalau latar belakangnya justru agak sedikit mistis karena saya sering mimpi. Lebih dari tujuh kali melihat ikan warna-warni. Ikannya banyak, warnanya merah hitam, putih,” ujarnya.

“Dan sampai saya memelihara ikan nila pertama kali, belum pernah melihat koi. Saya melihat koi baru tahun 1997 awal, waktu jalan-jalan di Pasar Ngasem. Saya melihat ikan koi dan merasa kok seperti yang ada dalam mimpi saya,” tambah Santoso.

Dari situ kemudian pertengahan 1998 Santoso mencoba memelihara koi untuk dibudidayakan. “Pertama kali bibit beli dari pedagang dari Tulungagung yang mangkal di sekitar RRI. Saya membeli tiga ekor seharga Rp 260 ribu. Dulu uang sejumlah itu banyak sekali bagi saya, bahkan harus saya angsur dua kali membayar,” kenangnya.

Ketiga ikan itu ternyata betina semua, tanpa pejantan. Setelah membaca buku dan bertanya kiri-kanan, barulah ia bisa membedakan jantan dan betina. “Kemudian saya bisa menelurkan atau memijahkan ikan koi,” ungkapnya.

Enam bulan kemudian, pada 1999, Santoso sudah berhasil membudidaya koi dalam jumlah cukup banyak. Kualitasnya belum bagus. “Tapi saya yakin segala sesuatu kalau dikerjakan secara sungguh-sungguh pasti akan menghasilkan yang terbaik,” katanya bersemangat.

juara lomba
Tahun 2001, Santoso mencoba ikut lomba di Blitar yang kondang sebagai kota pusatnya koi. Ternyata ikan ternakan yang ia bawa bisa meraih juara dua. Keberhasilan itu memberi semangat yang luar biasa bagi Santoso. Karena yang tadinya ia dianggap tidak tahu tentang ikan dan masih terlalu muda untuk main koi, ternyata bisa meraih juara di tempat yang terkenal sebagai sumbernya ikan koi. “Dari situ saya yakin bahwa penilaian saya ke koi sudah mendekati kebenaran, sehingga saya fokus untuk ke koi terus,” kata Santoso yang kemudian menjadi Ketua Koi Club Yogyakarta dari tahun 2001 hingga sekarang.

Dua tahun kemudian, Santoso ikut lomba di TMII, Jakarta. Ia membawa tiga ekor koi. Ternyata ia tidak bisa masuk sebagai peserta. Padahal, “Kalau lomba di Blitar saya asal membawa ikan. Kebetulan pula ada kenalan, jadi saya bisa ikut,” katanya.

Akhirnya Santoso hanya jadi penonton. Itu pun cuma bisa mengintip dari pintu. “Mengintip di pintu satu hari. Saya cuma ingin tahu bagaimana caranya memilih ikan koi yang baik. Karena, selain peserta, tidak boleh masuk,” ujar Santoso sembari mengenang pengalamannya.

Sepanjang tahun 2001 - 2004, Santoso mengaku, banyak menghadapi kendala penyakit koi. Namun, ia tidak menyerah. Waktu itu, ikan lou han sedang jaya-jayanya. “Tapi saya tidak beralih ke lou han, karena saya orangnya sangat fanatik dengan satu bidang. Saya tidak mau mencoba bidang yang lain sebelum yang saya tekuni maksimal,” ujar Santoso dengan tegas.

raih penghargaan presiden
Santoso pun terus berusaha mengembangkan kualitas budidaya koinya. Akhirnya tahun 2004 ia berhasil menyabet juara satu tingkat nasional dan diundang Presiden SBY ke istana untuk menerima penghargaan. “Tahun 2004 saya banyak perkembangan, ikan peternakan saya bisa juara best incest dengan jenis Showa Sanshoku (tiga warna). Dan itu pertama kali ikan lokal yang bisa masuk majalah Jepang. (Best incest = ikan yang terbaik diantara yang terbaik).

Sejak itu nama Santoso banyak dikenal. Bahkan ia bisa masuk di organisasi APKI (Asosiasi Pecinta Koi Indonesia ). Sekarang ia duduk sebagai pengurus sebagai salah satu anggota litbang. “Dari dulu saya ingin dari Yogya ada koi yang bisa dilihat oleh luar daerah. Akhirnya saya bisa mewujudkannya. Setiap lomba APKI pasti ada Jogja Koi Club dan ada Santoso. Satu hal yang saya syukuri,” katanya.

Lelaki yang berpenampilan sederhana ini, menambahkan, “Dan mungkin sayalah satu-satunya kulit hitam (pribumi –red) dari Yogya yang bisa masuk APKI. Bahkan pribumi yang duduk di APKI sepertinya hanya dua orang, saya dan orang Blitar.

dari kolam 300 meterpersegi hingga 1,2 hektar
Pada waktu pertama kali memulai budidaya ikan, kolam Santoso hanya seluas sekitar 300 meter persegi di tanahnya sendiri. Sejak tahun 2000 ia bertahap memperluas kolamnya dengan menyewa tanah kas desa. Kini keseluruhan kolamnya seluas 1,2 hektar. Jumlah karyawan tetapnya enam orang, dan tujuh orang lainnya buruh upahan pencari katak hijau.

