Friday, October 10, 2008

Tren Berinvestasi Pada Lukisan

Kecenderungan berinvestasi pada lukisan berkembang. Ada lukisan kolektor yang dihargai 15 kali lipat, tapi tak dilepas. Karya pelukis-pelukis muda banyak diburu.


BANYAK orang yang tak paham seni. Atau, bisa pula disebut gagap seni alias terkaget-kaget melihat seni dihargai sangat tinggi. Lukisan para pelukis ternama seperti Vincent Van Gogh dari Belanda, atau Basuki Abdullah di Indonesia, misalnya, memiliki nilai ekonomi tinggi.

Di kota budaya Yogyakarta, seni lukis mendapat tempat khusus. Dari mulai pelukis jalanan yang ada di kawasan Malioboro, di sekitar kampus Universitas Gadjah Mada, hingga pelukis-pelukis profesional yang berkarya di sanggar masing-masing. Kehadiran mereka ini, tentu tidak terlepaskan dari maraknya galeri seni, yang selain memajang lukisan juga tumbuh laiknya pasar.

Seperti Galeri Biasa, yang empat bulan sekali menggelar pameran karya pelukis profesional. Jika ada lukisan terjual, galeri mendapat 30%. ”Harganya ditentukan sendiri oleh pelukis yang bersangkutan,” ujar pemilik Galeri Biasa Daniel Ito. Harga lukisan yang dipajang di galerinya berkisar antara Rp 10 juta hingga ratusan juta rupiah.

Pembeli lukisan tak hanya dinikmati sendiri. Direktur Eksekutif Jogja Gallery Indro ”Kimpling” Suseno menyebut berinvestasi lewat lukisan kian marak dewasa ini. Investasi lukisan itu berawal dari cinta lukisan. ”Lalu tumbuh menjadi bisnis. Seperti banyak galeri di Jakarta dan Bali,” ujar Indro. Banyaknya kolektor lukisan dari Jakarta, Bandung, Yogya, Bali, Surabaya, Magelang, Temanggung, dan Semarang juga menyemarakkan bisnis lukisan.

Srisasanti Gallery termasuk galeri yang membeli lukisan untuk dijual lagi kepada kolektor. General Manager Srisasanti Gallery Devie Triasari mengakui sudah ratusan karya yang dibeli. ”Lalu dipamerkan, jika ada yang tertarik bisa langsung dibeli,” katanya yang menyebut kisaran harga belasan juta hingga puluhan juta rupiah untuk satu lukisan.

Koleksi itu dijual untuk mencari keuntungan? “Operasional galeri dari mana kalau bukan dari penjualan? Kami tidak munafik memang mengambil profit. Yang jelas kami tidak memasang harga gila-gilaan dan selalu transparan dengan senimannya,” klaim Devie. Banyak juga pandangan negatif terhadap karya seni yang diprofitkan. Tapi, menurut Devie, pihaknya tidak semata-mata mencari keuntungan, melainkan sebagai ajang promosi bagi para seniman.

Wanita berkaca mata ini menyebutkan bahwa sang kolektor tidak hanya dari Indonesia. Juga dari Jerman, Korea, dan Jepang. Sedangkan kolektor lokal hampir semua dari Jawa. Seperti dari Yogya, Jakarta, Surabaya, dan Magelang.

Sebuah lukisan berharga tinggi, kata Indro, karena berbagai faktor. Selain proses kreatif dari pelukis, ide orisinil, inovasi, dan konsepnya, juga faktor tren situasional di masyarakat, serta tren pasar. “Dipengaruhi juga oleh tren di luar negeri, seperti China dan Eropa. Dan kita lebih banyak dipengaruhi tren di kawasan Asia,” katanya.

Lebih jauh, Indro menyebut, harga lukisan bermacam-macam. “Sebagai contoh karya Putu Sutawijaya dilelang di Jakarta bisa sampai Rp 1 miliar lebih. Kalau kelas pemula berkisar antara Rp 2-5 juta,” imbuh lelaki 46 tahun ini.Harga barang seni memang kadang di luar logika.

Pertimbangan mengkoleksi lukisan bermacam-macam. “Tapi yang jelas, bagaimana ruh lukisan itu memiliki frekuensi yang sama dengan kondisi kita pada suatu saat tertentu. Yang membuat kita tersentuh dan memiliki gerakan emosional yang kadang di luar logika dan menimbulkan rasa suka yang berlebih. Dari situlah timbul keinginan untuk mengoleksi,” ungkap Indro yang juga hobi mengoleksi lukisan realis dan surealis.

Seorang kolektor, Rahadi Saptata Abra, mengaku tertarik mengoleksi karena memang suka. “Dulu saya pernah dibilang gila sama teman-teman waktu masih kuliah, karena membeli lukisan seharga Rp 500 ribu tahun 1995. Itu pertama kalinya saya membeli lukisan. Saya jawab sederhana saja, karena saya suka,” kenang lelaki kelahiran Yogyakarta 37 tahun lalu itu.