Produksinya selain dipasarkan di DIY juga ke Jakarta, Iawa Barat, dan Jawa Tengah. Jenis koi yang dibudidaya Santoso antara lain Showa Sanshoku, Taisho Sanshoku, dan Kohaku. Tahun 2005, ia pernah membudidayakan jenis Kojaku yang sekualitas dengan ikan koi dari Jepang. Tapi sayang indukan itu mati waktu ditinggal pameran di Bali. “Dan sampai sekarang belum bisa mendapatkan indukan dengan kualitas sebagus itu,” ujar Santoso dengan rasa menyesal.

pembudidaya arwana pertama di Jawa
Meski telah berjalan dengan pasar yang pasti, namun Santoso tidak berhanti sampai disitu. Tahun 2005 ia mengembangkan usahanya dengan memulai membudidayakan arwana.

Untuk mulai membudidayakan arwana sebenarnya bukan hal yang mudah. Pasalnya, banyak yang meyakini arwana tidak bisa dibudidayakan di Pulau Jawa. “Katanya arwana tidak bisa diternak di Pulau Jawa. Makanya saya membuktikan, saya coba dan ternyata bisa,” kata Santoso. Bahkan sekarang aset Santoso malah lebih banyak arwana daripada koi. Jika dipilah, aset arwana mendekati Rp 2 miliar, dan aset koi masih kurang dari Rp 1 miliar.

Asset arwana bisa lebih besar karena pasar arwana hampir seperti barang konsumsi. “Jadi kita punya barang berapapun tetap laku dengan harga rata-rata. Kebetulan yang kita jual ukuran 5 cm, per ekor Rp 30 ribu. Jadi kalau saya punya 3 atau 4 ribu ekor per bulan itu langsung laku semua,” paparnya. Pemasarannya sudah di kontrak, dikirim ke Jakarta dan Semarang.

Lain halnya dengan koi yang mengalami beberapa tahapan. Seleksi awal, Santoso sudah membuang banyak ikan afkiran. Dari 40 ribu anakan, yang masuk kategori ada warnanya sekitar 2000 – 3000 ekor. Otomatis yang 30 ribu lebih menjadi afkiran dan dijual kiloan waktu kecil. Dari 2000 – 3000 tersebut, yang kategori bagus sebanyak 400 – 500 ekor. Dan dari jumlah itu, yang berkualitas lomba/kontes belum tentu 3 atau 4 ekor.

“Itu kenapa koi untuk berkembang sangat lambat, karena memang sangat sulit prosesnya. Tapi disisi lain, kenikmatan peternak koi tidak bisa dibandingkan dengan beternak ikan yang lain. Karena ketika ada ikan yang sangat bagus menjadi kepuasan tersendiri. Tidak hanya menilai uangnya, tapi keberhasilan bisa menghasilkan ikan koi dengan warna-warna yang bagus itu menjadi semangat yang luar bisaa,” jelas Santoso.

kendala dan keberhasilan
Menurut Santoso, kendala dalam budidaya arwana adalah keterbatasan lahan. “Padahal kebutuhan pasar masih luas, tapi lahan sudah terbatas. Saya sedang melirik ke lokasi lain yang barangkali juga bisa untuk arwana,” katanya.

Permintaan pasar untuk arwana, kata Santoso, per bulan hampir 10 ribu ekor. Pada tahun ini maksimal ia baru bisa memenuhi 6 ribu ekor per bulan. Sedangkan untuk koi, produksinya bisa sampai 100 ribu ekor per bulan, tapi yang layak jual hanya 300 – 400 ekor.

Kendala lain adalah harga pakan untuk koi yang terus meningkat. “Dalam satu tahun ini naik sekitar 80 %. Selama enam bulan terakhir naik dari Rp 8 ribu per kilogram sekarang sampai Rp 13.600 per kg untuk eceran. Tapi kalau saya, beli dari pabrik,” papar Santoso.

Sementara itu, untuk arwana, karena makanan alaminya katak sawah, kendala pakan terjadi saat musim kemarau. “Kebutuhan sehari 21 kg katak sawah. Kalau kemarau hanya bisa mendapat 9 – 10 kg. Jadi harus beli nila atau bawal untuk dicincang,” tambahnya.

Dalam hal penyakit, arwana tidak ada kendala. Berbeda pada koi. Tapi, karena sudah 10 tahun membudidayakan koi, Santoso mengaku paham betul treatment-treatment khusus agar koi tidak terkena penyakit.

Pernah, gara-gara penyakit yang menyerang koi, Santoso gagal menjalin kontrak pemesanan dari Jerman. Sebelumnya ia telah berhasil menembus pasar ke negara tersebut, tahun 2000. Tahun 2002 ada penyakit KHV (koi herpers virus) menyerang Indonesia, dan kontrak pun dibatalkan.

Prospek usahanya, menurut Santoso, masih bagus. Karena dua jenis ikan hias legendaris ini harganya stabil dan tidak terlalu fluktuatif. Berbeda dengan jenis ikan hias lain, seperti lou han yang harganya tinggi, tapi kemudian jatuh setelah booming.

Bahkan dalam kondisi ekonomi kurang baik pun tidak begitu berpengaruh. “Kebetulan koi dan arwana identik sebagai hobi kalangan atas. Jadi, meski ada pengurangan pemasaran akibat kondisi ekonomi, tidak terlalu terasa,” kata Santoso, yang belum lama ini ditawari dua investor untuk bekerja sama. Yaitu, mendirikan rumah makan ikan di kawasan kolam budidayanya.

Persaingan pun tidak jadi kendala. Sebab, di Yogya belum ada pelaku usaha pembudidayaan arwana. “Kalau koi sudah banyak. Tapi petani yang khusus koi hanya saya. Pedagang yang ambil koi dari Blitar juga banyak, tapi saya malah senang, karena bisa beradu di kualitas. Makin ramai pemain, justru makin besar peluang kita,” kata pria kelahiran Yogyakarta ini.

berdampak positif
Keberhasilan usaha Santoso pun berdampak positif terhadap lingkungan sekitar. Paling tidak ada 12–13 orang yang hidup dari usaha pembudidayaan koi dan arwananya, yang tergabung dalam Kelompok Pembudidaya Ikan Mina Karya.

Selain itu, Santoso juga memberi pelatihan keterampilan bagi peserta yang dikirim periodik oleh balai pelatihan keterampilan setempat. Berkat sukses Santoso, harga tanah di sekitar kawasan kolam budidayanya pun terangkat naik cukup tinggi. Dari harga Rp 25 ribu per meter pada 2001, kini melejit menjadi Rp 250 ribu per meter. –cahpesisiran, utk majalah saudagar-

12 comments:

  1. wah, yang seperti ini patut dicontoh neh bisa membuka lapangan kerja untuk membantu orang lain juga

    pertama saya kira tentang "tukul arwana" kang..hehehe

    salut..salut :)

    ReplyDelete
  2. waduh terimakasih telah menyanggongi blog saya kang. memberi komentar pertama pada postingan yg masih fresh from the oven (apa kulkas ya?) yg baru aj ku posting..

    iya, bapak nya itu kreatif dan pekerja keras. menciptakan pekerjaan sendiri bahkan bisa memberikan pekerjaan bagi orang lain. saya jg salut kang.

    haha.. bukan ttg tukul arwana bos. btw, apa muka tukul tuh mirip ikan arwana ya.. berarti ikan arwana katrok dunk.. whekekek..

    ReplyDelete
  3. wedew, kalo dari hasil ngintip2 bisa berbuah duit aku juga mau, tapi masalah e aku suka intipintip tapi gak dapet duit ki..
    :P

    ReplyDelete
  4. wah,cerita yang sangat inspiratif nie.salut deh sama pak santoso yang bekerja keras dan pantang menyerah..

    ReplyDelete
  5. reply
    @ cerita senja: hasil ngintip2nya dikirim ke media atuh non!! katanya kmaren biz dimuat di media kampuzz..
    @ ivana: thx. saya juga salut non

    ReplyDelete
  6. pak santoso saya sangat bangga

    sebab anda telah berhasil untuk

    membudidayakan arwana di jawa,,,

    saya mahasiswa perikanan dari

    Unair surabaya pak,,, kami ingin

    sekali mengetahui cara budidaya

    arwana, apakah kami boleh tahu alamat perusahaan bapak dimana ??? kami ingin berkunjung kesana pak...

    ReplyDelete
  7. Kuli bangunan jadi juragan, Wah hebat.

    ReplyDelete
  8. > nisa: salam kenal utk nisa, maaf pemilik blog ini bukan pak santoso, tapi hanya membuat ulasan ttg beliau. utk alamat pak santoso, dapat dilihat dibagian atas artikel ini (paragraf kedua). -salam, administrator-
    > lovepassword: makasih telah meninggalkan komentar bro

    ReplyDelete
  9. Kalo boleh saya menyebut, ini adalah satu posting di blog yg berupa reportase Jurnalisme Pemberdayaan Kerakyatan, berisikan laporan dari daerah2 yg berisi hasil swadaya masyarakat dalam inovasi bidang ekonomi. Akan sangat bermanfaat bila teman2 yg terjun dalam jurnalistik mau mengangkat berita2 semacam ini di blog, karena jangkauan tempat dan waktunya akan lebih luas daripada bila hanya dimuat pada sebuah surat kabar harian.
    :)

    ReplyDelete
  10. lokasinya d mana.......

    ReplyDelete
  11. kang kalo uda ngetop gitu masih jual nggak kio eceran, kebetulan lagi iseng nih butuh bbrapa ekor aja, nyarinya di mana ya

    ReplyDelete
  12. saya sudah tertarik dengan ikan koi lama tapi baru kemarin tanggal 10 mei 2011 beli bibit ikan koi di berbah sebanyak 10 ekor. semoga dengan ini saya bisa menjadi pembudidaya ikan di daerah bantul.facebook tono196@yahoo.com

    ReplyDelete