Pengusaha muda yang menekuni Event Organizer, percetakan, dan rumah makan tersebut biasa mendapatkan lukisan langsung dari seniman, pameran, ataupun tangan kedua. Juga berburu khusus walaupun sedikit, biasanya karya pelukis muda. ”Saya sekarang malah lebih suka lukisan dari pelukis-pelukis muda, walaupun yang lama-lama ada juga. Seperti Hamdan TT, Arya Sucitra, Agus TBR, Ikrar, dan I Made Toris. Karena saya lihat mereka benar-benar bagus, value-nya nampak. Di luar pelukisnya sudah ngetop atau belum, saya lihat banyak potensi,” katanya.

Rentang harga beli koleksi lukisan dia berkisar antara Rp 500 ribu sampai Rp 24 juta. Lukisan bernilai tinggi yang dipunyai, seperti, karya Lusia Hartini, Entang Wiharso, Nyoman Sukari, Joko Gundul, Hamdan TT, Oto Jaya, Bagong Kusudiharjo, dan Amri Yahya. “Karena saya lebih sebagai apresiator, jarang yang harganya terlalu mahal. Artinya saya cukup realistis,” kata Abra yang juga suka mengoleksi keris.

Ayah dua anak tersebut mengaku mengoleksi lukisan sekaligus berinvestasi. “Memang ada pemikiran untuk investasi. Bagi saya selain mengapresiasi seni, juga ada unsur investasi dan rekreasinya,” ungkap sosok yang punya koleksi tak kurang 100 buah lukisan itu.

Bagaimana dengan target keuntungan? “Kalau ngomong target, minimal tidak rugi. Kalau rugi mending saya simpan,” ujar Abra yang mengaku ada beberapa koleksi lukisannya yang ditawar sampai limabelas kali lipat tapi tidak dilepas. ”Saya suka lukisan itu,” ucapnya santai. “Ada yang dulu beli Rp 500 ribu ditawar Rp 7 juta, beli Rp 1 juta ditawar Rp 15 juta, dan beli Rp 10 juta ditawar Rp 50 juta,” tambahnya.

Lain halnya dengan Joko Sutrisno, 40 tahun, yang mencoba berinvestasi pada lukisan dengan membeli karya teman-teman pelukisnya kemudian di display melalui media internet bersama temannya. “Tapi kita memberi harga lukisan sesuai dengan kualitas. Tidak terlalu rendah asal laku. Kita menghargai nilai rasa dari suatu karya pelukis,” ungkap Joko yang juga seorang pelukis tersebut.

Lelaki kelahiran Surakarta itu sering dapat pesanan melukis wajah bekerja sama dengan kios lukisan dan pigura di sekitar kampus UGM. “Biasa terima pesanan lukis wajah dengan gaya karikatur,” ungkap Joko yang rata-rata menerima lima hingga sepuluh pesanan dalam sebulan. Harga lukisan wajah bervariasi antara Rp 150 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung tingkat kesulitan, media, dan ukuran.

Sementara Sutarno mematok harga antara Rp 70 ribu hingga Rp 2 juta untuk lukisan wajah. Sosok 31 tahun ini menjadikan usaha lukis wajah sebagai sambilan di samping pekerjaannya sebagai guru kesenian pada dua sekolah di Yogyakarta. Dia juga tetap melukis dengan beraliran surealis. “Melukis menjadi kebutuhan batin bagi saya,” ungkap alumni pendidikan kesenian UNY tahun 2004 tersebut. Karya-karyanya pun sering dipajang di galeri. Namun Sutarno lebih suka “memasarkan” karyanya langsung ke customer. “Di galeri jarang laku, lebih banyak yang langsung dengan customer,” tambahnya.

Indro melihat maraknya bisnis lukisan sebagai suatu peluang tersendiri. “Kalau dampak secara ekonomis, misalnya orang yang punya uang, kalau dulu mungkin menggunakannya untuk plesiran, membeli barang konsumtif, sekarang membeli barang seni. Sehingga ada perputaran ekonomi yang baik di dunia seni. Entah itu hanya sebagai gengsi atau memang suka, tetap kita melihat itu sesuatu yang positif,” pungkasnya. –cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-

4 comments:

  1. pertamaaaax!!!
    mm...baguslah kalo sekarang karya seni semakin dihargai.beruntunglah para pelukis yang bisa mendapatkan uang dari melakukan hal yang mereka sukai...

    ReplyDelete
  2. yup tul
    melukis adalah kepuasan batin, sebagaimana para bloger membuat postingan *walah*

    ReplyDelete
  3. aku suka lukisan juga
    tapi gak bisa melukis. he.he..he..he....

    ReplyDelete
  4. yUpzzz,,,,
    aku mw tanya neee,,,
    ada saudaraku mw jual lukisan,,,
    tp nggak tahu cara jualnya gimana,,,
    bisa tolong kasih tahu caranya nggak,,,???
    trus ntar jualnya di mana,,,???
    soalnya aku awam bagt neee,,,,

    ReplyDelete